Mohon tunggu...
Fitrah Noviansyah
Fitrah Noviansyah Mohon Tunggu... Mahasiswa aktif UIN Sunan Gunung Djati Bandung

My name is Fitrah Noviansyah. I studied English Literature at UIN Bandung, and before that, I graduated from a vocational high school majoring in software engineering. I have a strong interest in technology. I really enjoy studying languages, technology, and literature. In my free time, I like playing games, watching movies, listening to music, and exploring new things that can improve my skills."

Selanjutnya

Tutup

Artificial intelligence

Mengapa AI Begitu Menguasai Kehidupan Kita? Studi Kasus Nyata dan Ketergantungan Manusia

16 Oktober 2025   17:55 Diperbarui: 16 Oktober 2025   17:55 19
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Artificial Intelligence. Sumber ilustrasi: pixabay.com/Gerd Altmann

Di era digital sekarang, hampir setiap keputusan kita mulai dari memilih makanan, rute perjalanan, sampai tontonan malam ini diam-diam dibantu oleh kecerdasan buatan (AI). Artificial Intelligence atau AI sekarang udah bukan hal asing lagi di kehidupan kita. Mulai dari pesan makanan, buka aplikasi perbankan, sampai nonton film, semuanya udah banyak yang pakai teknologi ini. Di Indonesia sendiri, AI makin sering digunakan di berbagai bidang, terutama transportasi, perbankan, dan e-commerce. Misalnya, aplikasi ojek online pakai algoritma AI buat cari rute tercepat, sedangkan bank memanfaatkannya buat mendeteksi transaksi mencurigakan. Dari situ kelihatan kalau masyarakat kita udah mulai terbiasa hidup berdampingan sama teknologi canggih ini. Tapi, di sisi lain, literasi digital masyarakat Indonesia masih perlu ditingkatkan supaya kita bisa pakai AI dengan bijak dan gak gampang tertipu teknologi. Kalau dilihat dari sisi positifnya, AI bener-bener memudahkan banyak hal. Contohnya Google Maps, bukan cuma kasih arah jalan, tapi juga bisa ngasih tahu kondisi lalu lintas dan saran rute paling cepat. Terus ada juga Google Assistant dan Siri, yang bisa bantu kita nyari informasi atau ngoperasikan HP cuma pakai suara. Di dunia hiburan, Netflix dan Spotify juga pakai AI buat kasih rekomendasi film atau lagu yang sesuai sama selera kita. Sekarang banyak juga orang yang pakai ChatGPT, salah satunya buat curhat, nyari ide, atau minta saran dalam kegiatan sehari-hari. Jadi, secara umum, AI bikin hidup manusia lebih cepat, efisien, dan personal. Tapi, ya namanya teknologi, pasti ada sisi lainnya juga. AI bisa bikin beberapa jenis pekerjaan hilang karena diganti otomatisasi. Misalnya, pekerjaan yang sifatnya rutin seperti operator atau kasir bisa aja tergantikan sama mesin. Selain itu, kalau terlalu bergantung sama AI, kita bisa jadi males berpikir sendiri. Kadang orang lebih percaya jawaban dari aplikasi dibanding logika atau pengetahuannya sendiri. Masalah privasi juga jadi hal serius karena AI butuh data besar, risiko kebocoran informasi pribadi jadi makin tinggi. Belum lagi teknologi deepfake yang bisa bikin video palsu tapi keliatan nyata banget, dan itu bisa disalahgunakan buat nyebarin hoaks atau merusak reputasi orang. Fenomena yang menarik belakangan ini adalah munculnya tren animasi Ghibli-style AI yang sempat viral di media sosial. Banyak orang menggunakan chatbot seperti ChatGPT atau generator gambar berbasis AI untuk mengubah foto menjadi versi animasi bergaya Studio Ghibli. Meski tampak menarik, tren ini menimbulkan pertanyaan besar: mengapa tren seperti ini bisa begitu cepat viral meskipun menimbulkan kontroversi hak cipta?

Salah satu alasannya adalah karena masyarakat kini lebih menghargai keindahan visual instan dibanding proses kreatif yang panjang. AI memberi hasil cepat, mudah, dan mengesankan tanpa perlu keahlian menggambar. Hal ini mencerminkan perubahan pola berpikir di era digital: manusia mulai mengutamakan hasil daripada proses. Selain itu, rendahnya literasi digital dan kurangnya pemahaman tentang hak cipta membuat banyak pengguna tidak menyadari bahwa gaya visual Ghibli memiliki nilai artistik dan emosional yang unik milik penciptanya, Hayao Miyazaki. Miyazaki sendiri menolak penggunaan AI dalam seni karena dianggap menghilangkan unsur emosional dan kemanusiaan yang menjadi inti dari karya seni sejati.

Kasus ini memperlihatkan bahwa kemajuan AI tidak hanya menantang dari sisi teknologi, tetapi juga dari sisi etika, nilai, dan budaya manusia. Masyarakat kini berada di titik di mana batas antara karya manusia dan mesin semakin kabur. Di satu sisi, AI membuka ruang kreativitas baru yang tak terbatas; namun di sisi lain, ia memunculkan pertanyaan mendasar: Apakah manusia masih memegang kendali atas kreativitas dan identitasnya di era kecerdasan buatan ini?

Pernyataan itu ngingetin kita kalau secanggih-canggihnya teknologi, tetap aja ada batasnya. Kecerdasan buatan (AI) telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan modern, bukan hanya karena kemampuannya mempermudah aktivitas manusia, tetapi juga karena cara kerja algoritmanya yang memahami kebiasaan, kebutuhan, dan bahkan pola pikir pengguna. Kasus-kasus nyata seperti Google Maps yang mampu memprediksi rute tercepat, TikTok yang menampilkan video sesuai minat, dan fitur rekomendasi di e-commerce menunjukkan bagaimana AI tidak hanya membantu manusia, tetapi perlahan mengarahkan perilaku mereka. Pertanyaan "mengapa ini bisa terjadi?" membawa kita pada satu jawaban mendasar: karena manusia menciptakan AI untuk berpikir seefisien mungkin, dan pada akhirnya, efisiensi itu membuat manusia semakin bergantung padanya. Ketika teknologi memahami kita lebih cepat dari kita memahami diri sendiri, maka batas antara manusia sebagai pengendali dan AI sebagai alat bantu menjadi semakin kabur.

Oleh karena itu, penting bagi manusia untuk tidak hanya menikmati kemudahan yang ditawarkan AI, tetapi juga menyadari dampak sosial, etika, dan psikologis di balik penggunaannya. AI seharusnya menjadi alat untuk memperkuat kesadaran dan kemampuan manusia bukan menggantikannya. Pada akhirnya, yang membuat manusia istimewa bukanlah kecerdasannya, tetapi kemampuannya untuk memberi makna pada kecerdasan itu sendiri. 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Artificial intelligence Selengkapnya
Lihat Artificial intelligence Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun