Aneurysmal Bone Cyst (ABC) pertama kali dikenali dan dijelaskan oleh Jaffe dan Lichtenstein pada tahun 1942. Nama ini diberikan berdasarkan karakteristik patologis yang menunjukkan adanya lesi seperti rongga di dalam tulang (Taori et al., 2015). ABC sendiri termasuk dalam 1% dari total tumor tulang primer dan digolongkan sebagai salah satu lesi tulang jinak yang menyerupai tumor (Ozan & Toker, 2010). Lesi ini umumnya muncul di area tertentu, terutama pada tulang panjang (sekitar 50%) dan tulang belakang (sekitar 20%), sementara keterlibatannya pada tulang rahang sangat jarang, hanya sekitar 2% (Flores et al., 2017). Lokasi yang paling sering terkena adalah humerus bagian atas (69,2%) serta tulang paha (16,2%). Dari 43 kasus yang dilaporkan, sebanyak 63,2% mengalami fraktur patologis (Deventer et al., 2021).
Capanna dan rekan-rekannya membagi Aneurysmal Bone Cyst (ABC) ke dalam lima tipe klasifikasi. Untuk mendeteksi adanya tumor ABC pada pasien, metode utama yang digunakan adalah pemeriksaan radiografi. Tahapan diagnostik selanjutnya dapat dilanjutkan dengan MRI atau CT scan, di mana MRI memiliki spesifisitas yang sedikit lebih tinggi dibandingkan radiografi konvensional dalam memastikan diagnosis ABC (Restrepo et al., 2022). Untuk membedakan apakah tumor bersifat jinak atau ganas, prosedur biopsi menjadi langkah yang diperlukan (Restrepo et al., 2022).
Penanganan terhadap kista tulang aneurisma dapat dilakukan melalui metode tradisional, yaitu kuretase intralesi, baik dengan atau tanpa pencangkokan tulang. Setelah prosedur operasi, pasien biasanya mengalami sejumlah efek samping seperti nyeri di area sayatan, pembengkakan, penurunan kekuatan otot, serta keterbatasan lingkup gerak (ROM), di mana proses pemulihannya memerlukan waktu tertentu (Teixeira-Vaz et al., 2022). Karena itu, rehabilitasi jangka panjang sangat penting bagi pasien pasca operasi. Dalam kasus ini, pasien yang berada satu bulan pasca operasi diberikan intervensi berupa NMES on board untuk meredakan nyeri sekaligus meningkatkan kekuatan otot, latihan AROM dan PROM untuk memperluas rentang gerak sendi, serta latihan quadriceps set untuk memperkuat otot secara statis (tanpa gerakan).
Serangkaian latihan yang dilakukan selama 3 kali pertemuan pada pasien hasil yang cukup signifikan pada peningkatan gerak dan fungsi pada ekstremitas bawah pasien. Latihan penguatan  otot  quadriceps  dengan  isometric  exercise  memiliki  beberapa  keuntungan. Latihan ini dilakukan secara isometrik, yakni tanpa pergerakan sendi namun tetap melibatkan kontraksi otot. Merupakan bentuk latihan penguatan yang sederhana dan dapat dilakukan secara mandiri tanpa memerlukan peralatan tambahan (Sengul et al., 2022). Setelah dilakukan latihan isometrik, terjadi peningkatan kekuatan otot pada otot quadriceps. Temuan ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Boone et al. (2023).
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI