Mohon tunggu...
Fi Silmi Kaffahasana
Fi Silmi Kaffahasana Mohon Tunggu... Mahasiswi UIN Kiai Ageng Muhammad Besari Ponorogo

Hai nama saya silmi, saat ini saya sedang menempuh pendidikan S1 di UIN Ponorogo Program Studi Ilmu Pengetahuan Sosial

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Tradisi Megengan Masyarakat Di Desa Tasan Patihan Wetan Ponorogo

2 Juni 2025   21:33 Diperbarui: 2 Juni 2025   21:33 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tradisi Islam yang berkembang di Indonesia pasti memiliki keunikan dan ciri khas tersendiri di setiap daerahnya. Di daerah Jawa, kemungkinan masih merayakan dan  memegang tradisi pada setiap bulannya. Hal ini tidak lain dilaksanakan untuk memperingati bulan kelahiran Nabi Muhammad Saw. atau disebut sebagai mauludan dan memperingati tahun baru Islam atau suroan, dan peringatan-peringatan yang lainnya. Pada intinya, pelaksanaan tradisi tersebut memiliki tujuan yang sama, antara lain untuk meningkatkan ketakwaan kita terhadap allah Swt. dan juga untuk selalu bersyukur kepada Allah swt. atas nikmat serta rezeki yang telah diberikan.

Pada pelaksanaannya, ritual yang dilakukan di setiap daerah memiliki tata caranya masing-masing. Hal tersebut dikarenakan di setiap daerah memiliki adat istiadat dan juga unsur filosofis yang berbeda. Dari banyaknya peringatan atau tradisi yang dilaksanakan umat muslim khususnya di daerah Jawa, menjadikan tradisi tersebut sebagai simbol keunikan tersendiri karena dianggap penting untuk dilaksanankan dan juga mempunyai nilai-nilai sakral.

Agama sendiri bukan sesuatu hal yang mudah untuk dipahami, maka dari itu butuh penjelasan nyata yang dimana bersumber dari keyakinan secara utuh dari pengikutnya. Sehingga, jika kita ingin mengetahui secara mendalam terkait agama, kita harus melaksanakan dan juga memperingati tradisi yang tumbuh di agama tersebut.  Selain itu, dari agama juga dapat mempengaruhi berkembangnya budaya dan kearifan lokal yang berkembang di masyarakat. Baik budaya maupun agama memiliki simbol dan juga nilainya tersendiri, sehingga kedua hal tersebut harus dibedakan. Selain itu, keduanya dianggap sebagai bentuk perwujudan akan tingkat ketaatan kita kepada Tuhan. Karena agama juga dinilai sebagai hal yang sangat universal, kekal abadi, dan juga tidak mampu diubah sesuai perkembangan zaman.

Setiap daerah di Indonesia memiliki keragaman budaya maupun tradisi yang berkembang di Masyarakat. Sudah selayaknya kita sebagai generasi muda untuk terus melestarikannya, mengingat tradisi tersebut mulai terkikis seiring berkembangnya zaman. Salah satu tradisi yang sampai saat ini masih dilestarikan di daerah Ponorogo, Jawa Timur yaitu megengan. Megengan sendiri merupakan tradisi Masyarakat Jawa yang di gelar untuk menyambut datangnya bulan suci Ramadhan. Tradisi megengan adalah budaya yang sudah berkembang turun temurun dari masa nenek moyang sampai sekarang. Tradisi ini biasanya dilaksanakan di penghujung bulan Sya'ban dan malam awal bulan Ramadhan sebelum Masyarakat muslim menjalankan puasa wajib pada bulan Ramadhan. Kegiatan megengan sendiri memang bukan menjadi perayaan yang konkrit tertulis dalam Al-Qur'an. Tradisi ini sudah ada sejak zaman Walisongo dan telah diturunkan ke Masyarakat sampai saat ini. Namun, tradisi ini juga tidak luput dari hukum Islam. Masyarakat Nahdlatul Ulama' merupakan salah satu Masyarakat yang masih mempertahankan tradisi megengan.

Dalam Bahasa Jawa, tradisi megengan memiliki kepanjangan yaitu menyambut tamu kang ageng. Dalam Bahasa Indonesia dimaknai sebagai tradisi sambutan yang dilaksanakan karena akan datang tamu yang besar, yaitu Bulan Suci Ramadhan. Pada dasarnya, tradisi ini dilaksanakan beberapa hari menjelang Bulan Ramadhan. Di daerah Tasan, Patihan Wetan, Ponorogo sendiri para warga masyarakat masih melaksanakan tradisi megengan dalam rangka menunjukkan bentuk rasa syukur mereka dan mendo'akan para leluhur dengan membuat sego ambeng (nasi yang sudah dibumbui dengan santan atau nasi kuning yang disajikan di acara-acara besar), ingkung (ayam kampung utuh yang sudah dimasak dan dibumbui dengan rempah tradisional), dan juga kue apem (kue tradisional yang terbuat dari tepung beras yang diberi tape singkong dan santan), serta buah pisang.

Keunikan hidangan dari tradisi megengan di Desa Tasan dengan kegiatan yang ada di daerah lainnya yaitu dalam pembawaan makanan berupa sego ambeng, dimana masih menggunakan alas daun pisang, akan tetapi ada juga yang menggunakan leser (nampan yang terbuat dari seng). Dari penggunaan wadah dengan beralasakan daun pisang tersebut secara tidak langsung menerapkan nilai-nilai yang berkaitan dengan prinsip etika lingkungan. Kemudian, sego ambeng sendiri nantinya akan ditaruh diatas leser yang sudah dialasi daun pisang yang kemudian diberikan lauk pauk seperti, kering tempe, oseng bihun atau mie, suwiran telur dadar, taburan kacang atau kedelai yang digoreng, serta serundeng. Kemudian diatas lauk pauk tersebut diberikan ingkung untuk melambangkan keberkahan, kesuburan dan kerbersamaan.

Dari banyaknya hidangan dalam tradisi megengan di Desa Tasan, terdapat beberapa diantaranya yang memilki simbol seperti kue apem. Masyarakat Jawa mengambil kata kue apem dari Bahasa Arab yaitu Afwun, yang memiliki arti maaf. Selain itu, pembuatan kue apem juga sangat mudah, sehingga dari kue apem itu tercipta makna simbolik seperti sebuah kesederhanaan, hati yang mudah memaafkan dan juga keimanan seseorang. Oleh karena itu, tradisi ini telah digunakan dalam rangka menyebarluaskan agama Islam dan menguatkan tali silaturahmi orang-orang dan tidak menutup kemungkinan mereka untuk saling bermaaf-maafan sebelum bulan puasa Ramadhan tiba.

Dalam pembuatan essay ini, saya berkesempatan untuk melakukan wawancara dengan salah satu kiai yang ada di Desa Tasan terkait pelaksanaan dari awal hingga akhir acara. Rangkumannya yaitu dalam proses pelaksanaan kegiatan megengan yang ada di Desa Tasan ini, hampir mirip dengan tradisi slametan yang dimana kedua tradisi tersebut bertujuan untuk berbagi terhadap sesama warga. Tradisi ini biasa diadakan satu minggu sebelum datangnya bulan Ramadhan atau satu minggu sebelum hari raya Idul Fitri. Akan tetapi, tradisi yang saya teliti ini lebih berfokus ke pelaksanaan kegiatan megengan yang diadakan sebelum datangnya bulan Ramadhan. Sebelum menentukan hari yang dimana kegiatan megengan ini digelar, warga khususnya bapak-bapak dan ibu-ibu akan melakukan musyawarah terlebih dahulu. Setelah harinya ditentukan giliran proses pelaksanaanya.

Tradisi ini digelar di Masjid Baitul Mutaqqin Desa Tasan merupakan tradisi yang dimulai setelah sholat isya berjamaah, di mana warga berkumpul sambil menikmati lantunan sholawatan atau lagu-lagu religi yang menambah suasana meriah. Sebelum pelaksanaan, warga sudah diberitahu untuk menyiapkan hidangan khas berupa sego ambeng dan kue apem yang kemudian dibawa dan diletakkan di tengah ruangan yang dilingkari masyarakat, lalu didoakan bersama yang dipimpin oleh Bapak Sukatman selaku yang ditetuakan di Desa Tasan. Para warga dibagi dalam dua ruangan terpisah berdasarkan jenis kelamin, namun tetap dalam satu area serambi masjid. Setelah doa selesai, pembagian makanan dilakukan oleh bapak-bapak dan ibu-ibu, kemudian dinikmati bersama oleh seluruh warga, kadang secara individual di atas daun pisang atau kertas nasi, dan kadang makan bersama dalam satu alas daun pisang besar. Kegiatan diakhiri dengan gotong royong membersihkan serambi masjid yang juga diiringi sholawat atau lagu religi sebelum warga pulang ke rumah masing-masing. Tradisi ini tidak hanya mempererat silaturahmi dan kebersamaan antarwarga, tetapi juga mengandung makna spiritual sebagai persiapan menyambut bulan Ramadan, mengajarkan nilai saling berbagi, permohonan maaf, dan menjaga kebersihan lingkungan tempat ibadah.

Tradisi Megengan merupakan salah satu bentuk kearifan lokal masyarakat Jawa, khususnya di Ponorogo. Tradisi ini adalah ritual yang dijalankan secara turun-temurun menjelang bulan Ramadhan sebagai bentuk rasa syukur, penghormatan kepada leluhur, mempererat silaturahmi, serta menjaga harmoni sosial di lingkungan masyarakat. Tradisi megengan yang membagikan makanan (ambengan) mencerminkan nilai-nilai kebersamaan, solidaritas, dan gotong royong yang menjadi bagian penting dari kearifan lokal masyarakat setempat. Walaupun tradisi megengan tidak secara eksplisit membahas etika lingkungan, beberapa unsur dalam pelaksanaannya mengandung nilai-nilai yang selaras dengan prinsip etika lingkungan. Misalnya, penggunaan bahan makanan lokal, pembagian makanan secara merata, dan penggunaan wadah tradisional seperti daun pisang untuk ambengan, menunjukkan penghargaan terhadap sumber daya alam dan upaya meminimalkan limbah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun