Mohon tunggu...
Firman Hidayat
Firman Hidayat Mohon Tunggu... -

Pernah bekerja di bank asing dan mengajar di salah satu universitas di Jakarta. Profesi terakhir sebagai peneliti ekonomi, dan merupakan alumni dari University of Illinois-USA, program Master of Science in Policy Economics. Meluangkan waktu senggang untuk menemani istri, membaca buku, dan nonton film.

Selanjutnya

Tutup

Money

Warga Amerika Makin Banyak yang Nganggur! Tidak Percaya?

2 Desember 2009   04:21 Diperbarui: 26 Juni 2015   19:06 1064
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

[caption id="attachment_32253" align="alignleft" width="300" caption="Pengangguran di New York, sumber:http://www.allamericanpatriots.com"][/caption] Ditengah euphoria pulihnya ekonomi Amerika Serikat (AS), publik AS dikejutkan oleh proyeksi ekonomi Federal Open Market Committee (FOMC-komite yang bertanggung jawab mengatur kebijakan moneter). FOMC memperkirakan tingkat pengangguran yang tinggi akan membayangi ekonomi AS hingga tahun 2012 (lihat tabel). Rasanya tidak percaya melihat angka tersebut, dan tingkat pengangguran yang tinggi tidak lazim terjadi di negara maju seperti AS. Tingkat pengangguran sebesar 10% berarti bahwa terdapat sekitar 15 juta penduduk, dari sekitar 150 juta angkatan kerja di AS, yang tidak mempunyai pekerjaan. Kondisi ini sangat ironis karena tingkat pengangguran yang tinggi biasanya hanya identik dengan karakteristik negara berkembang. Sebagai perbandingan, tingkat pengangguran terbuka di Indonesia pada bulan Agustus 2009 hanya sebesar 7,87% dari sekitar 113 juta angkatan kerja di Indonesia. Memang, tingkat pengangguran AS pernah mencapai sekitar 25%, tapi itu terjadi delapan puluh tahun yang lalu, yaitu pada saat AS mengalami resesi di tahun 1930-an. [caption id="attachment_32263" align="aligncenter" width="300" caption="Sumber: Minutes meeting of Federal Open Market Committee"][/caption]

Bagaimana rupa AS dengan tingkat pengangguran setinggi itu? Di bawah ini adalah peta yang menggambarkan tingkat pengangguran di AS (warna terang menggambarkan tingkat pengangguran yang rendah, sedangkan warna gelap menggambarkan tingkat pengangguran yang tinggi). Pada bulan Januari 2007, wajah AS masih terlihat cerah dan didominasi oleh warna kuning dan orange (tingkat pengangguran 2%-5%), sedangkan pada bulan September 2009, wajah AS makin muram. Noda ungu (tingkat pengangguran 7%-10%) dan hitam (tingkat pengangguran di atas 10%) hampir menutupi seluruh muka AS.

Januari 2007 (Tingkat pengangguran 4% di seluruh AS)

September 2009 (Tingkat pengangguran 8,5% di seluruh AS)

[caption id="attachment_32267" align="aligncenter" width="300" caption="Sumber: http://cohort11.americanobserver.net/latoyaegwuekwe/multimediafinal.html"][/caption]

Sementara itu, FOMC memperkirakan ekonomi AS tumbuh sekitar 2%-4% pada tahun 2010 hingga 2012. Timbul pertanyaan, mengapa tingkat pengangguran tetap tinggi walaupun kinerja ekonomi AS semakin membaik?

Paul Krugman mengatakan fenomena ini terjadi karena selama krisis terjadi, ekonomi AS lebih bertumpu pada stimulus ekonomi, dan perbankan enggan menyalurkan kredit. Mari kita telaah lebih lanjut apa yang dimaksud oleh Krugman, dan kita kupas peran yang dapat dimainkan pemerintah dalam menstabilkan kekacauan ekonomi.

Masih segar ingatan kita ketika ekonomi AS dihantam oleh kegagalan subprime mortgage. Banyak yang berpendapat kejadian ini disebabkan budaya masyarakat AS yang konsumtif dan keserakahan investor yang selalu ingin cepat mendapatkan keuntungan.

Ceritanya begini, sudah menjadi budaya masyarakat AS untuk menjaminkan rumah mereka demi mendapatkan kredit dari bank. Uang yang mereka peroleh digunakan untuk membeli barang konsumsi seperti mobil dan elektronik. Mereka tidak terlalu khawatir dengan masa depan, toh mereka masih bisa bekerja dan bisa membayar kredit dengan cara mengangsur setiap bulan. Selain itu, anak-anak mereka terlatih hidup mandiri dan biasanya memilih hidup terpisah dari orang tua. Jadi, tidak ada alasan yang menghalangi masyarakat AS untuk memakai rumah mereka sebagai jaminan kredit.

Di sisi lain, bank sebagai lembaga intermediasi dengan cepat menangkap peluang bisnis ini. Mereka beranggapan investasi kredit perumahan (mortgage) tidak akan pernah rugi karena harga rumah selalu naik dari waktu ke waktu. Bank pun dengan senang hati menyediakan dana yang besar, dan investasi mortgage mendominasi portofolio aset perbankan AS.

Tergiur keuntungan yang besar, bank mengumpulkan mortgage ke dalam satu paket investasi. Kemudian, bank menerbitkan saham atas paket investasi tersebut dan dijual ke investor lain, seperti perusahaan keuangan domestik, asing, dan bahkan investor individu (proses ini disebut dengan securitization).

Paket investasi inilah yang dikenal dengan subprime mortgage. Dengan melakukan securitization, bank terhindar dari risiko kredit dan lebih cepat memperoleh keuntungan karena tidak harus menunggu pembayaran hingga jatuh tempo. Proses ini dilakukan berulang-ulang sehingga jumlah subprime mortgage di AS menjadi sangat besar. Investor yang membeli subprime mortgage pun merasa senang karena mereka bisa melakukan investasi dengan imbal hasil yang tinggi, dan aman bagi investor (anggapan saat itu).

Ketika situasi ekonomi sedang normal, semua terlihat akan berjalan lancar. Peminjam mortgage merasa senang menerima kredit dari bank, bank happy memperoleh keuntungan dari securitization, dan investor bahagia mendapat keuntungan dari subprime mortgage. Namun, lambat laun permasalahan mulai menyeruak. Budaya masyarakat AS yang over konsumtif membuat kemampuan membayar peminjam mortgage semakin lama semakin menurun. Mereka akhirnya tidak mampu lagi membayar angsuran mortgage, dan terjadilah kredit macet berjamaah.

Sebagian orang mungkin mengatakan investor aman dari risiko ini karena masih ada jaminan rumah yang harganya terus melambung. Tunggu dulu…sekarang ceritanya sudah berbeda. Mencium bau busuk kegagalan subprime mortgage, investor mulai panik dan pasar subprime mortgage mulai goyah. Dampak kegagalan subprime mortgage menyebar dengan cepat dan harga properti terjun bebas. Jaminan rumah sudah tidak berarti lagi karena selain harga properti yang anjlok, menjual rumah juga memerlukan waktu. Akibatnya, bank di AS mulai berguguran, bursa saham New York hancur, banyak perusahaan keuangan sekarat, dan masyarakat menjadi miskin karena uang mereka hanyut terbawa arus kegagalan subprime mortgage.

Kita kembali ke pernyataan Krugman. Ketika terjadi distorsi, siapa yang dapat memperbaiki kekacauan ekonomi? Pemerintah harus turun tangan karena ekonomi tidak akan kembali ke titik keseimbangannya secara otomatis. Barangkali ini yang dimaksud oleh Krugman dengan pernyataannya bahwa stimulus ekonomi masih diperlukan oleh masyarakat AS. Saat ini, selain memberikan bantuan likuiditas ke perusahaan keuangan yang too big to fail, pemerintah AS telah melakukan beberapa program yang bertujuan untuk meningkatkan daya beli dan mendorong konsumsi masyarakat AS. Beberapa program tersebut diantaranya adalah memberikan potongan pajak pendapatan (tax credit), bantuan refinancing kredit perumahan, dan insentif pembelian mobil baru.

Dengan demikian, pertumbuhan ekonomi AS kedepan akan lebih mengandalkan stimulus ekonomi, atau dengan kata lain, ekonomi AS lebih di dorong oleh pertumbuhan konsumsi dibandingkan investasi dan ekspor. Dengan mengandalkan konsumsi sebagai mesin pendorong pertumbuhan, proses penciptaan lapangan kerja tidak banyak terjadi, sehingga pertumbuhan ekonomi tidak banyak berpengaruh terhadap pengurangan jumlah pengangguran.

Selanjutnya, Krugman juga mengatakan bahwa keengganan perbankan dalam menyalurkan kredit akan berlanjut hingga tahun 2012. Sebelum krisis menghantam, perbankan AS berlomba-lomba memberikan kredit ke sektor riil dan bermurah hati dalam memberikan persetujuan kartu kredit (credit booming).

Namun, semuanya kini berubah. Setelah krisis melanda, perbankan AS memberlakukan kebijakan kredit ketat karena trauma dengan kegagalan subprime mortgage. Selain itu, mereka juga mempertimbangkan risiko kredit yang meningkat. Celakanya, prudent banking yang diterapkan terlalu berlebihan sehingga penyaluran kredit berjalan lambat. Harapan agar perbankan AS dapat menjadi agent of development pun pupus. Presiden Obama akhirnya turun tangan. Dengan alasan nasionalisme, Obama menghimbau perbankan AS untuk lebih berani mengambil risiko. Dalam pidatonya yang selalu berapi-api, Obama berkata “The United State of America needs you! God bless America!

Sungguh memprihatinkan kondisi ekonomi AS saat ini. Melihat fakta di atas, bisa dipastikan warga AS yang menganggur akan semakin mewarnai jalanan kota besar AS seperti New York, Los Angeles, dan Chicago.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun