Santri baru juga nggak dibuat merasa asing. Justru program ini bikin mereka cepat merasa diterima. Banyak yang awalnya pendiam, pelan-pelan mulai berani bicara. Obrolan kayak tadi bukan sekadar basa-basi, tapi jadi tanda kalau suasana sudah cair. Rasa malu-malu di awal berubah jadi kebersamaan yang tumbuh alami.
Selain evaluasi, kadang disisipkan edukasi ringan. Misalnya bahas soal adab di kamar, pentingnya menjaga kebersihan, atau cara mengatur waktu. Kang Firman biasanya kasih contoh real..
“Misal ya, lemari kalian berantakan, terus ada yang datang ke kamar... kelihatan kan karakternya dari situ,” katanya sambil senyum.
Santri pada angguk-angguk. Ada yang saling lirik, sadar kalau tadi pagi bajunya belum dilipat.
Yang menarik, program ini nggak pernah dipaksa. Santri ikut karena sadar, bukan karena takut. Kang Firman juga nggak pernah memposisikan diri lebih tinggi. Malah sering duduk bareng kayak temen sendiri. Tapi justru karena itu, penghuni kamar lebih respek dan nurut. Rasa segan muncul karena dihormati, bukan karena dimarahi.
Selama program ini jalan, suasana kamar terasa lebih tertata. Bukan cuma bersih fisik, tapi juga bersih hati. Kalau ada masalah, langsung diselesaikan bareng. Nggak nunggu meledak. Hubungan antar santri pun jadi lebih akrab. Mungkin dari luar nggak kelihatan. Tapi yang tinggal di dalam tahu, program kecil ini punya dampak besar. Semua bermula dari niat baik dan kesabaran walikamar. Kang Firman memang nggak banyak bicara soal program ini ke luar. Tapi justru karena itu, Kamar 21 tumbuh jadi ruang yang hidup—dan berpengaruh diam-diam.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI