Mohon tunggu...
firdhalif
firdhalif Mohon Tunggu... Lainnya - warga biasa

just so so

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Sebingkai Senyum Cakrawala

22 Februari 2017   20:57 Diperbarui: 23 Februari 2017   18:29 338
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Mendung datang bersama hujan, dan juga petir yang tak mau berhenti mengejar mereka yang selalu bersama. Hujan dengan sekuat tenaganya membentang lebar di hamparan bumi yang tak berkutik. Hanya diam yang mampu bumi lakukan. Mendung tersenyum lebar melihat perselisihan hujan dan petir tak kunjung berhenti mengalah.

“berhenti, hanya aku yang boleh berada disini bersama mendung. Bukan kau, yang selalu menatapnya” teriak petir dengan gagahnya

“lantas, apa aku mau mendengarkanmu wahai petir.. hanya aku yang setia bersanding bersama mendung. Hanya aku, bukan yang lain tak kuasa ku pergi meninggalkanya hanya dia yang mampu berjalan bersamaku melihatku tanpa ragu. Begitu pula aku yang selalu bersamanya tanpa ragu” ucap hujan sembari melebarkan sayapnya.

Hujan tak kunjung berhenti meneteskan air dengan segenap rasanya. Mendung semakin gelap menutupi langit yang tak pernah bertegur sapa. Mentari bersembunyi dibalik pelukan langit biru dengan sedihnya.

“kau tau, aku selalu merindukan hujan dalam sepiku. Namun aku tak pernah kuasa bertemu dengannya. Setiap aku mengingatnya, hanya aku yang tahu bagaimana perihnya itu berlalu tanpa ada yang tahu. Aku hanya menatapnya dari ujung yang sangat jauh, tanpa tahu apa yang akan menjadi takdirku dan takdirnya yang tak pernah bertemu” mentari terus terisak dalam pelukan langit biru

“dengarkan aku wahai mentari, ini bukanlah salahmu.. jangan kau bersedih, aku selalu disini menjagamu mendengarkanmu dan memelukmu dalam sepimu. Aku tak kan meninggalkanmu dengan bagaimanapun dirimu” langit biru tak kuasa melihat mentari dalam hangat pelukanya.

Pelangi datang menggantikan hujan dan mendung yang telah berlalu, dengan senyumnya yang lebar dan pesonanya yang tak hilang sedikitpun. Pelangi selalu membahagiakan sekelilingnya tanpa pandang bulu, dia bentangkan sayap dengan indahnya. Menggantikan perselisihan hujan dan petir yang tak kunjung berhenti. Hanya tersenyum dan membuat bahagia yang dia lakukan tanpa pernah bersedih sedikitpun.

“wahai mentari, bagaimana hari-harimu bersama langit biru? Kau tahu, aku bahagia melihatmu bersama langit biru, namun apa dayaku yang tak bisa berlama-lama melihatmu dan langit biru”sapa pelangi pada mentari dan langit biru yang telah bersiap.

“hari-hari kami seperti ini, selalu istimewa jika aku terus bersanding bersama mentari. Melihatnya dalam senyum, melihatnya tanpa ada kesedihan yang mengikuti, melihatnya tertawa bebas menatap dunia, melihatnya penuh keceriaan, hanya saja aku masih berharap akan hal itu” jawab langit biru pada pelangi.

“mengapa, mengapa kau selalu tersenyum wahai pelangi? Tak pernah sekalipun aku melihatmu sendu, apa hanya senyum yang kau punya dalam hidupmu? Apa hanya kepadamu saja kebahagiaan menghampiri? Apa terlalu indah hidup yang kau punya? Apa tak sekalipun kesedihan mendatangi hanya sekedar mampir pun? Apa sudah tak ada tempat kesedihan untuk berhenti kepadamu? Ah.. sudahlah.. tak perlu kau jawab itu semua, semua sangat terlihat dengan sekali pandang.” Ujar mentari yang selalu bertanya dengan marah.

“aku tahu, memang sangat berat bagimu melihat keadaan yang selalu membayangimu. Aku tahu, apa yang selama ini kau rasakan, aku tahu bagaimana perihnya itu bagimu, namun apa yang selalu aku tahu tentang hidup ini? Semua adalah yang perlu aku lalui dengan tanpa mengeluh sedikitpun. Semua adalah apa yang telah ditakdirkan untukku, apapun itu baik sedih maupun senang karena aku ikhlas dengan semua ini, aku rela dengan semua ini, aku bahkan merasa bahagia dengan segala yang harusnya aku keluhkan. Karena, tanpa bisa dipungkiri bahwa memang beginilah semua telah digariskan dalam kehidupan dan aku menyadari itu semua” ucap pelangi dengan santun sambil perlahan pergi meninggalkan mentari dan langit biru.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun