Saya punya satu tema favorit kalau menulis, yakni tentang kota tercinta: Situbondo. Bagaimana tidak, ini adalah kota kelahiran saya, besar sampai SMA, ditinggal bentar kuliah, dan sepertinya harus berlumut di sini sampai tua.Â
Di tema tulisan kemarin sudah banyak yang menertawakan, tapi sekarang, waktunya membahas harapan untuk Situbondo--yang mungkin tak kalah layak buat ditertawakan juga.Â
Kalau disuruh berharap, ya jelas saya bingung. Masalahnya tulisan semacam ini harusnya dikeluarkan oleh orang-orang ambisius yang gila dengan pertumbuhan, atau minimal yang memang suka mempromosikan daerah dengan senyum terpaksa dan kata-kata template itu.Â
Orang-orang yang begitu, baru cocok buat menjelaskan harapannya atas kota Situbondo ini. Soalnya merekalah manusia-manusia yang penuh dengan visi dan sesekali optimisme, meski kadang terasa sedikit membosankan.Â
Kalau orang biasa-biasa aja macem saya disuruh berharap, jelas harapannya tak kalah biasa aja.Â
Saya cuma mau Situbondo tumbuh perlahan, tak terburu-buru, bahkan tak masalah jika harus terus jadi kota biasa-biasa saja.Â
Buat Apa Bernafsu Jadi Kota Besar dan Megah Kalau Tak Bahagia?
Kota-kota besar memang tampak menarik---gaji tinggi, gedung-gedung gemerlap, dan janji kehidupan serba mudah. Tapi, seperti mesin yang terus menerima gas, kota-kota besar terasa kehilangan nafas.Â
Di balik gemerlapnya, ada yang sering dilupakan bahwa kebahagiaan manusia yang tinggal di dalamnya, bukan cuma soal infrastruktur dan pendapatan.Â
Dalam The Geography of Bliss, Eric Weiner menemukan bahwa kebahagiaan jarang hadir di negara atau kota yang terlampau maju.Â
Sering kali, tempat-tempat yang materialnya melimpah seperti Qatar atau Amerika Serikat justru kekurangan satu hal: kebahagiaan.