Charles-Louis de Secondat yang kelak dikenal sebagai Baron de Montesquieu dilahirkan pada 19 Januari 1689 di Puri La Brde, dekat Bordeaux, dari keluarga hakim, militer, dan rohaniwan Katolik. Sejak muda, Montesquieu mendapatkan pendidikan yang baik, mempelajari hukum, sains, dan filsafat yang kelak membentuk pola pikir kritisnya (Shklar, 1986). Ia mewarisi gelar baron dan jabatan sebagai presiden parlement de Bordeaux (semacam pengadilan tinggi) yang membuatnya akrab dengan praktik peradilan dan pemerintahan. Pengalamannya sebagai hakim membuatnya memahami dinamika kekuasaan dan potensi penyalahgunaannya.
Montesquieu kemudian banyak melakukan perjalanan ke berbagai negara Eropa, termasuk Inggris, di mana ia terpesona oleh sistem pemerintahan yang menganut konstitusionalisme dan memiliki pemisahan kekuasaan yang relatif jelas antara raja, parlemen, dan pengadilan. Pengalaman ini menginspirasi pemikirannya mengenai pentingnya menjaga kebebasan dengan membatasi kekuasaan (Shklar, 1986). Puncak pemikiran Montesquieu tercermin dalam karya monumentalnya De l'Esprit des Lois (The Spirit of Laws) yang terbit pada 1748. Dalam buku ini, ia merumuskan gagasan tentang Trias Politica, yaitu pemisahan kekuasaan negara menjadi tiga cabang yang saling mengawasi, yaitu legislatif (membuat undang-undang), eksekutif (melaksanakan undang-undang), dan yudikatif (mengadili dan menafsirkan hukum). Menurut Montesquieu, kebebasan politik hanya dapat terjamin jika ketiga cabang kekuasaan itu berdiri independen dan saling mengimbangi sehingga tidak ada satu pun yang terlalu dominan. Gagasan inilah yang kemudian menjadi fondasi bagi banyak konstitusi modern, termasuk diadopsi secara luas di negara-negara demokrasi termasuk Indonesia (Hiariej, 2010).
Trias Politica menjadi salah satu pilar penting dalam pembangunan demokrasi modern. Di Indonesia, penerapannya mengalami pasang surut sejak awal kemerdekaan. Pada masa awal berlakunya UUD 1945 hingga Demokrasi Terpimpin, kekuasaan presiden sangat dominan sehingga prinsip pemisahan kekuasaan belum berjalan optimal. Presiden memiliki kewenangan besar, termasuk mengeluarkan Perppu, sementara sistem parlementer membuat posisi kabinet bergantung pada DPR (UUD 1945 Amandemen, n.d.). Masa Demokrasi Terpimpin, bahkan semakin memusatkan kekuasaan di tangan presiden sehingga prinsip check and balance hampir tidak berfungsi (Hiariej, 2010).
Pada era Orde Baru, Trias Politica memang diakui secara formal, tetapi dalam praktiknya bersifat sentralistis. DPR cenderung menjadi rubber stamp kebijakan eksekutif, sementara lembaga yudikatif kurang independen dan sering dipengaruhi oleh kekuasaan politik. Pemilu yang diselenggarakan secara rutin lebih bersifat prosedural, tidak mencerminkan kompetisi yang adil. Akibatnya, fungsi pengawasan antar lembaga negara lemah dan ruang partisipasi masyarakat dalam mengontrol kebijakan publik terbatas (Susanti, 2019).
Reformasi 1998 menjadi titik balik penting yang memperkuat penerapan Trias Politica di Indonesia. Amandemen UUD 1945 yang dilakukan antara 1999-2002 membawa sejumlah perubahan mendasar. Presiden dan wakil presiden dipilih langsung oleh rakyat, kekuasaan DPR diperluas dengan fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan, Mahkamah Konstitusi dibentuk untuk menguji undang-undang terhadap UUD, dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dibentuk sebagai perwakilan daerah (UUD 1945 Amandemen, n.d.). Amandemen ini diharapkan menciptakan keseimbangan kekuasaan yang lebih sehat dan mencegah dominasi satu lembaga atas yang lain (LIPI, 2020).
Namun, praktik Trias Politica di Indonesia pada saat ini masih menuai banyak pertanyaan dan permasalahan. Meskipun pemisahan kekuasaan sudah diatur dengan jelas melalui amandemen UUD 1945, kenyataannya keseimbangan antara eksekutif, legislatif, dan yudikatif sering kali tidak berjalan sebagaimana mestinya. Eksekutif kerap dinilai terlalu dominan dalam pengambilan kebijakan, terutama ketika koalisi besar di parlemen membuat fungsi pengawasan DPR melemah (Susanti, 2019). Lembaga yudikatif pun masih menghadapi tantangan serius terkait independensi dan integritas dengan kasus korupsi yang menimpa aparat peradilan menimbulkan krisis kepercayaan publik (LIPI, 2020). Jika keadaan ini dibiarkan, cita-cita reformasi untuk mewujudkan pemerintahan yang akuntabel akan sulit tercapai dan demokrasi berisiko hanya menjadi formalitas.
Permasalahan ini menunjukkan bahwa penerapan Trias Politica di Indonesia tidak hanya sebatas persoalan konstitusi, tetapi juga menyangkut praktik politik, budaya hukum, dan kualitas institusi negara. Demokrasi akan sulit berkembang jika salah satu cabang kekuasaan terlalu dominan atau jika mekanisme pengawasan tidak berfungsi secara efektif (Hiariej, 2010). Oleh karena itu, perlu adanya upaya serius untuk memperkuat lembaga legislatif agar berani menjalankan fungsi kontrol terhadap pemerintah, memastikan lembaga yudikatif benar-benar independen, serta meningkatkan transparansi dan partisipasi publik dalam proses pembuatan kebijakan. Selain itu, pendidikan politik bagi masyarakat penting agar publik lebih kritis dalam mengawasi jalannya pemerintahan sehingga proses check and balance tidak hanya terjadi antarlembaga negara, tetapi juga melibatkan warga negara sebagai pengawas aktif (Susanti, 2019).
Masa depan demokrasi Indonesia bergantung pada keberhasilan menjaga keseimbangan kekuasaan. Tanpa check and balance yang sehat, risiko penyalahgunaan kekuasaan akan semakin besar, yang pada akhirnya dapat melemahkan kepercayaan rakyat terhadap demokrasi itu sendiri. Sebaliknya, jika Trias Politica dapat dijalankan secara konsisten, Indonesia berpeluang memperkuat konsolidasi demokrasi dan mewujudkan pemerintahan yang akuntabel, transparan, dan berpihak pada rakyat (LIPI, 2020). Dalam konteks menuju Indonesia Emas 2045, penerapan Trias Politica yang efektif menjadi syarat penting untuk memastikan kebijakan pembangunan benar-benar mencerminkan kepentingan publik dan melindungi hak-hak warga negara.
Dengan demikian, Trias Politica bukan hanya sekadar konsep teoritis, melainkan sebuah kompas yang harus menjadi pedoman dalam membangun tata kelola pemerintahan yang adil dan demokratis. Upaya memperkuat peran legislatif, meningkatkan integritas lembaga peradilan, membatasi dominasi eksekutif, dan melibatkan masyarakat dalam pengawasan menjadi agenda mendesak (Hiariej, 2010). Jika langkah-langkah ini dijalankan secara konsisten, demokrasi Indonesia bukan hanya bertahan, melainkan juga berkembang menuju masa depan yang lebih kokoh, inklusif, dan berkeadilan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI