Mohon tunggu...
Firda Puri Agustine
Firda Puri Agustine Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Write, Enjoy, and Smile ;)

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Pers yang Tak Lagi Bebas

9 Februari 2019   11:04 Diperbarui: 10 Februari 2019   01:57 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Apalagi ada kewajiban jurnalis wajib absen di kantor. Menurut saya, oldskul banget. Dan, salah besar kalau ada yang menyamakan perusahaan media dengan tempat pelayanan publik, pabrik, dan sejenisnya.

Terus gimana dong menghitung absen jurnalis kalau mereka gak ke kantor? Kerjanya dimana dong kalau gak di kantor? Zaman kan sudah canggih ya, bukan zaman batu yang kalau ngetik harus pakai mesin tik. Ada smartphone dan laptop, tinggal isi paket data, lalu tulis dan kirimlah berita melalui media itu.

Absennya? Produk berita yang mereka dapat dan dipublikasikan di hari itulah jawabnya. Silahkan buat aturan standar kuantitas berita, kualitas, dan panduan lain. Asal jangan batasi dengan aturan jadul macam itu. Lihat deh media massa di luar negeri, jurnalisnya cuma ngantor paling banyak tiga kali seminggu. Itu pun buat meeting. 

Balik lagi ke perusahaan tadi. Kalau mereka menomorsatukan efisiensi, logikanya gak gitu. Bikin aja virtual office, jurnalisnya bebas liputan dan nulis dari mana aja, ketemuan meeting dua kali seminggu, tinggal modalin laptop sama kamera. 

Soal infrastruktur, buatlah CMS yang simple, fleksibel, tapi punya fitur lengkap. Hitung-hitungan cost-nya bakal jauh lebih efisien. Dan, perusahaan yang mengatasnamakan perusahaan media dengan aturan oldskul macam ini saya yakin jumlahnya banyak. Gak cuma mereka doang. 

Sebenarnya ada beberapa ke-absurd-an lain dari tempat ini, cuma kalau diceritain nanti kepanjangan. Intinya di hari ke-lima saya akhirnya memutuskan resign. Saya merasa berada di tempat yang tidak cocok dengan nurani saya sebagai seorang jurnalis. 

Bagi saya nilai sebuah integritas dan loyalitas pada profesi jauh lebih tinggi dari nilai rupiah yang mereka tawarkan. Jadi, ya saya memilih sebagai blogger ketimbang jurnalis yang mau liputan aja kudu absen jari dulu di kantor. 

Selain perusahaan ini, ada lagi tempat sebelumnya yang menjustifikasikan diri sebagai perusahaan media, tapi manajemennya birokrasi abis lantaran berada di bawah induk BUMN. Di sana, attitude itu maha penting. 

Gak ikut bukber bareng direksi, nilai attitude langsung jeblok. Gak keliatan ada di kantor dinyinyirin, langsung bersiap kena SP, meski tulisan jurnalisnya terpublikasi. Ikut sertifikasi wartawan, tapi yang gak punya background sebagai wartawan juga disertakan dan akhirnya lolos uji sertifikasi.

Mereka punya predikat Wartawan Muda, Madya, dan Utama. Padahal, jadi wartawan aja belum pernah sebelumnya. Salahnya dimana? Sudah pasti sih lembaga sertifikasinya karena mereka kan dibayar melakukan uji sertifikasi tanpa sortir. Kok ya bisa sekelas direktur perusahaan ikut uji sertifikasi wartawan dan lolos? Duit bicara. Hilang idealisme di atas rupiah. 

Saya sih berharap Dewan Pers lebih concern lagi soal ini. Coba ditinjau ulang lembaga sertifikasi wartawan yang ada. Kalau perlu aturan dan syarat uji sertifikasinya dibuat lebih baik, sehingga enggak ada lagi tuh ceritanya direktur perusahaan dan analis IT punya sertifikat Wartawan Muda. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun