Orang-orang koruptor mungkin menyadari bahwa terdapat resiko sosial serta aturan yang akan diterimanya jika melakukan kecurangan serta penyalahgunaan kewenangan, namun rasa ini ditenggelamkannya dalam-dalam bersama ego kognitif yang mendasarinya. Hal yang nampak bagi koruptor merupakan bagaimana mencari cara untuk mempertahankan keberadaan diri, kemudian merasionalisasi tujuannya itu agar nampak sahih serta lumrah. Dicarilah indera-indera pembenaran yang mampu melindunginya berasal jeratan aturan. Orang-orang koruptor tidak perlu risih sebab terdapat expert system/abstract system yang membantunya pada segala hal; terdapat teknologi komunikasi serta isu (media massa) yang mampu dimainkannya buat membentuk opini, melemparkan perihal bahwa dirinya higienis serta tak korup; terdapat teknologi yang bisa menghapus data kecurangannya pada dunia maya menggunakan sekali pencet; atau didapat berhubungan menggunakan sistem perbankan internasional yang mampu mengamankan harta korupsinya sembari melarikan diri ke negara lain yang mampu memberinya rasa safety.
Pertama; bahwa buat melakukan komunikasi, seseorang membutuhkan sistem indikasi serta bingkai interpretasi (tata simbol, perihal/ forum  bahasa),  sebagai akibatnya  struktur  signifikasi itu  terdapat. Aktor-aktor sosial, pada sikap kehidupan sehari-harinya, secara aktif menghasilkan makna pada tataran yang sudah mereka beri makna; secara bersamaan mereka ditentukan oleh cara dimana makna-makna tadi sudah sebagai dirutinkan serta direproduksi. Hal yang dilakukan serta dikatakan rakyat mempunyai konsekuensi bagi struktur sosial. Individu-individu menggerakkan asal daya, ketrampilan serta pengetahuan yang sudah dihasilkan berasal dari hubungan sebelumnya.
Praktik-praktik struktur sosial, sebagian selalu berakar di per-temuan tatap muka, namun perjumpaan ini tak pernah terjadi pada ruang hampa yang tak berstruktur, dunia sosial ditengahi serta dipe-ngaruhi oleh sumber daya yang sudah mempunyai signifikasi sosial serta budaya. Struktur merupakan 'proses dialektika' dimana hal yang dilakukan sang individu merupakan juga hal yang mereka bangun. Inilah essensi berasal strukturasi.  Strukturasi  pula  melibatkan  interfusion (penggabungan) konsekuensi  yang  dibutuhkan  ataupun  yang  tidak  diperlukan,  hal yang dimaui serta dilakukan agen mampu membentuk konsolidasi atas apa yang tak diinginkan  agen. Gagasan inilah  yang memberikan bahwa struktur merupakan sumberdaya yang memberdayakan sekaligus membatasi rakyat.
Agama  atau  keyakinan  bahwa alam  serta sosial  itu kondisinya mirip yang tampak, termasuk parameter eksistensial dasar diri serta ciri-ciri sosial (Giddens, 1984: 375). Pencerahan simpel ini ialah kunci buat tahu bagaimana banyak sekali  tindakan  serta  praktik  sosial rakyat  lambat  laun sebagai struktur, serta  bagaimana struktur  itu mengekang  dan  memampukan  tindakan/praktik  sosial  rakyat.  Giddens menyebut tindakan serta praktik sosial itu menjadi 'global yang telah ditafisirkan' (Giddens, 1976: 166).
Menjadi sebuah hukum serta sumberdaya, struktur mempunyai 3 gugus dimensi yaitu: Pertama, struktur penandaan (signification) yang menyangkut skemata simbolik, pemaknaan, penyebutan, serta perihal. kedua, struktur dominasi atau penguasaan (domination) yang mencakup skemata dominasi atas orang (politik) serta barang/hal (ekonomi). Ketiga, struktur pembenaran atau legitimasi (legitimation) yang menyangkut skemata peraturan normatif, yang terungkap pada tata aturan (Giddens, 1984: 29).
Ke-2; buat memberlakukan sebuah hukuman, orang membutuh-kan wahana legitimasi berupa tata cara atau peraturan (rapikan aturan/lem-baga aturan). Aspek sah (normatif) diharapkan untuk menyampaikan rasa safety (ontological security) serta keabsahan atas hubungan yang dila kukan oleh agen-agen sosial. Perubahan sosial tak mampu ditempuh de-ngan pertentangan sistem, namun perubahan bisa ditempuh melalui ko-ordinasi praktik yang dilembagakan pada sistem serta struktur sosial yang mengatasi ruang serta saat. Perubahan sosial pada dimensi ke-tiga gugus strukturasi hanya mampu dirubah melalui 'derutinisasi' pada kapasitas 'monitoring refleksif' atau merogoh jeda terhadap unsur-unsur yang melingkupinya baik secara personal juga institusional (Giddens, 1984: 7).
ke 3; buat menerima atau mempraktikkan kekuasaan, seorang membutuhkan mobilisasi dua struktur dominasi menjadi fasilitas. di dimensi dominasi, fasilitas ini terdiri berasal sumberdaya alokatif (ekonomi) serta otoritatif (politik). Sumberdaya alokatif mengacu di kemampuan-kemampuan atau bentuk-bentuk kapasitas transformatif yang menyampaikan komando atas barang-barang, objek-objek atau kenyataan material. Adapun sumberdaya otoritatif mengacu di jenis-jenis kapasitas transformatif yang membentuk perintah atas orang-orang atau aktor-aktor.
Kata 'kekuasaan' wajib  dibedakan menggunakan kata penguasaan. Penguasaan mengacu pada asimetri korelasi di dataran struktur, sedang kekuasaan menyangkut kapasitas yang terlibat pada korelasi sosial di dataran pelaku (hubungan sosial). Sebab itu kekuasaan selalu menyangkut kapasitas transformatif, sebagaimana tak terdapat struktur tanpa pelaku, begitu jua tak terdapat struktur penguasaan tanpa rekanan kekuasaan yang berlangsung diantara pelaku yang kongkret. Kekuasaan terbentuk dalam serta melalui reproduksi 2 struktur/ sumberdaya penguasaan (alokatif serta otoritatif). Meski demikian, berdasarkan Giddens tak pernah mungkin terjadi dominasi total atas orang entah pada sistem totaliter, otoriter, ataupun penjara sebab adanya dialektika kontrol (the dialectic of control). Artinya pada dominasi selalu terlibat rekanan swatantra serta ketergantungan, baik di yang menguasai juga di yang dikuasai sekalipun pada kadar yang minimal.
Citasi: https://argyo.staff.uns.ac.id/2013/02/05/teori-strukturasi-dari-anthony-giddens/
http://araauza.blog.uma.ac.id/2019/02/19/teori-strukturasi-dalam-kasus-ars/
https://jurnal.ugm.ac.id/wisdom/article/view/12617/9078