Mohon tunggu...
Firda Aulia Putri
Firda Aulia Putri Mohon Tunggu... Guru Sejarah

Saya merupakan seseorang yang memiliki hobi membaca dengan berbagai topik bacaan seperti dalam hal topik bacaan akademik maupun secara umum

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Dokumenter Sebagai Rekam Jejak Per-Politikan Indonesia dalam Sejarah Pada Abad ke-20

28 September 2025   14:40 Diperbarui: 28 September 2025   14:39 27
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

    Sejarah memang tidak pernah berulang, tapi ia bisa dihidupkan kembali. Dokumenter adalah caranya, merekam masa lalu untuk memberi arah pada masa depan. Dokumenter hadir bukan hanya sebagai tontonan, melainkan sebagai arsip hidup yang menyimpan wajah peradaban. Dokumenter tidak hanya menuliskan ulang fakta sejarah secara verbal, tetapi juga menghadirkan visual dan dramatik yang memperkaya pemahaman dan narasi sejarah itu sendiri. Seperti yang dikatakan Robert A. Rosenstone, film sejarah bukan pengganti sejarah tertulis, melainkan bentuk berbeda yang berdampingan dengan sejarah tulis dan tradisi lisan. Dokumenter menceritakan kejadian nyata dan tidak ada unsur cerita fiktif seperti rekayasa untuk mendramatisir adegan sepanjang film (Ratmanto, 2018). Pada masa ini, dokumenter digunakan untuk mempresentasikan kejadian nyata dan kembali menunjukkan fakta yang ada di kehidupan sehari-hari serta dibuat lebih terstruktur dalam durasi film. Kata “dokmenter” sendiri muncul saat pertama kali digunakan pada sebuah film lawas berjudul Moana pada tahun 1926, lengkapnya adalah tanggal 8 Februari 1926. Proyek film tersebut dirilis oleh Robert Flahert. Dokumenter Sejarah Indonesia dipelopori oleh Bachtiar Siagian, yang dikenal sebagai pelopor neorealisme dalam perfilman Indonesia, sebuah pendekatan yang sangat berpengaruh dalam gaya dokumenter dan kisah-kisah sosial di layar.

     Dokumenter sebagai rekam jejak per-politikan Indonesia dapat kita lihat dalam film “Pengkhianatan G30S/PKI” yang diproduksi oleh PPFN (Perum Produksi Film Negara) pada tahun 1984. Film ini disutradarai oleh Arifin C. Noer dan dibantu oleh G. Dwipayana sebagai produser. Isi keseluruhan cerita dari film yang ditulis oleh Arifin C. Noer dengan cerita dasar yang berasal dari buku yang ditulis oleh Nugroho Notosusanto dan Ismail Saleh ini mengisahkan periode menjelang dan pasca kudeta 30 September 1965, di mana enam (atau lebih) perwira tinggi TNI AD diculik dan dibunuh oleh PKI dan Angkatan Udara, yang digambarkan sebagai tindakan untuk memprementasi kudeta terhadap Presiden Sukarno. Peristiwa pengkhianatan ini digambarkan dengan berhasil digagalkannya G30S PKI oleh Soeharto dan kemudian Ia mendorong masyarakat untuk memperingati para jenderal yang gugur serta melawan komunisme. Contoh lain dari film dokumenter selanjutnya yaitu, “Djakarta 1966” yang masih disutradarai dan ditulis oleh Arifin C. dan Bur Rasuanto. Proses penggarapan film “Djakarta 1966” dibantu G. Dwipayana sebagai produser lalu diproduksi oleh PPFN (Perum Produksi Film Negara). Film dokumenter ini merupakan sekuel atau lanjutan dari film “Pengkhianatan G30S PKI” di mana isinya menggambarkan versi resmi rezim Orde baru mengenai lahirnya Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar). Penelitian tentang G30S/PKI dapat dilihat dari buku karya Baskara T. Wardaya yang berjudul Suara di Balik Prahara Berbagi Narasi tentang Tragedi ’65, Buku ini merupakan salah satu buku yang membahas mengenai tragedi yang terjadi pada tahun 1965-1966, yaitu tragedi masa G30S/PKI.

   Salah satu peristiwa penting dalam sejarah kita yang masih berada di ‘lembah gelap’ dan diselimuti kabut tebal dalam masa lalu negeri ini adalah peristiwa yang melatar belakangi munculnya Surat Perintah tanggal 11 Maret 1966 (Supersemar). Yang kemudian menyusul peristiwa-peristiwa lain yang menunjukkan perubahan drastis konstelasi politik di Indonesia Film yang menyinggung perpolitikan Indonesia khususnya Film tragedi G30S/PKI, sejatinya bukan sekedar catatan visual, tetapi juga merupakan alat untuk mengingat dan menafsirkan sejarah bangsa ini. Pada masa orde baru, Film G30S/PKI diputar berulangkali hampir setiap tahun sebagai propaganda. Tujuannya adalah untuk menanamkan keyakinan bahwa PKI adalah dalang tunggal tragedi ini. Narasi ini kemudian diterima oleh masyarakat luas karena, didukung oleh media massa dan praktik propaganda yang masif. Melalui film yang ditayangkan berulang-ulang kali hal ini membuat generasi muda dipaksa menerima satu versi sejarah tanpa kritik. Dokumenter dalam hal ini bukan lagi berperan sebagai arsip, tapi sebagai alat propaganda yang melegitimasi kekuasaan Orde Baru.

   Namun, seiring terbukanya era reformasi, narasi yang dibungkus rapi itu mulai dipertanyakan. Buku Dalam Suara di Balik Prahara, Baskara T. Wardaya, menampilkan kesaksian langsung dari korban tragedi 65’. Kesaksian itu menggambarkan adanya penculikan, pembantaian massal, penyiksaan, hingga pelecehan seksual. Dalam jurnal yang meneliti lebih lanjut mengenai buku Suara di Balik Prahara, Baskara T. Wardaya, yang ditulis oleh Nangei Savitri dan Etmi Hardi (2023), menghadirkan beberapa saksi tragedi 65, salah satu korbannya adalah Mujilah, yang menjadi salah satu korban yang ditangkap saat masih berumur 14 Tahun (Etmi, 2023). Mujilah merupakan salah satu korban salah tangkap. Ironisnya, ia ditangkap dikarenakan memiliki nama yang sama dengan orang yang mau ditangkap. Mujilah lalu dipenjara selama 14 Tahun tanpa proses hukum yang jelas. Pengalaman hidup Mujilah mencerminkan kelamnya rezim saat itu. Di dalam tahanan Mujilah tidak mendapatkan makanan yang layak, ia diberi makan jagung dan dipaksa makan ikan asin yang sudah busuk. Ketika dibebaskan, ia sama sekali tidak menerima permintaan maaf resmi dari para penguasa saat itu yang telah keliru menangkapnya. Hal ini menggeser cara pandang kita bahwa tragedi ini tidak hanya perebutan kekuasaan, tetapi juga tragedi kemanusiaan yang meninggalkan luka sosial hingga saat ini.

   Hal ini juga sejalan dengan temuan A. Pambudi dalam bukunya yang berjudul Gerakan 30 September : Antara Fakta dan Rekayasa yang membahas tentang bagaimana sejarah resmi dibangun melalui rekayasa politik. Ia mengumpulkan kesaksian para pelaku sejarah untuk menunjukkan adanya manipulasi kronologi, penghilangan data penting, dan dominasi satu versi sejarah yang dibuat untuk kepentingan rezim. Pambudi menunjukkan bahwa yang selama ini diajarkan pemerintah kepada masyarakat hanyalah versi penguasa. Dengan menghadirkan kembali suara pelaku, Pambudi berupaya mengungkap kebenaran tentang sejarah yang menutupi tragedi G30S/PKI 1965.

   Dari kedua sumber itu, kita dapat membandingkan antara karya Baskara dan Pambudi. Dari Baskara kita dapat melihat sisi kemanusiaan dan suara orang-orang kecil yang menderita, seperti Mujilah. Dari Pambudi, kita menyadari bagaimana kekuasaan itu bekerja dalam membentuk keaslian cerita resmi suatu bangsa. Dua sudut pandang ini saling melengkapi. Di titik ini, dokumenter dan penulisan sejarah menjadi tempat tarik-menarik. Ia bisa dipakai untuk mengendalikan masyarakat, tetapi juga bisa dipakai untuk membebaskan. Film Pengkhianatan G30S/PKI adalah contoh bagaimana dokumenter dijadikan alat propaganda pemerintahan rezim. Tetapi karya-karya seperti Suara di Balik Prahara dan Gerakan 30 September : Antara Fakta dan Rekayasa justru hadir sebagai pintu masuk untuk memahami sisi lain sejarah, yaitu sisi yang lebih jujur, lebih kompleks, dan lebih manusiawi.

Selain itu, perbedaan fungsi dokumenter di dua era ini memberi pelajaran berharga. Pada masa Orde Baru, dokumenter dikontrol dan dijaga ketat untuk mengukuhkan legitimilasi penguasa. Sedangkan di era reformasi, dokumenter mulai dipakai sebagai sarana kritik, refleksi, dan penyembuhan luka bangsa. Saat ini, dokumenter dan penulisan sejarah tidak lagi dianggap sebagai ruang tertutup, melainkan sebagai media untuk menghidupkan kembali suara-suara yang sebelumnya terkubur.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun