Mari kita jujur, kapan terakhir kali kita membaca buku sampai selesai? Kita lebih fasih swipe layar daripada membalik halaman. Buku hanya dicari ketika ada tugas, setelah itu... ponsel kembali menang. Namun ini bukan semata kesalahan anak-anak. Orang dewasa pun demikian. Waktu luang lebih sering dihabiskan untuk scroll tanpa arah daripada menyelami isi buku. Gadget bukan musuh. Dunia digital bukan ancaman. Tapi keseimbangan adalah kunci. Dunia literasi tak boleh ditinggalkan.
4. Siapa yang Bertanggung Jawab?
Jawabannya: semua pihak. Orang tua, yang menjadi role model pertama di rumah. Guru, yang menyalakan semangat belajar, bukan sekadar menyelesaikan kurikulum. Pemerintah, yang menyusun kebijakan literasi bukan hanya di atas kertas, tapi benar-benar terasa di lapangan.
5. Mulai dari yang Sederhana
Menjelang 2 Mei ini, mari kita tidak hanya merayakan Hari Pendidikan Nasional sebagai seremoni. Tapi mari kita mulai dari hal paling sederhana: Buka buku. Ajak anak membaca. Temani mereka memahami. Ciptakan ruang diskusi literasi di keluarga.
Jadikan buku kembali hidup. Jadikan membaca bukan sebagai kewajiban, tapi sebagai kebutuhan. Karena pendidikan sejati bukan tentang perayaan, tapi tentang kesadaran untuk terus belajar, berpikir, dan berubah.
Penutup:
Pada akhirnya, Hari Pendidikan Nasional bukan sekadar momen tahunan untuk bernostalgia atau membagikan kutipan inspiratif. Ia adalah cermin yang seharusnya memantulkan wajah jujur sistem pendidikan kita, dengan segala kemajuannya, juga segala kekurangannya. Kita harus berani melihat bahwa di balik seremoni yang rapi dan peringatan yang megah, masih banyak anak-anak yang kesulitan memahami bacaan, masih banyak guru yang bekerja keras dengan fasilitas minim, dan masih banyak rumah yang belum menjadi taman literasi bagi tumbuhnya generasi pembelajar sejati.
Kita tidak bisa terus menunda perubahan dengan dalih keterbatasan. Literasi bukan kemewahan, melainkan kebutuhan dasar abad ini. Kemampuan membaca dunia, memahami konteks, menyaring informasi, dan menumbuhkan empati, semua itu lahir dari budaya literasi yang hidup. Dan budaya itu tidak bisa dibentuk dalam sehari, apalagi hanya dalam satu seremoni.
Maka mari kita mulai dari ruang terkecil yang bisa kita jangkau. Keluarga, kelas, komunitas. Bangun kebiasaan bertanya, berdiskusi, dan membaca. Tak perlu menunggu program nasional atau gerakan viral. Cukup mulai dari satu buku, satu anak, satu sesi cerita, satu percakapan yang bermakna.
Karena sejatinya, pendidikan bukan tentang mengisi kepala dengan hafalan, tetapi tentang menyalakan cahaya berpikir. Dan literasi adalah sumbu utama dari cahaya itu.