MATAHARI mulai tinggalkan langit. Tenggelam di barat. Bulan sudah kokoh di timur. Udara menyerukanku mengikuti cahaya. Cahaya yang mana?
Kini aku memiliki dua cahaya. Cahaya yang akan meninggalkanku sesaat lagi, meski hangat, namun keberadaannya terbatas waktu. Cahaya di timur dingin, namun akan setia menemaniku dalam kesepian ini.
Tolong jawab aku, mengapa aku harus memilih cahaya rembulan? dan mengapa juga kuharus memilih cahaya matahari yang sebentar lagi dimakan waktu.
Aku memiliki segudang tanya,yang tak tahu siapa yang akan menjawabnya. Bahkan akupun tak tahu harus bertanya pada siapa. Gadis duapuluh tahun sepertiku dihantui desakan. Orangtuaku telah menyerukan agar secepatnya aku menikah.
Kebanyakan gadis di tempatku menikah pada usiaku. Itulah desakan yang harus kulalui. Kini ada dua lelaki yang mendekatiku. Aku menyebut mereka cahaya.
Ramadhan, lelaki seperti cahaya bulan yang kini menderaku. Sosoknya dingin, namun selalu ada ketikaku membutuhkannya. Dia teman sekantor, hingga keberadaannya menjadi penyebab aku harus menentukan pilihan.
"Aku tak bisa berbasa-basi, bersikap hangat dan humoris. Namun aku dapat menjamin cintaku padamu yang akan selalu ada," katanya padaku. Tapi aku tak memberikan jawaban padanya. Karena cahaya matahari lebih memberikan kehangatan meski sesekali bertemu.
Adit, dialah cahaya matahari. Kehangatannya memberikan kenyamanan kepadaku. Walau keberadaanya seringkali hanya sesaat.
Perasaanku lebih berat pada matahariku. Namun Ramadhan telah banyak berkorban untukku. "Aku belum bisa menerimamu," jawabku padanya. Tapi aku merasakan sakit ketika mengucap itu.
Aku takut jauh darinya. Wajahnya membuatku iba, saat aku menolaknya. Mungkin aku telah melakukan kesalahan besar tak memilih cahaya bulan.
Sei Rampah 3/4/2017