Salah satu falsafah hidup masyarakat Gorontalo yang begitu mengakar adalah “Aadati hula-hula’a to Sara’a, Sara’a hula-hula’a to Kuru’ani”, yang artinya adalah Adat bersendikan Syara’, dan Syara’ yang bersendikan Al-Qur’an.
Dalam praktiknya, Habibie tidak luput dan senantiasa menghidupkan adat istiadat Gorontalo dalam kehidupannya melalui penyelenggaraan upacara adat dikeluarganya.
Salah satu yang sering diselenggarakan adalah upacara adat pernikahan dan upacara adat saat memasuki usia aqil baligh.
Dalam budaya Gorontalo, terdapat dua upacara adat saat aqil baligh, yaitu khitanan bagi Laki-laki dan pembe’atan bagi Perempuan secara islam dan adat Gorontalo.
Oleh karenanya, tidak hanya B.J. Habibie yang saat kecil menjalani prosesi khitanan secara adat Gorontalo, namun dalam beberapa kesempatan, tradisi khitanan bagi laki-laki dan pembe'atan bagi perempuan yang mengikuti tata cara adat istiadat Gorontalo bagi keturunan keluarga besar Habibie, masih tetap dilaksanakan dari generasi ke generasi.
Pernikahan yang Sakral dengan Adat Tanah Leluhur
Saat menikah dengan Ainun, Habibie tidak melupakan adat leluhurnya. Resepsi mereka di Hotel Preanger, Bandung, menggunakan pakaian adat Gorontalo yang megah.
Dalam arsip pribadinya, foto resepsi pernikahan Habibie dan Ainun di Bandung menggunakan Paluwala (pakaian adat pria Gorontalo) dan Ibu Hasri Ainun Habibie menggunakan Bili’u (pakaian adat perempuan Gorontalo).
Sementara sehari sebelumnya, Habibie dan Ainun juga terdokumentasikan apik menggunakan Pakaian Adat Jawa yang anggun dengan dekorasi menggambarkan latar belakang keduanya sebagai seorang insinyur penerbangan dan lulusan kedokteran.