Dalam rangka memperingati hari lahir B.J. Habibie yang jatuh pada tanggal 25 Juni 1936, maka penting bagi generasi muda untuk kembali merenungi sebagian warisan intelektual, spiritual, dan kultural yang ditinggalkan oleh Presiden RI ke-3 ini.Â
Bukan hanya dikenal sebagai Mr. Crack dan Bapak Reformasi Indonesia, B.J. Habibie juga dikenal sebagai panutan dalam keteladanan iman, dan penjaga nilai-nilai luhur budaya yang diwariskan turun temurun dari keluarga besarnya.
Dalam berbagai kisah hidupnya yang telah ditulis di berbagai seri Buku, B.J. Habibie selalu mengatakan bahwa dalam setiap langkah hidupnya, ia senantiasa memadukan IMTAQ (iman dan takwa), IPTEK (ilmu pengetahuan dan teknologi), serta adat dan budaya dalam kehidupan sehari-hari.
Sebagai anak Sulawesi berdarah 'Gorontalo-Jawa' yang lahir di Parepare, Sulawesi Selatan, Rudy (sapaan B.J. Habibie saat kecil) selalu berprinsip bahwa kemajuan bangsa tidak hanya bergantung pada sains dan teknologi, tetapi juga pada akar budaya dan nilai spiritual yang kuat, diantaranya adalah akar budaya dan adat istiadat Gorontalo yang begitu kental membentuk karakter dan cita-citanya.
Prinsip Hidup Mo’odelo dan Gelar Adat yang disandangnya
Dalam Adat Gorontalo, B.J. Habibie adalah salah satu dari sedikit tokoh yang menyandang gelar adat secara paripurna, yaitu yang memiliki 2 gelar adat sekaligus.Â
Habibie semasa hidupnya menyandang gelar tertinggi Pulanga: "Ti Tilango Madala" yang berarti Sang Cahaya Negeri, dan ketika wafat pada tahun 2019 diberi gelar adat Gara'i: "Ta Lopo Lolade Tilango" yang berarti Sang pemberi Cahaya dengan ilmu yang dimilikinya.
Dua gelar adat tersebut diberikan oleh para pemangku adat Gorontalo dari Persekutuan 5 Pohala’a atau 5 Negeri Adat di Semenanjung Gorontalo yang meliputi Kesultanan Gorontalo, Kesultanan Limboto, Kerajaan Suwawa, Kesultanan Bolango, dan Kerajaan Atinggola.