Mohon tunggu...
Eva Basuno
Eva Basuno Mohon Tunggu... -

I am who I am, deal with it!

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Wahai Para Dokter! Jika Merasa Kompeten, Mengapa Takut Diuji?

23 Agustus 2010   16:24 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:46 809
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Hari ini saya membaca sebuah artikel hasil tautan rekan2 sejawat saya di salah satu jejaring sosial terkemuka. Artikel tersebut mengatakan bahwa sejumlah dokter muda ramai-ramai mendatangi gedung DPR untuk memprotes diadakannya Ujian Kompetensi Dokter Indonesia (UKDI) sebagai syarat penerbitan Surat Tanda Registrasi (STR) yang merupakan syarat pembuatan Surat Izin Praktek (SIP). Singkatnya, jika tidak lulus UKDI, ya tidak bisa praktek. Mereka mengatakan bahwa sistem ujian kompetensi itu mempersulit dan "menindas" mereka. Mereka merasa khawatir bahwa UKDI akan menghambat karir mereka. Sesuai judulnya, "Calon Dokter Gelisahkan Ujian Kompetensi".

Sebagai seorang dokter sungguh saya merasa amat kecewa dan malu. Sebagai seorang masyarakat Indonesia apalagi. Betapa tidak, mereka yg mengatasnamakan diri mereka Forum Dokter Muda Indonesia (FDMI) merasa tertindas karena suatu ujian? Apalagi alasan yg diajukan menurut saya mengada-ada. Memang benar kualitas didikan pendidikan kedokteran bukan ditentukan berdasarkan sebuah ujian saja, melainkan dari seluruh sistem pendidikan yang saat ini diwakilkan dengan sistem pengakreditasian. Lantas apakah lulusan perguruan tinggi terakreditasi A akan lebih baik dr yg terakreditasi B? Belum tentu. Disinilah peran suatu ujian kompetensi. Untuk menilai kelayakan seorang dokter untuk terjun ke masyarakat.

Saya sendiri merupakan lulusan yg wajib menempuh UKDI tersebut. Di zaman saya dulu (belum lama kok, br 2 th yg lalu) memang pernah ada suatu perdebatan sengit mengenai pelaksanaan UKDI ini. Namun, bukan memperdebatkan perlu atau tidaknya, melainkan lebih ke masalah jadwal dan biaya. Dulu kami (mohon maaf, istilah "kami" di sini bukan berarti seluruh angkatan saya, tp mayoritas rekan sekampus saya) mempertanyakan jadwal UKDI yg hny 4x/thn, sehingga kami hrs menunda bbrp bulan utk dpt bekerja (atau pd saat itu yg populer adl mendaftar PTT). Waktu itu kami meminta agar jadwal ujian dipersering dan disesuaikan dg waktu kelulusan tiap fakultas (yg sampai skrg tdk dipenuhi. Yah, namanya jg usaha!). Kami jg mempertanyakan ke mana aliran uang pendaftaran yg kami bayarkan itu berujung? Tidak ada wacana protes-protesan untuk membatalkan, terlebih hingga ke DPR, krn kami menganggap (dan mgk hingga saat ini) bahwa sistem ujian kompetensi itu PERLU.

Bahkan setelah saya menjalani sendiri ujian tsb, saya dan rekan-rekan saya sepakat bahwa UKDI itu masih jauh di bawah standar. Tengoklah ujian-ujian kompetensi di negara lain, misalnya USMLE di Amerika, atau PLAB di Inggris. Tidak peduli apakah para dokter baru ini lulusan Harvard atau Oxford, atau bahkan lulusan perguruan tinggi gurem di negeri antah berantah, jika tidak lulus berarti jangan pernah coba menyentuh pasien seujung rambut pun! Ujian yg sedemikian rumitnya itu (terdiri dr 3 sesi, termasuk ujian thd pasien) pun masih saja "kecolongan" sejumlah dokter yg tdk kompeten. Apalagi UKDI semacam ini! Tapi saat itu kami terima-terima saja. Toh masih lebih baik drpd tdk ada!

Sistem akreditasi memang baik, sangat baik malah. Tapi apakah masyarakat sekarang peduli apa akreditasi perguruan tinggi almamater dokternya? Masyarakat menengah ke atas mungkin peduli, tapi berapa persen dr penduduk Indonesia yg menengah ke atas? Saya sendiri membayangkan jika saya berada di posisi pasien. Saya tdk mau mempercayakan diri saya, tubuh saya, utk "dimanipulasi" oleh dokter yang belum teruji kompetensinya. Obat apa yang disuntikkan ke tubuh saya? Obat apa yg saya minum tiap hari? Pernahkah anda membayangkan jika obat2an itu ternyata salah atau tidak sesuai prosedur? Pernahkah anda membayangkan bahwa dokter yg memberikannya sebenarnya tidak tahu (tidak kompeten), tapi sok tahu karena takut dianggap bodoh? Jika saya seorang pasien, saya tidak akan membiarkan diri saya atau keluarga saya disentuh seujung rambutpun oleh dokter seperti itu.

Sudah jadi rahasia umum kalau "jadi dokter harus pinter" kini sudah tidak berlaku lagi. Otak sudah bisa dibeli dengan uang. Jujur saja, jika anda mempunyai sebuah fakultas kedokteran (milik pribadi), mana yg akan anda pilih, seorang calon mahasiswa yg sangat pintar tapi tidak mampu membayar SPP atau seorang calon mahasiswa yg setengah pintar tapi berani menyumbang 2 milyar? (itu sumbangan terbesar yg ditawarkan orang tua calon mhs kedokteran yg pernah sy dengar). Di negara Republik Indonesia ini, kita semua pasti sudah tahu jawabannya bukan?

Saya hanya berharap agar para calon dokter janganlah menganggap hal ini sebagai bentuk penindasan thd suatu profesi. Profesionalisme memang perlu diuji dan UKDI ini baru langkah awalnya saja. Lantas apakah para dokter perlu khawatir dan terbebani? Jawabnya PERLU. Menjadi seorang dokter berarti siap menanggung beban tanggung jawab yg besar. Tidak ada profesi yg tanpa beban, apa pun itu. Dokter, pengacara, akuntan, apoteker, dan profesi lainnya semuanya pasti punya beban. Jika tidak ingin terbebani oleh tanggung jawab profesi, jadi pengemis saja lah! Tenang saja, anda tidak akan jatuh miskin! Banyak pengemis yg jd orang kaya.
Rasa khawatir pun perlu agar kita selalu waspada dan mawas diri. Jika anda tidak punya rasa khawatir lagi, berhentilah jadi dokter! Karena itu berarti anda sudah menganggap diri anda paling hebat. Hanya Tuhan dan orang gila saja yang boleh menganggap dirinya hebat.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun