Oleh : Finda Pensiuna Wati
Di ujung timur Indonesia, terbentang sebuah keajaiban alam yang tak tertandingi: Raja Ampat. Gugusan pulau-pulau kecil dengan laut sebening kristal, terumbu karang yang kaya akan keanekaragaman hayati, dan hutan tropis yang lebat menjadikan tempat ini sebagai salah satu surga terakhir di Bumi. Namun, di balik keindahan itu, ada luka yang perlahan menganga luka akibat kerusakan hutan yang kian masif, dan yang paling menyakitkan, ini terjadi di bawah pengawasan dan persetujuan kebijakan pemerintah.
Ketika Surga Mulai Terkoyak
Dalam beberapa tahun terakhir, laporan demi laporan bermunculan tentang pembukaan lahan, penebangan liar, dan izin konsesi yang diberikan kepada perusahaan besar untuk mengeksploitasi hutan Raja Ampat. Dengan dalih pembangunan dan peningkatan ekonomi daerah, pemerintah pusat dan daerah tampak begitu mudah memberi lampu hijau bagi investor, tanpa mempertimbangkan dampak ekologis jangka panjang.
Satu kasus mencolok adalah izin konsesi kelapa sawit di distrik Klaso dan Sayosa Timur. Meskipun akhirnya dicabut karena tekanan publik dan aktivis lingkungan, peristiwa ini menjadi simbol betapa mudahnya "surga" ini dijual atas nama pembangunan. Dalam hati masyarakat lokal, keputusan itu menyisakan rasa kecewa dan marah. Pemerintah seakan menutup mata terhadap makna sakral tanah dan hutan bagi penduduk asli Papua Barat.
Ketidakadilan Ekologis yang Terstruktur
Apa yang terjadi di Raja Ampat bukan sekadar kerusakan alam biasa ini adalah bentuk nyata ketidakadilan ekologis. Penduduk adat yang menjaga hutan turun-temurun justru seringkali tidak dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan. Mereka harus menyaksikan hutan tempat mereka berburu, berkebun, dan melakukan ritual leluhur digunduli atas nama investasi.
Ironisnya, pemerintah begitu gencar mempromosikan Raja Ampat sebagai destinasi wisata internasional, namun abai dalam melindungi akar dari keindahan itu: hutannya. Sebuah paradoks yang menyesakkan.
Kekecewaan yang Mencuat dari Akar Rumput
Aktivis lingkungan seperti Greenpeace dan WALHI juga menyuarakan kekecewaan mereka terhadap pemerintah yang dinilai tidak tegas dalam menindak perusahaan perusak lingkungan. Banyak izin usaha yang bermasalah secara hukum tetap dibiarkan beroperasi, seolah-olah hukum hanya berlaku bagi rakyat kecil.
Harapan yang Tertinggal