Mukjizat itu disesuaikan dengan keadaan kaum dimana seorang nabi tersebut diutus. Jenisnya juga disesuaikan dengan perkara yang paling masyhur pada zaman mereka. Hal ini bertujuan agar pemahaman yang dibawa oleh nabi tersebut sesuai dengan tingkat pemikiran umatnya.
Aliran Ahmadiyah juga mempunyai argumen sendiri mengenai mukjizat. Mereka banyak tidak meyakini kejadian mukjizat yang terjadi pada Nabi. Menurut Ahmadiyah, sesuatu yang luar biasa itu terjadi bukan lain hanyalah atas kuasa Yang Maha Esa. Seperti halnya Nabi Daud yang dapat melunakkan besi, Nabi Daud as. dapat melunakkan besi bearti seolah-olah setiap macam kesulitan menjadi mudah untuk Nabi Daud as.Â
Tetapi bagaimanapun kami juga tidak menolak bila "dapat melunakkan besi" itu difahami sebagai mukjizat sebenarnya. Karena jika manusia tidak beriman dan yakin pada kekuasaan Allah Ta'ala, lalu apa yang diyakini terhadap Allah? Mereka juga tidak bisa meyakini sebagai mukjizat sesuatu yang bertentangan dengan hukum Allah (sunatullah) yang dijelaskan dalam Quran Syarif.Â
Misalnya, kami menolak keyakinan bahwa ada manusia atau nabi yang bisa menghidupkan orang mati secara hakiki (secara jasmaniah). Penolakan ini berdasarkan firman Allah dalam  Q.S Az Zumar, 39:42. Singkatnya, hal-hal yang bertentangan dengan hukum Allah yang dijelaskan dalam Quran Syarif, mereka sama sekali tidak bisa menerimanya.
Masih seputar mukjizat, telah terjadi perbedaan pendapat di kalangan para ulama mengenai mukjizat. Para ulama Sunni sepakat bahwa mukjizat merupakan hal yang nomor 1 dalam membuktikan kebenaran kenabian.Â
Seperti halnya menurut pendapat Abu Hasan al-Asy'ari bahwa bukti kenabian nabi Muhammad ada di al-Qur'an. Selain Abu Hasan al-Asy'ari, ada juga ulama Sunni yang lainnya seperti Abdul Malik Juwaini, Imam Haramain, dan Imam Fakhr ad-Din.Â
Selain itu, Muhammad Baqiri Saidi Rousyan dalam karyanya menyimpulkan bahwa jalan manusia mencari kesempurnaan dan pengobatan seorang nabi lebih unggul daripada mukjizat itu sendiri. Nabi adalah seorang dokter ruh, karena dengan segala ajarannya ia mengobati batin manusia. Jalan "ilmu" ini lebih baik daripada jalan mukjizat yang bersifat inniy (sebab-akibat) dan mampu menghilangkan keraguan kepada kenabian.
Berbeda dengan ulama Sunni, para ulama mu'tazilah menempatkan mukjizat di bawah ajaran hidup nabi, pola hidup nabi, dan moralitas nabi. Sebagaimana pendapat yang diungkapkan oleh Qadii Abdul Jabbar Muktazili, ia mengungkapkan bahwa mukjizat sebenarnya bisa menjadi bukti atas kebenaran kenabian, namun hanya memandang mukjizat sebagai pemantapan dan penegasan bagi jiwa saja. Yang paling utama yang menjadi bukti kenabian yaitu pola hidup, moral, dan kehidupan dari seorang nabi.
Selain itu, ada juga yang tidak mempercayai mukjizat kecuali al-Qur'an, yaitu Rasyid Ridha. Ia menolak hadits-hadits yang menerangkan tentang mukjizat selain al-Qur'an atau ia akan mencoba mentakwilkannya agar sesuai dengan pendapatnya yang diambil dari ayat-ayat al-Qur'an dan hadits.Â
Dengan demikian, Rasyid Ridha tidak mengakui sisi luar biasa yang terjadi di dalam mukjizat. Ia juga berpendapat bahwa mukjizat-mukjizat tersebut tidaklah digunakan untuk membuktikan kebenaran ajaran yang dibawanya dan juga tidak diajarkan kepada mereka.Â
Adapun yang menjadi bukti kebenaran ajaran Rasulullah adalah al-qur'an itu sendiri. Selain kandungannya yang mengandung mukjizat, umat Rasulullah juga telah mengalami perkembangan akal dan kebebasan berpikir sehingga tidakakan tunduk terhadap orang yang mengeluarkan sesuatau yang aneh, ajaib, dan gaib. Malah menurutnya dianggap tidak sempurna kemajuan akal manusia kalau masih percaya terhadap hal-hal tersebut.