Syekh Abdurrauf bin Ali al-Fansuri as-Singkili adalah seorang ulama besar Aceh yang terkenal. Ia memiliki pengaruh yang besar dalam penyebaran agama Islam di Sumatra dan Nusantara pada umumnya. Sebutan gelarnya yang juga terkenal ialah Teungku Syiah Kuala. Dari segi intelektual ia menguasai berbagai bidang ilmu pengetahuan, hal ini terlihat dari karya-karyanya di berbagai bidang, fiqih, tafsir, tasawuf dan lain sebagainya. Syekh Abdurrauf As-Singkili mulai menuntut ilmu sejak kanak-kanak. Awalnya beliau berlajar kepada ayahnya yang merupakan sosok yang alim, Ali Al-Fansuri. Kemudian ia pergi menuntut ilmu Pasai. Seusai menuntut ilmu di Pasai, beliau pergi ke Arab untuk menunaikan ibadah haji. Setelah selesai haji, beliau tidak langsung pulang. Hal ini merupakan hal yang lumrah bagi masyarakat melayu. Ia mempelajari berbagai disiplin ilmu dari berbagao guru terkemuka.
Selain di mekkah, beliau juga menuntut ilmu di madinah. Beliau belajar kepada dua guru besar, yaitu Ahmad al-Qusyasyi dan Ibrahim al-Kurani. Melalui al-Qusyasyi beliau belajar tasaquf. Dan dari guru besarnya, beliau diangkat menjadi khalifah tarekat Syattariyah dan Qadariyah.
Banyak kitab yang telah Syekh Abdurrauf As-Singkili karang. Kitab-kitab karangan beliau yaitu Syarh Lathif 'ala Arbain Hadistan lil Imamin Nawawi,Sullamul Mustafidin, Risalah Mukhtasharah fi Bayani Syuruthisi Syaikhi wal Murid, Fatihah Syeikh Abdur Rauf, Daqaiqul Huruf, Sakratul Maut, Risalah Simpan, Mun-yatul I'tiqad, Bayanul Ithlaq/bayanut Tajalli, Risalah A'yan Stabitah, Risalah Jalan Ma'rifatullah, Kifayatul Muhtajin ila Masyrabil Muwahhidi nal Qa-ilin bi Wihdatul Wujud, 'Umdah Muhtajin ila Sulukil Mufarridin Washiyah, Mir'atul Thulab fi Tas-hili Ma'ritah Ahkamisy Syar'iyah lil Mulkil Wahhab, Turjumanul Mustafid,Mawa'izhul Badi'ah,Idhahul Bayan li Tahqiqi Masailil Ad-yan, Majmu'ul Masail. Hujjatul Balighah 'ala Jumu'atil Muqasamah, Ta'yidul Bayan Hasyiyah Idhahil Bayan, Syamsul Ma'rifah, Pindahan Dari Otak Ilmu Tasawuf, Tanbihul 'Amil Fi Tahqiq Kalamin Nawafil, dan Umdatul Ansab.
Setelah al-Qusyasyi wafat, beliau pulang ke aceh. Pada saat itu aceh sedang terjadi kekacauan yang disebabkan oleh pertentangan antara dua pemikiran tasawuf radikal, antara konsep wahdah al-wujud Hamzah al-Fansuri dan konsep wahdah al-syuhud al-Raniri. Dalam kondisi yang demikian, Syekh Abdurrauf As-Singkili memilih tidak ingin terlibat langsung, beliau memilih untuk menjadi masyarakat biasa di pesisir Pantai Krueng.
Awalnya Syekh Abdurrauf As-Singkili hanya sebagai nelayan biasa. Saking alimnya beliau, banyak orang-orang pesisir yang membicarakannya karena ceramah yang dilakukannya. Hal itu kemudian didengar oleh pihak kerajaan dan kemudian mengujinya. Setelah itu, beliau didatangi oleh sekretaris kerajaan, Hamzah al-Asyi. Hamzah al-Asyi datang untuk mencari tahu jati diri Syekh Abdurrauf As-Singkili. Hamzah al-Syi puas akan jawaban Syekh Abdurrauf As-Singkili atas pertanyaannya. Kemudian hamzah al-Asyi melapor ke Sulthanah dan dipanggillah Syekh Abdurrauf As-Singkili untuk mengisi kegiatan Maulid Nabi di kerajaan. Sulthanah merasa puas dengan ceramah Syekh Abdurrauf As-Singkili dan kemudian mengundang lagi untuk kedua kalinya dengan tujuan untuk mendiskusikan pelbagai problematika. Pada undagan kedua tersebut Syekh Abdurrauf As-Singkili mengungkapkan dirinya jati dirinya sebagai sosok yang laim dan kemudian sulthanah mengangkat beliau sebagai qadhi kerajaan.
Syekh Abdurrauf As-Singkili dengan al-Raniri sama-sama menolak paham al-fansuri. Namun bedanya, al-Raniri sangat menentang keras paham tersebut dan tidak menerima kompromi. Sedangkan Syekh Abdurrauf As-Singkili sangat berhati-hati dalam mengambil langkah.
Syekh Abdurrauf As-Singkili memang tidak sepemikiran dengan paham al-Fansuri, namun Syekh Abdurrauf As-Singkili memiliki pemikirannya sendiri mengenai tasawuf. Dalam hal ini, Syekh Abdurrauf As-Singkili berpandangan bahwa alam diciptakan sebagai tempat tajalli Tuhan. Â Alam yang di dalamnya termasuk manusia, diciptakan sebatas tubuh tanpa ruh atau nyawa. Nama dan sifat-Nya diberikan kepada tubuh tersebut sebagai ruhnya. Menurut Syekh Abdurrauf As-Singkili, ada dua unsur dalam penciptaan manusia, yaitu a'yan kharijah dan a'yan tsabitah. Jika al-Fansuri berpendapat bahwa manusia merupakan sebagai cermin Tuhan, berbeda dengan Syekh Abdurrauf As-Singkili, beliau berpendapat bahwa manusia itu sebagai bayangan tuhan. A'yan kharijah merupakan bayangan dari a'yan stabitah. A'yan stabitah adalah bayangan dari dzat Allah. Bayangan bukanlah bayangan dari pemilik bayangan tersebut. Artinya, manusia tidak berwujud dengan dirinya sendiri. Ajaran tasawufnya mirip dengan Syamsuddin al-Sumatrani dan Nuruddin al-Raniri, yaitu menganut paham satu-satunya wujud hakiki, yakni Allah. Sedangkan alam ciptaan-Nya bukanlah merupakan Wujud hakiki, tetapi bayangan dari yang hakiki. Menurutnya jelaslah bahwa Allah berbeda dengan alam. Langkah-langkah yang diambil Syekh Abdurrauf As-Singkili dalam menghadapi konflik tasawuf di aceh itu sejalan dengan kecenderungan jaringan ulama abad ke-17 M yang berupaya saling mendekatkan antara ulama yang berorientasi pada syariat dengan para sufi yang berorientasi pada makrifat.
Dapat dilihat bahwa Syekh Abdurrauf As-Singkili sangat berhati-hati dalam melangkah. Sikap moderatnya itu menggambarkan bahwa dirinya telah sangat matang dalam menuntut ilmu.
Selain pemikiran yang dipaparkan di atas, masih banyak lagi pemikiran dan pndangan Syekh Abdurrauf As-Singkili mengenai tasawuf. Al-Sinkili menpunyai pemikiran tentang zikir. Zikir, dalam pandangan al-Sinkili, merupakan suatu usaha untuk melepaskan diri dari sifat lalai dan lupa. Dengan zikir inilah hati selalu mengingat Allah. Tujuan zikir ialah mencapai fana' (tidak ada wujud selain wujud Allah), berarti wujud hati yang berzikir dekat dengan wujud-Nya.
Ajaran tasawuf al-Sinkili yang lain adalah bertalian dengan martabat perwujudan.
Menurutnya, ada tiga martabat perwujudan: pertama, martabat ahadiyyah atau la ta'ayyun, yang mana alam pada waktu itu masih merupakan hakikat ghaib yang masih berada di dalam ilmu Tuhan. Kedua, martabat wahdah atau ta'ayyun awwal, yang mana sudah tercipta haqiqat Muhammadiyyah yang potensial bagi terciptanya alam. Ketiga, martabat wahdiyyah atau ta'ayyun tsani, yang disebut juga dengan a'yan al-tsabitah dan dari sinilah alam tercipta. Menurutnya, tingkatan itulah yang dimaksud Ibn' Arabi dalam syair-syairnya.