Yang ironis: fitur yang dirancang untuk membantu justru mempermudah kita mengambil keputusan buruk, tanpa sadar.
Efeknya bukan cuma terasa di dompet, tapi juga di pikiran. Cicilan konsumtif punya konsekuensi jangka panjang yang sering kali tak disadari. Dalam ekonomi rumah tangga, ini disebut consumption smoothing failure ketidakmampuan menjaga keseimbangan konsumsi antarwaktu. Padahal, konsumsi idealnya harus mengikuti kapasitas. Dari sisi psikologis, tekanan akibat utang konsumtif bisa memicu stres, kecemasan, bahkan depresi. Studi Rahmatika Sari (2021) menunjukkan bahwa penggunaan paylater berlebihan dikaitkan dengan penyesalan pasca pembelian (post-purchase regret) dan stres finansial, terutama pada generasi muda yang pendapatannya belum stabil.
Fenomena cicil atau sewa HP mencerminkan perubahan makna konsumsi: bukan lagi tentang kebutuhan, tapi validasi. Bukan tentang punya, tapi tampak punya. Dalam budaya digital yang mendorong kita untuk selalu terlihat mampu, kontrol diri justru jadi kemewahan yang paling langka. Karena di era di mana semua bisa dicicil, kemampuan paling keren bukan lagi soal punya HP terbaru tapi soal tahu kapan harus bilang: cukup.
Apakah fenomena cicilan ini wajar sebagai bagian dari gaya hidup modern, atau justru bentuk baru dari tekanan sosial yang menyamar jadi kenyamanan?
Tulis pendapat Anda di kolom komentar. Yuk, diskusi!
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI