Di era paylater dan budaya tampil, batas antara kebutuhan dan validasi makin kabur.
Beberapa waktu lalu, saya ngobrol dengan seorang teman. Ia bilang, membeli iPhone terbaru dengan cara dicicil terasa lebih ringan dan "masuk akal" dibanding menabung dulu lalu beli cash. Padahal, HP yang dia pakai saat itu masih sangat layak dan berfungsi baik. Tapi dorongan untuk punya model terbaru membuat cicilan jadi terlihat sebagai solusi, bukan beban.
Saya sempat berpikir bukankah lebih logis menabung? Tapi nyatanya, logika finansial sering dikalahkan oleh tekanan sosial dan keinginan instan. Yang lebih mengganjal: kita mencicil barang yang nilainya menurun. HP bukan aset, ia bukan investasi harga dan fungsinya akan turun dalam hitungan bulan. Lalu, sepadankah beban cicilan itu untuk sesuatu yang sifatnya terus-menerus terdepresiasi?
Kalimat "Gaji 5 juta, cicil iPhone 2 juta" mungkin terdengar ekstrem. Tapi itu sangat relevan hari ini. Di tengah gaya hidup digital dan tekanan media sosial, banyak orang rela mengorbankan hampir separuh gajinya demi ponsel terbaru bukan karena fungsinya, tapi supaya terlihat sekelas.
Fenomena cicil HP adalah bagian dari pola konsumsi baru yang serba instan dan visual. Platform e-commerce, fintech, dan promo cicilan 0% membuat barang mahal terasa bisa dijangkau siapa saja. Tapi mampukah benar-benar, atau hanya terlihat mampu?
Hari ini, ponsel bukan cuma alat komunikasi. Ia juga simbol status. Kamera jernih, logo apel tergigit, dan desain premium sering dianggap mewakili siapa kita di mata sosial. Di dunia yang digerakkan algoritma visual, media sosial memperkuat tekanan itu. Semua orang berlomba terlihat menarik, update, dan mampu. Akibatnya, banyak keputusan finansial diambil bukan berdasarkan kebutuhan, tapi demi validasi.
Fenomena ini bukan tanpa penjelasan. Dalam teori ekonomi klasik, ada istilah yang tepat untuk menggambarkan pola konsumsi semacam ini: konsumsi ostentatif dari Thorstein Veblen. Menurutnya, kelas menengah dan bawah cenderung meniru gaya hidup kelas atas demi memperoleh pengakuan. Maka, iPhone bukan lagi soal fitur tapi soal simbol. Ini disebut efek Veblen, ketika harga tinggi justru meningkatkan daya tarik barang karena status yang melekat padanya.Â
Sewa iPhone adalah versi ekstrem dari logika ini. Di kota-kota besar, banyak layanan sewa HP bermunculan: dari harian, mingguan, hingga bulanan. Bagi sebagian orang, tampil "high class" satu malam lebih penting daripada kestabilan finansial satu bulan.
Tapi di balik semua itu, ada pola pikir yang lebih dalam dan mungkin lebih berbahaya. Kita cenderung mengira bahwa bisa mencicil berarti mampu membeli. Dalam ekonomi perilaku, ini disebut present bias di mana kita lebih menghargai kepuasan sesaat daripada mempertimbangkan beban masa depan. Penelitian Ammalia & Prasetyo (2024) menunjukkan bahwa rendahnya literasi finansial dan dorongan gaya hidup konsumtif membuat orang mudah tergoda menggunakan paylater untuk kebutuhan non-esensial. Banyak pengguna tidak sadar bahwa total cicilan, bunga, dan denda keterlambatan perlahan menggerus kapasitas finansial mereka.
Realitasnya, banyak orang lebih memilih "terlihat mampu hari ini" lewat cicilan, daripada menunda dan beli tunai. Padahal secara ekonomi, mencicil barang yang nilainya turun seperti HP adalah bentuk keputusan yang makin tidak sepadan.
Sayangnya, logika konsumtif ini didukung penuh oleh sistem yang mempermudah segalanya. Kemudahan platform digital justru memperkuat ilusi itu. Banner seperti "Tanpa Kartu Kredit" atau "Cuma 300 Ribuan per Bulan" terdengar enteng, tapi menyamarkan realitas utang jangka panjang. Menurut teori nudging dari Richard Thaler, manusia tidak selalu rasional dalam mengambil keputusan finansial. Kita mudah terdorong oleh tampilan aplikasi, notifikasi, dan promo visual. Fitur yang dimaksudkan untuk "memudahkan hidup" justru membuat kita lebih impulsif berulang kali