Mohon tunggu...
De Kils Difa
De Kils Difa Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penikmat

Berkarya Tiada BAtaS

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Catatan Ringan: Buka Diri Kembali 'Fitri' Untuk Selamanya

7 Juli 2016   20:20 Diperbarui: 7 Juli 2016   20:27 18
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar; Sakeena.net

Bergegas untuk mandi kemudian melanjutkan tugas kewajiban sebagai hamba Tuhan. Setelah itu aku sarapan. Mengisi kebutuhan jasmani sebelum menerima kebutuhan rohani, nanti di mushola.

Rumah Tuhan masih sepi. Hanya beberapa orang yang sudah siap memulai aktifitas di bulan Syawal. Seseorang asyik mengumandangkan takbir di depan. Jamaah lain mengikuti dari shaf belakang. Aku memilih duduk di barisan (shaf) ke tiga dari depan. Sholat dua rakaat sebagai aktifitas formalitas memasuki rumah Tuhan. Ah … kenapa hati ini masih berfikiran seperti itu ? hanya ‘formalitas’. 

Selang beberapa menit kemudian satu, dua, tiga, empat orang bahkan lebih  datang silih berganti. Mengisi shaf-shaf belakang yang masih kosong. Bukan hal aneh kan ? tak jauh bedanya denganku. Padahal shaf satu dan dua dari depan masih belum penuh. Baru tiga sampai empat orang. Hahaha .. mungkin kebanyakan pikiran orang, itu tempat khusus orang-orang terhormat, semacam Ustadz, Pak Haji, Pak RT, RW atau orang-orang tua (banget). Tak enak kalau di tempati. Padahal Rosul tidak mengajarkan seperti itu. Bukankah begitu ?

Kumandang takbir berganti sholawatan atas Nabi Muhammad saw. Tanda sholat ‘Ied di mulai. Petugas pengumpul infak seperti biasa berkeliling dengan menengadah sajadah atau kain apa saja pada jamaah. Semua berlomba bersedekah. Tak peduli berapa jumlah yang dikeluarkan. Aku kurang setuju dengan cara itu. Terkesan ‘memaksa’ secara halus. Yaaa … meski niat tidak seperti itu. Tapi bagiku, cara menyediakan kotak-kotak amal dan diletakkan di ujung masing-masing shaf lebih terhormat di banding ada petugas keliling sambil menengadah. Ah … bagaimana mengubah kebiasaan ini ?

##

Khotib sekaligus Imam di datangkan dari daerah sebelah. Lumayan jauh. Kata Ketua Mushola dalam sambutannya, beliau dari kecamatan Bojong. Bagus juga, ada peningkatan lebih baik untuk sedikit mengubah cara lama memakai Ustadh produk dalam daerah. Biar ada perbedaan begitu tiap tahunnya.

Ketua mushola dalam sambutannya, selain memaparkan keuangan selama kegiatan sebelum dan pas ramadhan, beliau juga memaparkan tentang mimpinya untuk memperbaharui bangunan mushola dalam bentuk ‘tingkat’ karena melihat kapasitas jamaah sholat ‘Ied yang meluber sampai badan jalan. Sungguh cita-cita mulia. Tapi bagiku ironis.

Bangunan mushola sekarang saja, buatku sudah megah dan wah untuk ukuran mushola kampung. Kalau mau di tingkat lagi, mungkin akan jadi bangunan mushola super wah. Tapi ironis, sebabnya bangunan sekarang besar dan luas, tapi jamaah yang ada tidak bisa di bilang cukup. Bayangkan, untuk ukuran satu RT yang jumlah per-KK rata-rata mencapai 50 orang (kurang lebih), tapi saat ramadhan (sholat tarawih) hanya dua shaf yang dapat terkumpul. Sementara sholat fardhu, jangan harap lebih.

Faktanya, malah kurang dari jumlah itu. Bahkan pengalamanku beberapa waktu lalu (sebelum ramadhan) aku berniat sholat shubuh di mushola, dan ketika datang ternyata mushola dalam kondisi di gembok. Padahal kumandang adzan shubuh sudah tersiar dari mushola lain.

Aku tidak bermaksud menolak cita-cita itu. Tapi buatku, untuk sekarang ini yang utama yaitu bagaimana caranya dengan kondisi mushola yang ada kita bisa memanfaatkan mushola sebagaimana fungsinya dengan baik. Minimal ketika sholat 5 waktu datang, kumandang adzan dan orang sholat di mushola itu ada. Faktanya (mudah-mudahan ini salah) menurut pengamatan dan pengalamanku, mushola hanya di jadikan untuk sholat maghrib, isya dan shubuh saja. Plus ketika sholat 2 hari raya. Lebih jauh, bagaimana kita bisa membuat jamaah kita untuk senantiasa bisa hadir berjamaah di kala kewajiban sholat 5 waktu datang dengan nyaman dan khusu’. Kalau ini berjalan dan mushola penuh, baru kita jalankan cita-cita mulya itu.

##

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun