Mohon tunggu...
Fikri Hadi
Fikri Hadi Mohon Tunggu... Dosen - Instagram : @fikrihadi13

Dosen Fakultas Hukum Universitas Wijaya Putra, Surabaya || Sekjen DPP Persatuan Al-Ihsan. Mari turut berpartisipasi dalam membangun kekuatan sosial, ekonomi, budaya dan pendidikan Umat Islam di Persatuan Al-Ihsan.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Semua Salah Pemerintah Pusat, Semua Salawi

16 September 2021   08:04 Diperbarui: 16 September 2021   08:14 332
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Presiden Joko Widodo menemui peternak asal Blitar, Suroto di Istana Negara pada 15 September 2021 (Dokumentasi : Sekretariat Presiden via Kompas.com)

Dewasa ini, jagad media sosial diramaikan dengan sejumlah penangkapan beberapa orang oleh aparat yang membentangkan poster yang berisi keluhan maupun kritik terhadap kinerja Pemerintahan. Salah satunya adalah penangkapan seorang peternak yang membentangkan poster berisi keluhannya mengenai mahalnya harga pakan jagung dan murahnya telur ketika kunjungan Presiden Joko Widodo di Blitar, Jawa Timur pada Selasa, 7 September 2021. Penangkapan tersebut meramaikan jagad media sosial, apalagi pasca ramainya foto-foto penghapusan mural yang berisikan kritik terhadap kinerja Pemerintahan yang terjadi beberapa waktu sebelumnya.

Hal yang diluar dugaan terjadi pada Rabu, 15 September 2021. Presiden mengundang Pak Suroto, peternak yang membentangkan poster di Blitar kala itu. Bahkan Presiden menyampaikan kepada peternak tersebut bahwa Presiden berterima kasih dengan poster yang dibuatnya karena menjadi tahu kondisi di bawah. Presiden juga menyampaikan bahwa laporan anak buahnya tidak sampai ke atas.

Walaupun demikian, publik sudah terlanjur ramai dengan penangkapan sejumlah orang oleh aparat terkait pembentangan poster ataupun aksi-aksi lainnya dalam menyampaikan aspirasi maupun kritik kepada Pemerintahan. Narasi-narasi negatif ditujukan kepada Pemerintah Pusat khususnya kepada Presiden Joko Widodo. Pemerintahan saat ini, khususnya Presiden Joko Widodo terlanjur dicap anti kritik, orba 2.0, rezim otoriter dan sebagainya. Semua kesalahan ditujukan kepada Pemerintah Pusat, atau istilah kekinian di media sosial adalah 'Salawi' (Salah Jokowi).

Publik mungkin sedikit lupa bahwa sejumlah tindakan-tindakan yang dinilai kontra demokrasi oleh publik dilakukan bukan berdasarkan instruksi Presiden Joko Widodo atau bahkan Presiden, Pemerintah Pusat ataupun Pemerintah dalam arti eksekutif tidak mempunyai kekuasaan atau kewenangan untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan yang dikritik oleh masyarakat tersebut.

Sebagai contoh terkait penghapusan mural yang dilakukan di berbagai daerah. Tindakan tersebut dilakukan salah satunya berdasarkan inisiatif kepolisian sendiri dan bukan berasal dari instruksi Presiden. Bahkan Presiden pada pertemuan dengan sejumlah pemimpin redaksi media di Istana Kepresidenan, 15 September 2021, menegaskan bahwa beliau telah menegur Kapolri terkait tindakan reaktif aparat terhadap pelaku mural berisi kritik ke Pemerintah.

Pada lokasi yang berbeda, penghapusan juga dilakukan oleh Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP). Di sini publik seakan lupa bahwa Satpol PP merupakan perangkat di Pemerintah Daerah. Di era reformasi yang merupakan salah satu cirinya adalah pemerintahan dengan asas desentralisasi, kewenangan tersebut merupakan ranah dari Pemerintah Daerah sebagai wujud dari Otonomi Daerah dan bukan lagi tersentralistik di tangan Pemerintah Pusat. Bahkan terkadang, permasalahan yang seharusnya merupakan kewenangan Pemerintah Daerah justru disampaikan kepada Pemerintah Pusat. Terkadang masyarakat daerah justru tidak mengetahui kinerja pemerintahan di daerahnya masing-masing, sehingga semua keluhan dan kritik ditujukan kepada Pemerintah Pusat. Pemerintah Daerah juga terkadang masih lamban dalam menyikapi dan menangani apa yang menjadi keluhan warganya masing-masing. Sehingga ujungnya, Pemerintah Pusat dipersalahkan atas kinerja buruk yang terjadi di daerahnya (yang padahal hal tersebut merupakan kewenangan dari Pemerintah Daerah masing-masing).

Pun demikian, seandainya Pemerintah Daerah bertindak lambat, masyarakat seharusnya dapat mengadukan permasalahannya kepada wakil-wakil mereka baik di DPRD daerah setempat ataupun anggota DPR dari daerah pemilihan mereka. Dari anggota DPR/DPRD itulah mereka akan memberikan kritik dan pengawasan terhadap kinerja Pemerintah Daerah atau bahkan disampaikan kepada Pemerintah Pusat. Inilah perwujudan check and balances yang sering digaungkan dalam sistem bernegara Indonesia. Koridor-koridor tersebut telah disediakan sedemikian rupa sehingga masyarakat tidak perlu jauh-jauh menghubungi Pusat.

Contoh lainnya yang ramai diperdebatkan oleh masyarakat ialah Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang dinilai sebagai UU yang mengandung pasal karet yang mengancam kebebasan berpendapat di masyarakat. Sudah banyak 'korban' akibat adanya pasal karet dalam UU ITE tersebut. Sekali lagi, publik menuduh rezim Jokowi adalah pihak yang dipersalahkan akibat lahirnya 'korban-korban' UU ITE.

Terkait pendapat tersebut di atas, Pemerintah bukan satu-satunya pihak yang dapat dipersalahkan terkait dengan permasalahan UU ITE tersebut. Alasan pertama ialah UU ITE disahkan pada tahun 2008, sedangkan pemerintahan Jokowi dimulai sejak tahun 2014. Alasan kedua ialah, publik harus ingat bahwa Indonesia menganut sistem trias politika yang mana terdapat pendistribusian kekuasaan antara eksekutif, legislatif dan lembaga judisial. Di Indonesia, secara konstitusional disebutkan dalam Pasal 20 ayat (1) bahwa Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang. Sehingga bila ingin mengubah UU ITE, publik juga harus juga mengkritik DPR periode ini dan periode sebelumnya yang cenderung lamban dalam merancang dan mengesahkan suatu RUU. (Di antaranya seperti RUU PKS, RUU Masyarakat Adat, dan RUU strategis lainnya)

Walaupun demikian, pembentukan UU bukan hanya melibatkan DPR semata. Pada Pasal 20 ayat (2) UUD NRI 1945 disebutkan bahwa  setiap rancangan undang-undang dibahas oleh DPR dan Presiden untuk mendapatkan persetujuan bersama. Sehingga dalam hal ini, Eksekutif (Presiden) mempunyai peran dalam pembentukan suatu UU. Oleh sebab itu, sejatinya Pemerintah melalui Kementerian Hukum dan HAM telah merancang draft RUU perubahan atas UU ITE dan akan disampaikan kepada DPR. Bahkan sebelum adanya draft tersebut, UU ITE telah mengalami 1 (satu) kali perubahan melalui UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik. Namun perubahan tersebut dinilai belum mengakomodir kebutuhan terkait keamanan masyarakat dalam kebebasan berpendapat di media sosial.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun