Mohon tunggu...
Fatihatul Insan Kamil Ramadhani Imama
Fatihatul Insan Kamil Ramadhani Imama Mohon Tunggu... -

Fatihatul Insan Kamil Ramadhani Imama (fikri)

Selanjutnya

Tutup

Catatan

"Katanya Sih Mahkota"

13 November 2013   22:27 Diperbarui: 24 Juni 2015   05:12 516
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Untuk sebagian orang, rambut adalah media kreativitas. Mereka bisa dengan mudah membuat rambutnya tampak indah dan layak untuk dipajang di dalam etalase. Ada juga yang menganggap rambut adalah mahkota (iya, ini agak klise). Ibarat merak, sebagian lagi menggunakan rambutnya untuk menarik lawan jenis (atau sesama jenis, jika homoseksual). Saya bingung masuk di golongan yang mana, karena saat ini saya memilih tidak peduli dengan gaya, apalagi untuk membuat lawan jenis jatuh hati. Asal jauh dari ketombe, bagi saya itu sudah nilai plus. Menilik metamorsis bentuk dan gaya rambut saya, ternyata cukup menyenangkan untuk ditulis, sekaligus menjijikkan. Rambut saya sudah mengalami perjalanan dan perubahan yang cukup signifikan selama hidupnya. Sebenarnya ini hanya apologi biar kelihatan keren, padahal saya sedang tidak punya materi untuk diceritakan. Kata ibu, saya terlahir dengan rambut yang jarang-jarang. Satu helai di sini, lalu helai berikutnya di sana. Jarak antara helai yang satu dengan yang lainnya cukup luas untuk lahan yang bisa disewakan sebagai lapangan futsal, errr. Lalu ibu melumuri kepala saya dengan ramuan kemiri. Setelah dilumuri kemiri, rambut saya berangsur-angsur lebat. Mungkin itu adalah tindakan yang akan dia sesali 20 tahun yang akan datang. Waktu usia TK sampai SD, saya tidak mengenal gaya rambut. Sehabis mandi dan berhanduk, saya dibaluri minyak kayu putih sekaligus dipupuri bedak. Setelah itu, ibu akan merapikan rambut saya yang masih basah. Saya pun tunduk terhadap kekuasaan gerakan sisir yang dipegang oleh ibu. Kejadian pengaturan rambut ini berlangsung cukup lama. Sekitar kelas 3, ibu akhirnya merelakan wewenang kepemilikan sisir jatuh ke pemilik rambut: saya sendiri dibantu tangan. Mungkin saat itulah saya baru mengenal gaya rambut, kendati akhirnya sama seperti gaya yang diinginkan ibu: belah pinggir rapi dengan wangi sampo Zwitsal yang tidak pedih di mata. Dokumentasi pertama tentang pembuatan gaya rambut pribadi adalah saat foto kelas 3 SD. Waktu itu, guru kelas mengumumkan aka nada sesi foto kelas. Guru kelas sudah mewanti-wanti agar tampak rapi sebelum berfoto. Kebetulan, teman ada yang mengantongi sisir. Lantas, entah kenapa, saya mengatur rambut saya agar menyerupai bentuk rambut Superman. Saya masih ingat percakapan saya dengan teman sekelas di kamar mandi sekolah. Di depan cermin dan di sebelah teman, saya bilang, “Aku mau bikin rambut mirip Superman ya! Kamu jangan ikut-ikutan,” sambil menyisir lalu menyisakan sejumput helai rambut untuk digulung dengan jari di depan jidat. Saya tidak menyesalinya, tapi kalau diingat lagi, kelakuan saya itu cukup membuat saya menghela nafas yang sangat panjang, lalu menekan tombol tetikus untuk melewati foto tersebut di dalam album foto digital yang saya lihat.

Tebak-tebak buah manggis.

Untuk urusan mencukur rambut, jadwal cukur rambut saya disesuaikan dengan ayah. Kalau ayah potong rambut, secara otomatis saya mengekor. Kami punya tempat cukur langganan. Ada ritual khusus sebelum memotong rambut. Pertama, duduk di kursi yang telah disediakan. Kapster mengatur tinggi kursi guna memudahkannya dalam proses mencukur. Kemudian ia mengambil kain polos untuk menutupi tubuh. Nah, kain yang menutupi tubuh ini dijepit dengan alat ajaib. Mulai dari penjepit kertas, penjepit rambut yang berbentuk mirip mulut buaya, sampai jepitan untuk jemuran. Berhubung saya tidak pernah potong rambut di luar negeri, saya kira soal jepit ajaib ini sudah sesuai dengan standar internasional. Bagian kesenangan saya saat bercukur adalah pada tahap penyelesaian, yakni sisi kepala diolesi sabun lalu dikerik dengan silet cukur. Ujung kuas yang sudah dicelupkan ke air sabun dioleskan ke sisi kepala, lalu ujung pisau mulai menyentuh kulit kepala dan digerakkan ke bawah, sesuai dengan potongan rambut. Dingin sekaligus geli-geli enak.

***

Belah pinggir rapi itu sirna saat memasuki SMP. Terpengaruh David Beckham, film-film silat yang merajai acara televisi dengan bintang Andy Lau, dan fase pubertas yang sedang menjalar hebat dalam tubuh, rambut saya belah tengah. Saat itu memang rambut belah tengah adalah parameter kegaulan. Kamu tahu, saya perlu durasi 15 menit untuk mengatur tata letak belahan. Caranya cukup mudah: setelah mandi, rambut yang masih basah disisir ke arah belakang kepala, lalu dengan sendirinya akan tercipta beberapa lajur rambut yang tersedia untuk dibelah. Nah, 15 menit itu saya gunakan untuk menentukan lajur mana yang akan saya pilih untuk dibelah. Jika sudah ditentukan, maka garis belahan imajiner itu menjadi pedoman. Untuk rambut yang berada di kanan garis belahan imajiner, maka akan disisir ke arah kanan. Vice versa. Saya agak perfeksionis untuk hal belah-membelah. Kurang 3 mm ke tengah, maka saya akan mengulang proses membelah rambut dari awal. Jika saya lahir di era Nabi Musa, mungkin saya akan meminjam tongkatnya untuk membelah rambut. Gaya rambut belah tengah tersebut ditopang dengan cara bercukur tren saat itu. “Mas, mandarin ya!” Dengan cara cukur mandarin, gaya rambut belah tengah saya makin paripurna. Cukur mandarin adalah cara membentuk rambut mirip terasering. Di bagian pinggir, rambut dibuat bertingkat. Untuk membuat gaya seperti ini, dibutuhkan bantuan clipper, suatu alat yang memotong sambil bergetar. Kamu tahu, ketika clipper ditempelkan ke kulit kepala atau leher, ada suatu fenomena yang sulit dideskripsikan. Ada perasaan ingin mendesah, namun tertahan karena agak aneh kalau dipikir dengan matang. Saya yang tertutup kain lalu mendesah keenakkan sambil bergelinjang, aneh kan? Dengan bantuan minyak rambut terkemuka, Brisk, saya menata rambut agak berlebihan. Pemakaian minyak rambut colek membuat rambut saya tampil selalu tampak basah dan klimis. Namun, ternyata minyak rambut itu tidak cocok dengan saya yang bersepeda ke sekolah. Jika kulit kepala berkeringat, maka keringat itu akan bercampur dengan larutan minyak rambut dan menghasilkan cairan kebiru-biruan yang meleleh lewat garis cambang di samping telinga. Cairan itu akan terus mengalir melewati bagian kepala hingga menyebabkan kerah kemeja seragam pun berwana biru. Untunglah cairan tersebut tidak masuk ke dalam telinga. Saya tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi di dalam liang telinga jika cairan tersebut memfusikan dirinya bersama minyak yang dihasilkan telinga. Saya tidak tega memasukkan foto belah tengah maut itu di dalam tulisan ini. Sungguh, tidak tega. Akhir SMP, beberapa teman mengubah gaya rambut mereka menjadi berjambul. Tidak sekadar berjambul, tapi dengan bantuan pewarna ujung jambulnya. Sila salahkan The Moffats dengan I Miss You Like Crazy-nya yang sudah menghipnotis kaum usia belasan untuk menertawai album foto mereka satu dekade ke depan. Untungnya saya tidak ikut terpengaruh. Saya tetap pada pendirian, belah tengah setengah-tengahnya supaya simetris. Kalau melihat bayangan di atas tanah, saya seperti memiliki pantat di atas kepala. Haha.

***

SMA saya pindah ke Jakarta, kota yang menganggap belah tengah adalah konvensional. Oleh karena itu, di awal SMA saya memutuskan untuk membuat gaya jambul, seperti teman-teman saya saat SMP. Meski menggemari karya Hilman, saya hanya menegakkan jambul yang mengeras dengan bantuan jel tanpa harus mengunyah permen karet. Sebelum masuk ke dalam kelas, saya harus memastikan jambul saya dalam keadaan ereksi. Rambut jambul ini hanya sementara. Di antara seluruh gaya rambut saya, jambul ini yang paling singkat umurnya. Setahun kemudian, saya mengganti gaya rambut lagi. Saya pangkas habis rambut saya. Saya cepak. Saya cukur tiap 2-3 bulan sekali. Ada keuntungan dari memiliki rambut cepak. Selain dapat merasakan hembusan semilir angin yang merangkak di kulit kepala, juga yang terpenting adalah hemat sampo. Cukup dituangkan ke atas satu ruas jari, maka satu botol sampo pun akan bertahan lebih dari 5 bulan.

Saya juga tidak tahan kok.

Memiliki kulit berwarna gelap dengan rambut yang cepak adalah kombinasi yang membuat saya menjadi objek olok-olok. Bola 8 (coba tengok bola nomor 8 dalam biliar, ya begitulah), biji kelengkeng, dakocan, hingga biji salak adalah frasa-frasa yang harus saya hadapi di sekolah. Hahaha. “Bang, nomor satu ya!” Nomor satu adalah ukuran pisau di ujung clipper, semakin kecil maka semakin pendek pula potongan yang dihasilkan. Saya cukup meminta nomor satu, kapster pun paham tentang dua langkah selanjutnya yang akan ia lakukan. Tempat cukur langganan saya tak jauh dari rumah saudara yang saya tinggali. Seperti tempat cukur pria pada umumnya, mereka hanya memasang 2 tarif, dewasa dan anak-anak. Berada dalam usia SMA membuat kapster sering bingung menentukan tarif untuk saya: terlalu muda untuk dibilang dewasa, terlalu tua untuk dibilang anak-anak. Selisihnya hanya seribu, tapi tarif dewasa diberikan tambahan pelayanan pijat bahu dan ‘ngeretekin’(maaf, saya tidak tahu istilah yang lebih baik daripada ngeretekin) leher. Saya tidak masalah dengan selisih yang hanya seribu, namun saya benar-benar menginginkan untuk mendapatkan pelayanan tambahan. Pijat bahu dan ‘ngeretekin’ leher terdengar sepele. Tapi rasa nikmat yang ditimbulkan bertahan lebih lama daripada durasi potong rambut. Saya tidak pernah ‘ngeretekin’ leher sendiri. Tidak bisa, juga tidak berani. Apalagi ayah melarangnya, ia menganggap ‘ngeretekin’ leher adalah suatu perbuatan yang dapat membuat pandangan saya tiba-tiba gelap, lalu ada yang bertanya, “siapa tuhanmu?”

***

Saat beranjak memasuki jenjang pendidikan yang lebih tinggi, universitas, saya memilih untuk memanjangkan rambut sepanjang-panjangnya. Selain karena tak ada aturan, juga karena adanya rasa iri dan ingin tahu. Saya seringkali iri terhadap adik-adik perempuan saya. Ketika masih SD, mereka bisa menguncir rambut. Maksud saya, ibu sering mengepang rambut mereka. Ibu dengan telaten menjalin helai demi helai untuk menciptakan sebuah kuncir kepang di samping kiri dan kanan kepala mereka. Setelah 2 semester berkuliah, saya baru mengetahui bahwa saya dianugerahi rambut ikal menjurus keriting. Sungguh suatu anugerah yang dahsyat. Akhirnya pada saat itu juga, saya bisa merasakan sensasi menguncir rambut. Saya ingat betul rasa bahagia di dalam lubuk hati saat pertama kali bisa mengikat rambut dengan karet. Saya tidak bisa berhenti berkaca saat itu. Tiap ada benda yang bisa merefleksikan muka dan rambut, saya lantas bercermin. Mirip perempuan-perempuan yang sedang melewati tempat parkir mobil. Tidak semua pria bisa merasakan nikmatnya menguncir rambut. Jadi, jika kamu pria yang bisa menguncir rambut, percayalah, niscaya kamu termasuk golongan yang pantas diselamatkan masuk surga. “Fikri yang mana sih orangnya?” “Cari aja yang celananya bolong, rambutnya gondrong.” Kira-kira begitu mudahnya untuk mencari saya. Kampus yang saya masuki adalah miniatur kantor pada umumnya. Begitu masuk gerbang, peraturan cara masuk kampus sudah menyambut dengan jumawa. Tidak boleh mengenakan kaos, celana pendek, dan sandal. Alhasil, mahasiswa menjadi tidak boleh macam-macam. Mahasiswa harus menjadi satu macam**. Berada di dalam lingkungan kampus seperti itu, kegondrongan saya adalah suatu ciri yang menempel dengan gampang. Sampai-sampai Ruud Gulit, Limbad, dan Ki Joko Bodo disamakan dengan wujud saya. Bukan hanya kawan-kawan, dosen pun ikut memberi julukan seperti itu. Hati meronta-ronta menolak, saya jelas tak serupa dengan mereka walau hanya rambut sekalipun. Yang paling terakhir adalah vokalis Payung Teduh, Is, untuk yang ini saya menyerah. Setelah dilihat lagi, Is memang mirip saya. haha.

Dicomot dari shutterbeater.com

Selama 6 tahun masa kuliah saya (iya, masa kuliah saya memang lama, cuma ini yang hanya bisa saya banggakan, karena di atas rata-rata) tercatat saya hanya 2 kali memangkas rambut. Yang pertama karena tatapan mata ibu yang serta merta membuat saya takluk dan satu kata maut dari mulutnya yang menjadikan perasaan dalam lubuk hati saya hancur berkeping-keping lalu dijadikan bahan untuk mengaspal jalan. “Potong!” kata ibu garang. Akhirnya saya memangkas rambut hingga hampir plontos, cepak setipis-tipisnya mirip SMA akhir. Dengan langkah yang sangat berat, saya menuju sebuah tempat cukur di Jogja. Tempat cukur itu mengklaim bahwa hanya cowok cerdas yang cukur di sana. Walau tidak cerdas, saya memberanikan diri untuk cukur. Ternyata saya berhasil menyusup masuk ke dalam. Hal yang saya takuti tidak terjadi. Klaim sepihak mereka sebagai tempat cukur cowok cerdas, membuat saya takut ditanya berapa IPK sebelum masuk. Berhubung IPK hanya cukup membeli rokok ketengan, dengan perasaan gemetar saya melangkahkan kaki lebih jauh ke dalam. Luar biasanya, kapster dan pengelola tempat cukur itu mungkin menganggap saya cerdas karena berambut gondrong sepunggung. Iya saya tahu, itu tidak ada korelasinya.

Gaya maut
Gaya maut
Rambut yang saya pelihara selama tiga tahun musnah dalam waktu kurang dari 10 menit. Potongan rambut sepanjang kurang lebih 60 cm masih saya simpan di dalam gudang. Saya menganggap itu adalah sebuah monumen bahwa saya pernah sangat keren, memiliki rambut hingga sepanjang punggung (kalau ada yang tertarik membeli untuk sambungan gimbal, saya bersedia menjual). Yang kedua adalah saat saya akan mengikuti tahap akhir dari perkuliahan saya, sidang skripsi. Tadinya, saya akan tetap gondrong. Tapi sayang, karena saya tidak pernah melihat senior yang gondrong saat sidang skripsi, saya terpaksa memangkas rambut. Dosen pembimbing saya pun hampir tidak mengenali saat saya memasuki ruang sidang.” “Kamu siapa?” “Fikri, pak?” “Loh? Rambutmu ke mana?” “Lagi dicuci pak, belum kering.” *** Rambut itu tetap dibiarkan necis sampai memasuki fase kerja. Hari pertama masuk kerja, saya mengenakan kemeja rapi, termasuk rambut belah pinggir yang tampak basah. Seketika berkenalan dengan atasan, ia malah menertawai saya. Ia bilang, “Lo kalo rapi jangan kerja di sini! Sana cari kantor lain! Besok jangan gini lagi!” Untungnya saya bekerja di kantor yang tidak mementingkan penampilan, rambut mulai kembali saya panjangkan. Saya kembali menjadi mahasiswa dengan celana bolong dan kemeja flanel yang tidak terkancing. Selama 8 tahun terakhir, saya hanya memotong rambut 3 kali. Kepergian saya yang terakhir ke tempat cukur rambut adalah karena saya harus melakukan wawancara kerja dengan pihak direksi perusahaan rokok terbesar di Indonesia. Beberapa tes sebelumnya, saya membiarkan rambut tetap  tergerai indah. Saya juga masih heran, mengapa perusahaan tersebut meloloskan saya hingga tahap terakhir, wawancara terakhir. Padahal kalau melihat rekam jejak, di CV saya tidak tertulis pengalaman sebagai sales supervisor. Teman-teman menyarankan saya untuk memotong rambut untuk wawancara ini, agar terlihat sopan dan rapi. Awalnya enggan, namun saya mengalah pada akhirnya. Saya gagal menjadi sales supervisor untuk perusahaan rokok tersebut, (untunglah, saya tidak mampu membayangkan saya berkemeja rapi, bercelana bahan, dan berambut klimis). Keinginan untuk memanjangkan rambut tumbuh seiring ketidakpedulian terhadap gaya. Sekarang rambut saya sedikit lebih panjang dari leher. Sudah bisa diikat, tentu. Mempunyai rambut gondrong di Indonesia adalah salah satu keputusan yang penuh risiko. Dengan iklim tropis, kepala kerap terasa gerah, terutama di bagian belakang leher. Belum lagi stigma negatif tentang rambut gondrong dan pakaian lusuh dalam wujud pandangan sinis. Tak apa-apa, semua pandangan sinis itu akan hilang saat beberapa orang bertanya mengenai asal-usul saya. Tidak jarang orang bertanya, “Kuliah di mana, mas?” di dalam angkutan umum yang saya tumpangi. Saya hitung sudah ada 7 orang yang langsung tanpa basa-basi menyangka saya adalah mahasiswa sekolah seni. “Lo IKJ angkatan berapa?” “Mas anak IKJ ya?” Mendapat pertanyaan itu menimbulkan efek senang dalam tubuh. Di usia seperti ini masih disangka mahasiswa? Ohh bahagia bukan main! Diingat-ingat lagi, dahulu cita-cita saya adalah menjadi pemain band. Tetapi rupanya, saat di surga, ruh saya malah berbaris di bulu hidung, bukan mengantre di bagian permusikan. Padahal di barisan itu ada Jimi Hendrix, Freddy Mercury, Kurt Cobain, Bob Marley, Elvis Presley, Janis Joplin, dan teman-temannya. Hasilnya dapat ditebak, bulu hidung saya adalah kualitas nomor wahid sedang bakat permusikan saya … ah sudahlah. Kemampuan saya dalam bermusik boleh dibilang mirip peribahasa: sekali dayung, dua tiga pulau terlampaui. Sekali memetik gitar, dua tiga not yang salah. Mungkin ini disebabkan jemari saya lebih sering digunakan untuk mengocok yang lain, bukan gitar. Haha. Gagal menjadi anak band bukan berarti kehancuran alam semesta. Kegondrongan saya saat ini adalah residu dari cita-cita menjadi pemain band yang tidak tersalurkan. Menurut saya, walaupun tidak menjadi pemain band, setidaknya saya bisa memiripkan rambut seperti mereka yang sudah menjadi legenda musik rock. Rasa rindu terhadap getaran clipper dan dinginnya olesan sabun di kepala kembali hinggap. Kadang-kadang ada keinginan untuk mencukur rambut, namun setelah bercermin, saya rasa gondrong adalah default setting saya. Saya tidak tahu sampai kapan saya akan memelihara rambut ini. Lagipula menurut saya, gondrong adalah suatu simbol kebebasan individual yang tidak terinjak-injak oleh tekanan dan lingkungan sosial. Mungkin saya akan memotong rambut, nanti. Nanti jika calon istri*** saya (tenang, saya belum menganggap pernikahan adalah sebuah prioritas, terlebih suatu keharusan) memberi syarat mau menikah asal rambut saya rapi, hahahaha! —— *Sudah lama sekali saya tidak menulis di bawah pengaruh alkohol, sudah hampir lupa rasanya. Tapi ini nikmat sekali! **Kang Pidi Baiq, pinjam kalimatmu ya! ***Sampai sekarang saya belum punya calon istri, ada perempuan yang ingin menikah karena tidak tahan tekanan orangtua dan lingkungan? Mari berkenalan lebih dalam! Hahaha! [Jakarta. 9 November 2013. 04:18 AM. Fikri]

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun