Mohon tunggu...
Fikri Fadh
Fikri Fadh Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

"Ambune Siti sing Kudanan"

24 Oktober 2018   10:53 Diperbarui: 24 Oktober 2018   14:24 233
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aroma teh panas kental gula batu, bergantian terhirup dengan aroma semerbak bau tanah. Hujan yang tidak seberapa derasnya selepas subuh tadi, namun bisa mengangkat aroma kesuburan tanah Patroman, merasuk ke dalam hidung.

Patroman berada di pinggir  gunung yang berselimut bebatuan cadas. Namun tanahnya subur. Selain Jati dan sengon laut, akar ketela pohon ikut berjuang menerobos tanah suburnya. Dengan bantuan pria paruh baya, tanah pinggir bebatuan menjadi sebuah harapan. Harapan bagi pohon ketela, reresede dan beberapa pohon pisang klutuk.  

Sebuah batu datar agak miring menjadi singgasana Pangat. Ia adalah pria paruh baya yang bujangan dan kolot. Gelas bermotif kembang yang sudah banyak kerak tehnya terhidang di depan kaki yang jegang.. Sesekali gelas itu digenggam tanpa diangkat. Gelas yang panas terasa hangat. Tangan Pangat yang sudah lihai dengan doran cangkul dan gagang sabit sejak usia 10 tahun jadi sangat tebal. Jadi gelas panas hanya akan terasa jika mengenggamnya saat benar-benar panas. Seberapa lama bertahannya termos air yang sudah dua kali diganti bagian dalamnya jika selepas subuh tadi mengisinya. Sedangkan baru jam 6 menuangkannya ke gelas.

Pangat baru sekali menyeruput teh yang ada ditangannya. Selebihnya, hanya menikmati aromanya yang bergantian dengan aroma surga. Tanah kering yang terbasahi oleh air hujan adalah aroma surga bagi Pangat.

Pukul 5 pagi Pangat sudah keluar dari rumah untuk ke pinggiran bebatuan cadas tempat ketela pohon yang ditanamnya. Tidak banyak yang ia lakukan seminggu terakhir. Selain berangkat ke pinggiran bebatuan cadas pagi-pagi sekali. Kemudian pulang menjelang waktu duha selesai.

Sebagai pria paruh paya, apalagi masih bujang, dan tenaganya masih kuat, sebenarnya Pangat bisa melakukan pekerjaan yang lebih dari pada hanya merawat tanah pinggiran. Sudah banyak yang marah karena ia tidak mau melepas irisan tanah secuil itu.

Tanah waris dari almarhum ayahnya sudah tidak tersisa. Tanah milik 5 kakak-kakaknya sudah beralih milik. Bagiannya yang dipinggiran tidak ia lepas. Pangat sejak awal meminta bagian tanah untuk dirinya tidak luas. Tidak pula yang pinggir jalan. Melainkan yang paling mepet dengan bebatuan cadas. Padahal, kakaknya berebut untuk yang paling dekat dengan aspal provinsi.

Tidak ada yang mau tahu apa alasannya. Bagi orang-orang ia adalah orang kolot. Pangat tahu bahwa ia disebut sebagai orang kolot. Baginya lebih baik kolot sampai mati. Daripada menyerahkan secuil tanahnya. Ia masih bisa bertahan untuk sekedar mengisi perutnya. Ia tidak mau kehilangan semerbak aroma tanah yang basah.

Meskipun kolot, Pangat memegang teguh nasehat almarhum ayahnya. "Nek nganti ambune siti sing kudanan nang lemah iki wis ilang, bakal ono kedaden sing ora apik".

Pangat tidak mau kejadian itu terjadi. Ayahnya bukan menuturkan cerita fiksi. Tapi ayahnya tahu, kalau tanah yang dekat bebatuan cadas ini dikeruk, dan bebatuan diremuk, gunung akan longsor. Bebatuan cadas hanya beberapa meter saja. Selebihnya adalah tanah yang perlu disangga. Sangganya adalah bebatuan cadas. Jika sudah tidak ada bebatuan cadas itu, bisa jadi, kehidupan dibawahnya akan hilang juga. Tidak hanya aromah tanah yang hilang, tapi juga aroma kemajuan yang selalu dijanjikan.

Fikri Fadh

Yogya, 20 Oktober 2018

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun