Mohon tunggu...
Dzulfikar
Dzulfikar Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Content Creator

Blogger dan Content Creator. Member Kompasiana sejak Juni 2010. Aktif menulis di blog bangdzul.com dan vlog https://www.youtube.com/@bangdzul/

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Risna Hasanuddin, Pejuang Literasi bagi Perempuan Suku Arfak Papua

23 April 2017   19:27 Diperbarui: 7 September 2017   16:15 2918
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Risna Hasanuddin saat berada di Jakarta (Dokumentasi Pribadi)

Saat sertifikasi guru digulirkan, kini banyak lulusan SMA yang berlomba-lomba mendaftar di jurusan pendidikan. Saya merasa senang tapi sekaligus miris, karena ternyata tak sedikit dari mereka yang memiliki motif hanya ingin mendapatkan tunjangan sertifikasi belaka.

Ketika saya bertemu dengan Risna Hasanuddin, saya jadi berkaca pada diri saya sendiri. Saya merasa tertampar dengan aksi nyata yang sudah dilakukan oleh Risna. Ia sama-sama seorang sarjana pendidikan dari Universitas Pattimura, Ambon.

Risna tak dikenal bak Dian Sastrowardoyo yang memerankan tokoh Kartini dalam film terbarunya. Namun Risna merupakan sosok yang hadir secara langsung di tengah masyarakat perempuan suku Arafak di Papua. Bagi saya, Risnalah yang pantas disebut Kartini masa kini.

Hari Kartini dan Hari Buku Internasional baru saja lewat dan bersamaan diperingati pada bulan April. Sosok seperti Risna lah yang mengingatkan saya pada Kartini yang berjuang mengentaskan buta huruf melalui buku. Begitu juga yang dilakukan oleh Risna di tengah-tengah perempuan suku Arafak. Lantas kini Risna pun merambah mendidik anak-anak perempuan Arafak yang belum mendapatkan pendidikan yang layak.

Risna membangun PAUD setelah sebelumnya mengajar ibu-ibu suku Arafak. Perjuangan Risna awalnya tak mudah. Ia diancam dan diintimidasi oleh sejumlah pemuda yang menolak kehadirannya. Risna bagai pelita di tengah kegelapan. Keberadaan Risna mengubah banyak hal. Perubahan itulah yang ditolak oleh beberapa orang suku Arafak. 

Perempuan asal Banda Neira, Maluku Tengah kelahiran tahun 1988 ini berangkat ke Papua sebagai sukarelawan. Ia bahkan mengeluarkan dana aksinya itu dari koceknya sendiri. 

Sungguh menjadi sebuah tamparan. Disaat beberapa lulusan sarjana tengah berjuang demi lembar sertifikasi yang memberikan tambahan tunjangan, Risna justri berjibaku mencerdaskan perempuan suku Arafak yang tertinggal modernitas zaman.

Kecintaan Risna untuk mengabdi di Desa Korbey, Manokwari Selatan, Papua ini sempat ditentang oleh orang tuanya. Ibunda Risna bahkan sempat tak habis pikir, apa sebenarnya yang dicari oleh Risna di Papua. Padahal dengan gelar Sarjana Pendidikannya itu, Risna bisa dengan mudah menjadi guru dikampung halamannya.

Tantangan Risna bukan hanya mengentaskan buta huruf melainkan juga memberikan kesadaran kepada warga tentang kesehatan dan memberikan pemahaman tentang pengembangan ekonomi rumahan. Desa Korbey cukup dikenal sebagai penghasil Noken, tas tradisional khas Papua yang terbuat dari bahan alami.

Melihat penderitaan Suku Arafak terutama kaum perempuan dan anak-anak itulah Risna akhirnya mengabdikan dirinya di Desa Korbey, Manokwari Selatan, Papua.

Dalam berdakwah dan mengubah pola pikir apalagi gaya hidup yang selama ini berada di zona nyaman bukan hanya menjadi sebuah tantangan. Kaum lelaki Desa Korbey tak bisa menerima perubahan tersebut. Apalagi jika kaum perempuan makin pintar. Entah ketakutan apalagi yang dialami kaum lelaki Desa Korbey hingga akhirnya Risna pun diintimidasi bahkan hampir di perkosa dua kali dalam tahun yang berbeda.

Namun Risna sadar, meski sempat ingin pulang karena tak tahan dengan intimidasi yang dialaminya. Risna meyakini bahwa dimanapun dia berada, intimidasi terhadap perempuan bisa terjadi tak terkecuali saat ia sedang berjuang di Desa Korbey.

Melihat kondisi Risna yang terluka, Ibunda Risna pun akhirnya datang ke Desa Korbey tempat Risna mendedikasikan dirinya untuk membantu perempuan lainnya. Ibunda yang tadinya meminta Risna pulang justru malah semakin menguatkan perjuangan Risna di Papua.

Sang Ibunda pun akhirnya bisa berdialog dengan perempuan Suku Arafak. Bahkan sempat ikut mengajar selama satu pekan, seperti dikisahkan oleh Risna.

Saat Ibunda hendak pulang, ia menitipkan anaknya agar bisa dilindungi dan dijaga serta dibantu perjuangannya. Ibunda berharap Risna bisa meneruskan perjuangannya mendidik anak-anak Suku Korbey dan mengembangkan ekonomi warga.

Perjuangan Risna mengubah bahwa pendidikan itu penting bagi anak-anak tak mudah. Risna kerap harus menjemput anak-anak dari rumahnya masing-masing. Kesadaran orang tua dan anak-anak memang masih sangat minim tentang pendidikan sehingga Risna akhirnya harus jemput bola.

Melihat kenyataan tersebut Risna bukan patah arang. Risna malah semakin tertantang dengan kondisi demikian.

Padahal kerap kali kita temui sekolah kosong karena tak ada gurunya dengan berbagai alasan. Apa yang dilakukan Risna justru kebalikannya. Guru yang berjuang demi pendidikan anak-anak Suku Arfak Papua.

Selain dihadapkan dengan mentalitas dan kesadaran yang rendah, Risna juga akhirnya menemui kendala operasional. Risna pun harus memikirkan bagaimana ia bisa tetap bertahan di tengah kondisi keterbatasan. Lambat laun tapi pasti akhirnya Risna bisa ikut membantu memasarkan produk Noken yang dibuat oleh perempuan Suku Arfak Papua.

Risna memasarkan melalui jejaring sosial. Pembelinya awalnya merupakan teman-teman terdekat Risna di Banda Neira. Kabar perjuangan Risna pun akhirnya diketahui teman-teman angkatan. Tak sedikit yang menaruh rasa rohmat terhadap perjuangan Risna, perempuan asal Maluku ini akhirnya mendapatkan perhatian dari rekan-rekannya.

Ongkos perjuangan mengentaskan buta huruf di Papua tidaklah murah. Namun dengan semangat juang dan dedikasinya, ternyata banyak juga yang melihat perjuangan Risna. Melalui tas Noken yang dipasarkannya, Risna akhirnya mampu bangkit dan memberikan peluang pasar bagi perempuan suku Arfak untuk mendapatkan tambahan penghasilan.

Risna mengaku menjual tas noken tradisional mulai dari harga Rp100 ribu hingga Rp500 ribu. Semakin sulit cara membuatnya akan semakin mahal ongkos penjualannya. Namun, itulah seni dari tas noken khas Arfak Papua. 

Perempuan seperti Risna inilah yang seharusnya difasilitasi oleh pemerintah agar tetap bisa berjuang membantu perempuan di pulau-pulau terdepan, terluar dan tertinggal. Hanya sedikit mutiara yang mau dan mampu berjuang bahkan mengeluarkan segenap materi bahkan mungkin mengubur mimpinya demi kesejahteraan orang lain, demi melihat orang lain medapatkan kehidupan yang lebih baik.

Semoga kedepan hari Kartini tidak hanya seremoni yang dirayakan dengan cara yang jauh berbeda sekadar festival fashion dan kompetisi dandan yang justru membuat makna hari Kartini semakin terdegradasi. Semua Kartini memiliki caranya masing-masing untuk berjuang, bagi dirinya, bagi keluarganya dan bagi lingkungan di sekitarnya.

Dzulfikar Alala

Baca juga

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun