Salah satu dampak negatif pemilihan presiden yang hanya 'mempertandingkan' dua pasang calon adalah terbelahnya masyarakat akibat perbedaan pilihan. Terlebih lagi jika dua capres tersebut mempunyai pendukung fanatik, seperti Joko Widodo dan Prabowo Subianto. Â
Sejak pemilu 2014, perseteruan antara pendukung fanatik Jokowi yang biasa disebut cebong dan pendukung fanatik Prabowo yang biasa disebut kampret begitu tajam.
Di media sosial, selama bertahun-tahun, caci maki dan saling hujat  antara keduanya bahkan sudah sangat kelewatan
Ketika di Pilpres 2019 Â Prabowo kembali dikalahkan Jokowi, saya sempat memprediksi perseteruan cebong dengan kampret akan terus berlanjut, setidaknya dalam masa lima tahun mendatang.
Namun, di awal pemerintahan Jokowi periode kedua, ada peristiwa politik yang cukup mengejutkan. Prabowo dan Partai Gerindra-nya merapat ke istana. Duo Prabowo -- Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto dan Wakil Ketua Umum Edy Prabowo duduk di kabinet Jokowi.
Tentu saja prediksi saya meleset. Dengan bergabungnya Partai Gerindra ke koalisi pendukung Jokowi dan dengan kerelaan seorang Prabowo Subianto menjadi pembantu rival politiknya di dua pilpres sebelumnya, secara otomatis istilah cebong-kampret sudah sirna  dengan sendirinya.
Adalah hal yang tidak masuk akal apabila masih ada pendukung fanatik Prabowo yang dulu disebut kampret mengolok-olok Jokowi karena saat ini orang yang mereka bela menjadi salah satu menterinya.
Pun demikian sebaliknya. Tidak mungkin para cebong terus mengolok-olok Prabowo karena faktanya, orang yang mereka bela dan puja mau menerima Prabowo, bahkan telah melantiknya menjadi Menteri Pertahanan.
Realita yang ada, peristiwa politik di awal pemerintahan Jokowi periode kedua telah melebur cebong -- kampret menjadi satu, di kolam yang sama.
Cebong dan kampret tidak akan lagi berdiri sendiri-sendiri, saling berhadapan. Seperti dulu, bermusuhan. Keduanya kini telah menyatu yang jika dijadikan singkatan akan terkesan menjadi erat dan akrab. Cebong -- kampret jadi CePret.
Dalam hal ini, saya memaknai cepret sebagai tiruan bunyi staples ketika menyatukan dua lembar kertas atau lebih.
Oleh karena itu, saya berharap bersatunya cebong - kampret menjadi CePret akan menyatukan pula seluruh rakyat Indonesia. Tidak hanya bersatunya kembali pendukung fanatik Jokowi dan pendukung fanatuk Prabowo, tetapi bersatunya seluruh komponen masyarakat untuk bersama-sama membangun Indonesia.
Bersatunya dua tokoh politik yang sebelumnya saling berseteru atau bersatunya dua tokoh yang sebelumnya menjadi rival dalam kontestasi pemilu adalah hal yang biasa dalam dunia politik.
Seperti bersatunya Anwar Ibrabim dan Mahathir Mohamad di Malaysia. Gerindra pun menyamakan  Prabowo jadi menteri Jokowi seperti Hillary Clinton gabung Obama.
Mengutip pendapat pengamat politik dari Universitas Indonesia, Aditya Perdana, sebagaimana dilansir Kompas, Selasa (22/10), Â apabila mengingat dinamika pemilu lalu, dinamika yang terjadi sekarang (memang) menjadi kekecewaan bersama.
Ketika pemilu, masyarakat terbelah. Bahkan, persaudaraan bergeser. Akan tetapi ujung-ujungnya, para tokoh yang didukung mati-matian berbagi jabatan.
Maka, realita politik saat ini telah memberi pelajaran yang sangat berarti bagi masyarakat untuk tidak fanatik dalam mendukung calon pilihannya. Pada pilpres yang akan datang, jangan lagi ada saling hujat dan saling caci, kalau tidak ingin (pada akhirnya) Â akan malu karena terpaksa harus menjilat ludah sendiri.Â
Sebagai seorang anak bangsa yang hanya berstatus rakyat jelata, siapa pun presidennya dan siapa pun menteri-menterinya, tidak akan membawa pengaruh apa-apa bagi saya. Sebagai seorang warga negara yang tidak banyak merasakan peran negara, saya hanya berharap Indonesia akan baik-baik saja dan semakin maju-jaya.
Merdeka!