Mohon tunggu...
Fifin Nurdiyana
Fifin Nurdiyana Mohon Tunggu... PNS

PNS, Social Worker, Blogger and also a Mom

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Topeng Monyet

13 Agustus 2015   10:41 Diperbarui: 13 Agustus 2015   10:41 117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Siang itu terdengar suara tawa dan canda riang dari luar pagar rumah. Penasaran, aku pun keluar. Kulihat anak-anak sedang tertawa ceria sambil sesekali terhentak ketakutan. Ternyata seekor monyet dengan dandanan "sarinah pergi ke pasar" berhasil menghipnotis anak-anak di kampungku (termasuk anakku) untuk tergelak-gelak. Aku hanya bisa tersenyum. jujur ada juga rasa kasihan sama monyetnya, kok kayaknya nggak berperikehewanan sama sekali hehee..

Saat aku tulis status "anak-anak tertawa melihat atraksi topeng monyet" langsung menuai komentar yang bernada protes hehee...salah satu komentarnya begini "jangan ajarkan anak-anak tertawa melihat adegan topeng monyet"

Aku sedikit bingung, masa iya aku mau melarang anak-anak itu untuk tertawa ? Masa iya liat topeng monyet sambil diam dengan tampang cemberut atau muka yang lempeng ? Bukankah topeng monyet itu tak lain ditujukan untuk hiburan ? Jika hiburan harusnya yang melihat terhibur kan ? apalagi, topeng monyet ini juga ditahbiskan sebagai salah satu seni tradisional. Lantas ?

aku coba untuk berpikir positif saja..."pemilik usaha" topeng monyet pasti butuh mencari nafkah untuk keluarganya. Dengan usaha topeng monyet mungkin ia bisa menafkahi anak istrinya. Nah bagaimana dengan monyetnya ? aku rasa, hewan hanya membutuhkan perut kenyang dan istirahat cukup...hewan tidak perlu uang, tidak perlu pakaian, tidak perlu dihormati, tidak perlu jabatan, tidak perlu rasa malu, dll. Hewan hanya butuh makan dan istirahat untuk bertahan hidup. Dan, pastinya pemilik usaha topeng monyet juga sudah bertanggungjawab dengan memberikan makan serta "penghidupan" yang layak bagi monyetnya...istilahnya simbiosis mutualisme, logikanya aku yakin pemiliknya sangat menyayangi monyetnya dan merawat monyetnya baik-baik biar nggak sakit atau mati.

Jika diibaratkan manusia, tentu monyet ini akan dapat pahala banyak karena sudah menghibur banyak orang...bukan begitu ? tidak jauh beda juga dengan sapi yang membantu pak tani membajak sawah, onta yang dijadikan sarana transportasi di padang pasir, anjing yang dimanfaatkan untuk membantu melacak, monyet lain yang dimanfaatkan sebagai pemetik kelapa, dsb

Tapi ya itulah manusia...dan mungkin itulah yang membedakan manusia dengan hewan. Manusia selalu punya sisi hati dalam melihat segala sesuatu. Dan kalau sudah hati yang berbicara, tak ayal suka mendramatisir segala sesuatu.

Lantas apa yang sebaiknya dilakukan agar diperoleh solusi mengenai hiburan topeng monyet ini ? Kalau aku coba memberi pengertian kepada anakku, bahwa yang ia lihat itu adalah bagian dari hiburan semata. Memang, selayaknya monyet dan hewan hewan lain tumbuh dan hidup bebas di alam terbuka. Tapi, Tuhan menciptakan segala sesuatu bukan tanpa manfaat. Selama topeng monyet ditempatkan pada posisi dan porsi yang benar, dan kehidupan monyetnya juga diperhatikan, serta ditujukan untuk mencari nafkah, aku rasa sah sah saja hiburan topeng monyet dinikmati. Aku juga mengingatkan kepada anakku untuk tertawa seperlunya dan jangan berlebihan, sebab yang berlebihan itu tidaklah baik, apapun konteksnya.

Harusnya, melihat atraksi topeng monyet mengingatkan kita bahwa hewan saja mampu memberi manfaat kepada makhluk lainnya, lantas mengapa kita manusia yang diberi kelebihan dan talenta kerap tidak mampu bermanfaat untuk sesama ?

Nah, apapun itu jika dilihat dari sudut pandang positif maka akan menuai hikmah yang dapat dipetik...begitu juga dengan topeng monyet !

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun