Mohon tunggu...
Faizah Fauzan
Faizah Fauzan Mohon Tunggu... -

Perempuan biasa yang belajar menjadi Ibu.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Tragedi Guling

15 Oktober 2013   00:36 Diperbarui: 24 Juni 2015   06:31 149
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Seisi rumah bingung, terheran-heran melihat raut muka Rumi. Jelas sekali ada galau di wajahnya.

“Ada apa dengan Rumi?”

Setiap yang berpapasan dengannya menyimpan tanda tanya sendiri. Beberapa orang secara diam-diam dan tentu dengan berbisik mencoba membahasnya.

“Ada apa dengan Rumi, ya? Baru kemarin tertawa bahagia, kok sekarang sudah mendung?”

Sikap Rumi ini telah menarik perhatian orang serumah. Maklum, Rumi adalah penganten baru. Anak bungsu Juragan Arya ini baru melangsungkan pernikahan dengan Den Bagus seminggu yang lalu. Pesta pernikahan digelar meriah tiga hari tiga malam. Masih jelas di mata, wajah penganten Rumi begitu sumringah. Bahagia terpancar dari sorot mata dan senyumnya. Semua orang turut bahagia karena Rumi adalah kesayangan keluarga. Kebahagiaannya tentulah menjadi kebahagiaan seisi rumah. Tidak terkecuali si Pusi dan si Belang. Dua kucing peliharaan Rumi ini juga sangat menyayangi tuannya. Ketika perhelatan digelar dua kucing terlihat sibuk berlari ke sana kemari seakan mengerti hati tuannya sedang ceria. Perilaku mereka sangat kontras dibandingkan saat Rumi sakit. Dua kucing ini tidak mau makan, dan baru ramai mengeong setelah Rumi sembuh. Kali ini pun dua kcing tersebut terlihat kurang bergairah. Lauk ikan yang disajikan untuk mereka hanya berkurang sedikit. Padahal biasanya disantap tak bersisa.

Jadi, wajar bila hampir seisi rumah bertanya-tanya mengapa wajah Rumi terlihat mendung. Sekalipun Rumi mencoba menyamarkan kesedihan dengan senyum, kegundahan hatinya masih terbaca. Namun, tidak seorang pun berani langsung bertanya pada Rumi apa gerangan yang membuatnya sedih. Takut kalau pertanyaan yang diajukan malah memperkeruh suasana hatinya. Kalau Rumi tersinggung, bagaimana? Bisa-bisa suasana menjadi tambah runyam.

Tapi bisa dielak, ketidakberanian bertanya pada Rumi menyebabkan muncul spekulasi-spekulasi soal malam pertama.

“Coba pikirkan, penganten menjadi aneh dan banyak melamun dengan rawut sedih, tentulah ada apa-apanya dengan malam pertama,” ujar Mang Dur, petugas kebun keluarga Juragan Arya.

“Sepertinya bukan,” kata Bik Nah, juru masak yang sudah ikut keluarga Juragan Arya sejak Rumi masih bayi.

“Kalau memang ini persoalan malam pertama, tentu Rumi sudah sedih sejak seminggu lalu. Tapi ini kan lain. Ia baru bermuram durja dua hari ini,” tukas Bik Nah.

“Iya, ya,” Mang Dur membatin sependapat.

----‘’----

Satu hari bertambah. Wajah Rumi kian sendu. Ia semakin sering keluar kamar membiarkan Den Bagus sendirian. Rumi seketika punya kebiasaan baru. Ia suka duduk berlama-lama di depan kolam ikan di perkarangan belakang. Sambil meletakkan kepala di lutut Rumi memasukkan tangannya ke dalam kolam seakan-akan hendak curhat pada ikan-ikan di kolam itu. Padahal sebelumnya, jangankan ngobrol dengan ikan, mendekati kolam saja Rumi enggan karena ikan bukan peliharaan favoritnya.

Hari ini, Rumi kepergok menangis di pinggiran kolam. Atun, asisten Bik Nah melihat sendiri dengan mata kepalanya pipi Rumi basah dengan air mata. Berita ini menyebar ke seantero rumah. Bu Mirah, istri Juragan Arya segera diberitahu soal ini. Jadilah Rumi dihampiri oleh ibundanya. Bu Mirah duduk disebelah Rumi dan membelai kepala anak perempuannya dengan kasih sayang.

“Ada apa, sayang? Kok penganten baru wajahnya sendu?” tanya sang Ibu dengan lembut.

Mendengar suara ibunda, Rumi tak bisa lagi menahan rasa. Sedihnya tumpah dipelukan Bu Mirah. Tangisnya terisak-isak.

“Ceritakan pada ibu persoalanmu.”

“Mas Bagus, Bu.” Menyebut nama Bagus, tangis Rumi kian menjadi.

“Kenapa dengan suami mu? Apa ia menyakiti mu, memukul mu?” Bu Mirah bertanya dengan nada selidik. Sebagai ibu ia tak senang bila anaknya dibuat menangis oleh orang lain, sekalipun menantunya sendiri. Bila Bagus benar telah melakukan kekerasan pada anaknya, itu sangat keterlaluan. Bu Mirah tidak bisa terima.Terlebih tangis itu terpecah dalam masa bulan madu mereka, hanya berselang 8 hari dari hari pernikahan mereka. Ditambah lagi dilakukan di rumahnya pula.

“Tidak, Bu. Mas Bagus tidak memukul Rumi.”

“Lalu suami mu kenapa? Apa yang telah ia perbuat sehingga engkau menangis?” tanya Bu Mirah lagi setengah mendesak. Ia tak sabar mengetahui persoalan anak kesayangannya. Dalam pikiran Bu Mirah sudah terlintas, bila Bagus berlaku macam-macam, ia akan membuat perhitungan.

“Mas Bagus telah menuduh Rumi berselingkuh, Bu,” Jawab Rumi dengan tangis yang tidak kunjung reda.

“Berselingkuh? Kau dituduh berselingkuh? Apa kau berselingkuh?”

Tak urung Bu Mirah bingung mendengar ucapan Rumi.

“Tidak bu. Rumi tidak berselingkuh. Tidak pernah. Ibu kan tahu, dari dulu aku selalu setia pada Mas Bagus. Sejak Mas Bagus menyatakan cintanya, sampai kami bertunangan dan menikah, tidak pernah ada laki-laki lain dalam hati Rumi. Hanya Mas Bagus yang Rumi sayang.”

Bu Mirah tidak habis pikir. Kok bisa-bisanya muncul masalah perselingkuhan, padahal usia perkawinan anak dan menantunya seumur jangung saja belum. Mereka menikah belum genap sepuluh hari. Persoalannya kok sudah rumit begini.

“Memangnya Bagus menuduh mu berselingkuh dengan siapa,” tanya Bu Mirah dengan nada hati-hati. Ia tak ingin pertanyaannya membuat Rumi bertambah sedih.

“Itulah yang aku tidak tahu,” keluh Rumi.

“Apa Bagus menyebutkan nama?” Tanya Bu Mirah lagi.

“Tidak, Bu,” jawab Rumi dengan suara serak.

“Lalu, mengapa kau menganggap Bagus menuduh mu berselingkuh?” Bu Mirah semakin bingung.

Rumi terdiam. Ia mengatur napas, bertarung dengan gejolak rasa sedihnya. Ia mencoba bercerita tanpa dikalahkan oleh isak tangis.

“Aku buka buku agenda Mas Bagus. Empat hari yang lalu ia menuliskan kata-kata. ‘Aku tidak suka diduakan’. Lalu ada juga kata-kata, “Mengapa Aku tak cukup bagi Rumi. Aku tidak mau dimadu’. Dan beberapa hari belakangan ini ku lihat Mas Bagus berubah. Ia tidak lagi semesra malam pertama. Di saat tidur terasa sekali Mas Bagus menjaga jarak. Malah sering membekalangi aku. Sedih sekali rasanya dipunggungi seperti itu, Bu. Ingin rasanya bertanya pada Mas Bagus ‘ada apa’, kok berubah. Tapi aku tidak berani,” tutur Rumi menguraikan perasaannya.

-----‘’----

Bu Mirah memutuskan untuk membicarakan persoalan Rumi pada suaminya. Ini persoalan serius. Bagus telah menuduh tanpa bukti. Ini fitnah yang tidak berpangkal. Harus dituntaskan segera. Demi Rumi, demi nama baik keluarga.

“Sabar, Bu. Jangan terbawa emosi. Kita sudah mendengar dari Rumi. Maka kita perlu juga mendengar dari Bagus. Apa yang sesungguhnya yang telah terjadi di antara mereka.” Kata Juragan Arya berusaha bijak walau hatinya ikut panas mendengar kabar ini.

Akhirnya, sehabis makam malam bersama, Bagus diminta duduk di ruang keluarga untuk dimintai keterangan. Bagus yang tidak menyangka akan diinterograsi merasa heran melihat tingkah ibu mertunya yang berkali-kali menyikut lengan suaminya seakan hendak memintanya melakukan sesuatu. Sementara Rumi, yang duduk disebelahnya, lebih banyak menunduk.

“Ada apa ya, Pak, kok sepertinya ada yang serius?” tanya Bagus.

Setelah berpandang-pandangan dengan istrinya, Juragan Arya berkata.

“Begini Nak Bagus. Apa benar Nak Bagus menuduh Rumi berselingkuh?” Tanya Jurangan Arya dengan nada berselidik.

“Haa? Berselingkuh? Kapan saya menuduh begitu, Pak?” Bagus terperangah, mengelak dengan nada tercengang.

Lalu Pandangan diarahkannya pada Rumi.

“Dik, ada apa ini? Kok aku dituduh menuduhmu berselingkuh? Apa iya aku menuduhmu begitu? Rasanya ndak pernah, Dik. Aku percaya sama kamu.” Bagus memandang Rumi dengan raut heran dan kening berkerut.

Sesaat kemudian ia pun menoleh pada kedua mertuanya.

Pak, Buk, tidak benar itu. Sungguh tidak benar. Fitnah ini, Buk. Fitnah.” Bagus menjawab dengan setengah gugup seperti sedang menahan emosi.

Sejenak suasana menjadi hening. Juragan Arya menarik nafas panjang dan melirik pada istrinya. Sementara Rumi yang dari tadi menundukkan kepala, mulai terisak-isak menahan tangis.

“Rumi, sekarang coba kamu yang bicara, biar suamimu tahu apa yang sudah kau ketahui,” kataJuragan Arya.

Bagus tersentak mendengar kata-kata mertuanya. Berarti ada sesuatu hal penting yang Rumi ketahui namun tidak diketahuinya. Seketika Bagus deg-degan. Hatinya gelisah penuh tanda tanya.

“Ada apa, Dik? Ada apa sesungguhnya? Ceritakan pada Mas,” kata Bagus dengan nada berharap.

Rumi diam. Mulutnya terkatup rapat.

“Rum, ayo bicaralah agar jelas permasalahan ini,” bujuk Juragan Arya.

“Iya, Nak. Katakan semuanya biar suamimu bisa menjelaskannya,” Bu Mirah menimpali.

Rumit mengangkat kepala perlahan. Air mata mengalir di pipinya. Terbata-bata ia berkata.

“Aku ….aku…. membaca buku agenda Mas Bagus …. Di situ ditulis Mas tidak ingin diduakan. Kapan Rumi menduakan Mas. Dari dulu Rumi tidak pernah menduakan Mas Bagus,” tangis Rumi pun pecah. Ia menangis, kedua telapak tangan melekap ke wajahnya.

Bagus tercengang, mulutnya setengah terbuka, lalu ia tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepala.

“Ooo itu, toh, persoalannya,” suara Bagus terdengar lirih seperti menahan diri untuk tidak tertawa.

Dipandangani Rumi yang tengah menangis. Diraihnya tangan istrinya itu lalu digenggamnya.

“Ayo, redakan tangismu. Mas akan jelaskan semuanya,” Bagus membujuk dengan lembut.

Bu Mirah dan Juragan Arya tidak mengeluarkan sepatah kata pun. Mereka menunggu Bagus bicara. Dalam hati, mereka sebenar kesal juga melihat si menantu senyam senyum sendiri sementara anak kesayangan mereka menangis sesegukan.

Setelah Rumi tenang, Bagus menjelaskan duduk perkaranya.

“Begini, Pak, Buk, Rumi …. ini semua karena guling,” kata Bagus.

“Guling? Guling, bagaimana?” Tanya Juragan Arya bingung.

Rumi yang semula menunduk langsung mengangkat kepalanya memandang Bagus dengan raut penuh tanda tanya.

“Maksudnya apa, Mas? Kok guling dibawa-bawa dalam masalah ini?” tukas Rumi

“Ya, Dik. Ini semua karena guling,” jawab Bagus memandang istrinya.

“Saya baru tahu kalau Rumi itu suka sekali dengan guling. Setiap tidur ia selalu memeluk guling,” kata Bagus.

“Memang, itu kebiasaan Rumi sejak kecil. Dia tidak bisa tidur kalau tidak ada guling,” Bu Mirah memberi penegasan.

“Ya itulah, Bu masalahnya. Gara-gara guling ini saya jadinya diduakan oleh Rumi. Kalau kami lagi tidur, Rumi lebih senang meluk guling ketimbang meluk saya. Kalau pun saya peluk, dia tetap tidak mau melepaskan gulingnya. Masak saya harus meluk Rumi dan guling sekaligus, kan gak full jadinya, Bu. Kurang asyik. Bapak dan Ibu pasti mengerti maksud saya,” ucap Bagus mengungkap persoalan yang sebenarnya.

“Ya ampun,” kata Bu Rumi.

“Astaghfirullah,” ucap Jurangan Arya.

Kini semua mata mengarah pada Rumi.

“Rum, benar begitu seperti yang dikatakan suamimu?” Jurangan Arya bertanya.

Rumi hanya mengangguk-anggukan kepala, tidak menjawab sepatah kata pun.

Jurangan Arya menggeleng-gelengkan kepala. Sejujujurnya hatinya lega, persoalan yang dihadapi Rumi ternyata tidak seberat yang dikhawatirkannya. Malah, ini masalah sepele. Lalu Juragan Arya memandangi Rumi.

“Persoalannya sudah jelas. Bagus sudah mengatakan keberatannya soal guling itu. Sekarang semua tergantung padamu, Rumi. Kamu harus minta maaf pada suami mu dan cobalah untuk menghilangkan ketergantungan mu pada guling,” kata Juragan Arya setengah mengultimatum Rumi.

“Nak Bagus harap bersabar ya. Rumi mungkin perlu waktu untuk menyesuaikan diri dengan situasi yang baru, Dia memang manja sekali. Kami berharap Nak Bagus bisa membimbingnya menjadi lebih dewasa,” ujar Juragan Arya pada menantunya.

Bagus menanggukkan kepala.

“Iya, Pak. Insya Allah,” jawabnya.

----‘’-----

Di kamar berukuran 6x5 meter persegi, Rumi dan Bagus duduk bersisian di pinggir tempat tidur. Tangan kiri Bagus menjulur memeluk pundak Rumi.

Dengan suara lembut ia berkata.

“Maafkan Mas ya sayang. Mas sudah membuatmu sedih.”

“Rumi yang harusnya minta maaf. Rumi sudah membuat Mas kesal. Maafkan Rumi, Mas,” jawab Rumi sambil meletakkan kepalanya di dada sang suami.

Bagus membalasnya dengan merengkuhkan tangan kanannya ke tubuh Rumi. Lama mereka terdiam dalam kemesraan.

“Eh, sudah hampir jam 10 malam. Ayo kita shalat Isya bareng. Mas wudhu dulu ya,” kata Bagus.

“Iya, Mas,” jawab Rumi.

Usai shalat Isya berjamaah, pasangan penganten baru ini melepas penat di peraduan. Mereka berbaring bersisian. Bagus mengelus rambut istrinya, lalu memeluknya dengan mesra.Eiiii, sepertinya ada yang beda kali ini. Bagus tiba-tiba tersadar.

“Rum, mana gulingmu? Kok gak ada?

“Gulingnya Rumi simpan di lemari. Rumi gak mau gara-gara guling itu nanti gak disayang lagi sama Mas Bagus,” jawab Rumi manja.

“Akhirnya ….” Bagus tertawa tanpa meneruskan kata-kata.

“Tapi, Mas,” kata Rumi lagi.

“Tapi apa?” Bagus balik bertanya.

“Tapi nanti kalau Mas Bagus lagi pergi dan Rumi tidur sendirian, Rumi boleh pakai guling itu ya,” kata Rumi penuh harap.

“Oooboleh … boleh, sayang,” balas Bagus semakin mempererat pelukannya.

Jakarta, 26 November 2009

Catatan kecil untuk penganten baru.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun