Ojek Online: Kelas Baru dalam Bayang-Bayang Revolusi Industri 4.0
Revolusi selalu melahirkan kelas baru. Dari Revolusi Prancis yang menumbangkan feodalisme hingga Revolusi Industri yang mengguncang Eropa, sejarah memberi kita pelajaran bahwa setiap perubahan besar dalam cara manusia memproduksi dan mengelola hidupnya selalu meninggalkan jejak sosial: ada yang naik, ada yang jatuh, ada pula yang lahir sebagai wajah baru zaman. Hari ini, di tengah gegap gempita Industri 4.0, saya berpendapat bahwa ojek online adalah salah satu kelas baru yang patut kita perhatikan. Mereka bukan sekadar "mitra pengemudi" dalam logika korporasi platform, tetapi juga representasi dari prekariat digital yang membawa potensi gerakan sosial di era kontemporer.
Untuk memahami posisi ojek online, mari kita tarik sejenak benang sejarah.
Di era Revolusi Industri 1.0, petani terusir dari tanahnya akibat enclosure system, lalu bermigrasi ke kota dan bekerja sebagai buruh pabrik. Mereka menjadi proletariat pertama yang menjual tenaga dengan upah murah, sementara di seberang sana berdiri kelas borjuis pemilik pabrik. Dari sinilah lahir kesadaran kelas dan gerakan buruh modern.
Lalu datang Revolusi Industri 2.0, dengan listrik, baja, dan produksi massal. Buruh tetap ada, tetapi perusahaan makin besar, melahirkan kapitalis korporat. Buruh merespons dengan membangun serikat, melakukan pemogokan, bahkan mengguncang tatanan politik, seperti Revolusi Rusia 1917.
Memasuki Revolusi 3.0, komputer dan otomasi mengubah wajah kerja. Buruh manual berkurang, digantikan knowledge workers: insinyur, programmer, dan teknokrat. Di saat bersamaan, lahir model kerja baru yang lebih fleksibel, mulai dari outsourcing hingga freelance. Kita mengenalnya sekarang sebagai gig ekonomi.
Dan kini, di Revolusi Industri 4.0, platform digital menjadi pusat ekonomi. Kapitalisme bergeser menjadi platform capitalism: perusahaan tidak lagi sekadar produsen barang, melainkan pengendali ekosistem aplikasi. Konsumen, penyedia jasa, dan data semua bertemu dalam satu algoritma yang dikuasai oleh segelintir korporasi.
Di sinilah posisi ojek online muncul. Mereka bukan buruh pabrik, bukan pula pekerja kantoran. Mereka disebut "mitra", tetapi kenyataannya mereka bekerja di bawah kendali aplikasi. Algoritma menentukan siapa dapat order, berapa tarif, bahkan kapan insentif dipotong, Inilah wajah nyata prekariat yang pernah dijelaskan Guy Standing: kelas pekerja baru yang hidup dalam ketidakpastian, tanpa kontrak tetap, tanpa jaminan sosial, dan dengan penghasilan yang bisa naik-turun sesuai "aturan main" perusahaan, yang unik dari ojek online adalah sifatnya yang paradoksal. Mereka bekerja secara individual mengejar order sendiri, menyalakan aplikasi sendiri namun terhubung secara kolektif melalui komunitas, grup WhatsApp, dan jaringan solidaritas. Mereka bukan buruh dalam arti klasik, tetapi tetap memiliki kesadaran bersama bahwa posisi mereka rentan di hadapan kekuatan platform.
Sejarah mengajarkan bahwa kelas baru selalu mencari cara untuk mengekspresikan ketidakpuasan. Ojek online pun sudah melakukannya, kita masih ingat pada 2018--2019, ribuan driver memenuhi jalan-jalan Jakarta, menuntut tarif yang lebih adil. Mereka bukan hanya bergerak di satu kota, tetapi juga di berbagai daerah, menunjukkan bahwa kesadaran kolektif ini bersifat nasional, Pada 20 Mei 2025, ratusan ribu pengemudi ojek online dari berbagai kota turun ke jalan dalam Aksi Akbar 2025, demonstrasi nasional yang menuntut keadilan tarif, pengurangan potongan aplikasi, dan pengakuan status sebagai pekerja. Aksi ini bukan sekadar pemogokan kerja, melainkan bentuk perlawanan kelas digital. Para pengemudi melakukan offbid (mematikan aplikasi) secara serentak, menggerakkan solidaritas nasional dari Jakarta hingga Makassar, dari Surabaya hingga Medan.
, ketika pendapatan mereka merosot drastis sementara perusahaan tetap mengubah skema insentif, solidaritas antar-driver makin kuat. Ada yang menggalang donasi, ada pula yang melakukan aksi protes agar pemerintah memberikan perlindungan sosial, tahun-tahun berikutnya, protes terus bermunculan. Soal tarif dasar, soal pemotongan insentif, soal kriminalisasi driver yang dianggap "mengganggu ketertiban". Semua ini menunjukkan bahwa ojek online bukan lagi sekadar moda transportasi, melainkan aktor sosial dengan kapasitas mobilisasi yang nyata.
Bila kita bandingkan dalam lensa sejarah perlawanan kelas dengan proletar abad ke-19, perbedaannya jelas. Buruh pabrik melawan pemilik mesin dan kapitalis industri, sedangkan ojek online melawan algoritma dan pemilik platform. Tetapi esensinya sama yaitu ketidakadilan dalam relasi kerja. Buruh dulu menuntut upah layak, jam kerja manusiawi, dan jaminan sosial. Ojek online kini menuntut tarif dasar yang adil, perlindungan sosial, dan pengakuan status kerja. Jika buruh pabrik harus berhadapan dengan polisi industri, ojek online berhadapan dengan logika kapitalisme digital yang lebih rumit dan tidak kasatmata, di sinilah pentingnya melihat ojek online sebagai kelas baru.