Mohon tunggu...
Fibrisio H Marbun
Fibrisio H Marbun Mohon Tunggu... Freelancer - Pejalan kaki

Tertarik dengan sepakbola, sosial budaya, dan humaniora.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Kiai Wahab, Halalbihalal, dan Ruang Silaturahmi Anak Negeri

7 Juni 2019   17:57 Diperbarui: 8 Juni 2019   12:05 565
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi Halalbihalal. (Foto: Kontan)

Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang cukup heterogen. Hal ini bisa dilihat dari aspek Agama, Suku, Bahasa, hingga Ras. Keberagaman yang menjadi kekayaan sekaligus kekuatan. Bhinneka Tunggal Ika, perbedaan yang mempersatukan.

Perbedaan ini pulalah yang menjadikan bangsa ini terbuka dan egaliter. Termasuk dalam penerimaan perbedaan. Akan tetapi, kekuatan yang dimiliki bangsa mulai coba-coba diusik oleh pemikiran segelintir orang.

Kondisi ini kembali mengingatkan kita pada masa pascakemerdekaan, di mana muncul kelompok-kelompok yang mencoba mengganggu keutuhan bangsa. Kita sangat beruntung mempunyai pemimpi nasional sekaligus Presiden pertama bernama Bung Karno dan ulama bijaksana bernama KH. Abdul Wahab Chasbullah yang teguh akan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Kiai Wahab dan Halalbihalal

Sumber sahih halalbihalal memang menjadi pertanyaan hingga saat ini. Sebagian besar menyebutkan bahwa KH Wahab Chasbullah merupakan pencetus pertama Halalbihalal. Halalbihalal dicetuskan untuk mengatasi situasi politik Indonesia kala itu. Pasca-proklamasi kemerdekaan 17 tahun 1945, tepatnya tahun 1948 Indonesia mulai dilanda dilanda gejala disintegrasi bangsa.

Jurang pemisah mulai muncul di antara sesama elit politik, muncul perselisihan pandangan yang berujung pada konflik internal sehingga sulit berdialog dalam satu forum. Kondisi ini berujung pemberontakan atas dasar Agama dan ideologi tertentu.

Kemunculan pemberontakan kelompok DI/TII dan Partai Komunis Indonesia (PKI) ditengarai menjadi ancaman dan berpotensi memicu disintegrasi bangsa. Untuk itu dibutuhkan solusi memecahkan masalah tersebut.

Selanjutnya, Bung Karno sebagai Presiden Republik Indonesia memanggil KH Wahab Hasbullah untuk berembuk. Sang Kia mengusulkan kepada Presiden untuk segera menyelenggarakan silaturahmi nasional. Bung Karno menyambut baik ide bagus tersebut, namun istilahnya harus diubah agar lebih spektakuler dan menggugah.

Sehubungan dengan masa Idul Fitri, oleh Kiai Wahab elit politik harus saling bersilaturahmi satu dengan yang lain. Saling menyalahkan satu dengan yang lain harus segera diakhiri. Apalagi menurut ajaran agama itu dosa (haram). 

Supaya mereka tidak punya dosa lagi, maka harus dihalalkan. Mereka harus duduk dalam satu meja untuk saling memaafkan, saling menghalalkan. Sehingga silaturahmi yang dicangkan oleh Bung Karno dan Kiai Wahab selanjutnya disebut dengan istilah Halalbihalal.

ilustrasi/ aida.or.id
ilustrasi/ aida.or.id
Tradisi Otentik Anak Negeri

Hari kemenangan (baca: Idul Fitri)  menjadi ruang silaturahmi antara sesama di Indonesia. Tradisi ini tidak hanya dijalankan umat muslim saja, tapi sebagian besar masyarakat Indonesia. Saling mengunjungi keluarga, tetangga, hingga kolega menjadi hal yang wajib dilakukan pada hari lebaran. Sungguh tradisi yang baik dan harus dipertahankan karena menjadi simbol kesatuan dalam sebuah keberagaman.

"Sehubungan dengan masa Idul Fitri, oleh Kiai Wahab elit politik harus saling bersilaturahmi satu dengan yang lain. Saling menyalahkan satu dengan yang lain harus segera diakhiri."

Perayaan hari besar Agama di Indonesia memang tidak lagi menjadi milik agama tertentu. Hari besar tersebut dirayakan dengan sangat cair dan lentur. Diisi dengan sarat relasi kemanusiaan, saling menghargai, dan melibatkan diri satu dengan yang lain.

Menyadur laporan Tirto.id karya Birgit Berg berjudul Musical Modernity, Islamic Identity, and Arab aestethic In Arab-Indonesia orkes gambus (2011:69) dituliskan pengalaman indahnya ketika mengamati bagaimana tradisi halalbihal dihelat masyarakat Manado. Umat Muslim dan Kristiani berhalalbihalal sembari menikmati hiburan khas orkes gambus.

Uniknya, di sebagian tempat memang yang menjadi pihak pengundang adalah umat Islam, namum di Sulawesi Utara seperti yang dicatatkan Berg, justru umat Kristiani yang mengundang umat Islam untuk berhalalbihalal. Keberagaman yang demikian cair dan sublim itu menjadi salah satu bukti masyarakat Indonesia memiliki watak terbuka yang diwarisi nenek moyang mereka.

Merayakan hari besar Agama secara bersama-sama juga terjadi di daerah Tapanuli. Daerah mayoritas Kristen tersebut menjadi hari lebaran sebagi ruang silaturahmi. Pada saat Idul Fitri, warga Kristen akan berkunjung ke rumah warga Islam. Hal yang sama juga akan dilakukan umat Islam ketika Natal tiba.

Semoga silaturahmi selalu terjaga karena kekuatan kita ada pada keberagaman. Mari menjadikan hari besar setiap Agama menjadi ruang untuk saling berdialog dan bersilaturahmi satu dengan yang lain.

Layaknya Idul Fitri bulan ini, mari kita saling mengunjungi, saling bersalaman, dan tentunya menikmati hidangan yang ada. Sungguh momen yang luar biasa ketika setiap perayaan hari besar dirayakan dengan penuh kemanusiaan, saling menghargai, dan berbagai satu dengan yang lain.

Agama sesungguhnya mengajarkan untuk saling menghargai dan menghormati bukan untuk saling meninggikan atau merendah sebagai sesama manusia merdeka.

Biarlah semua umat berbahagia menyambut hari kemenangan.  Minal Aidin wal Faidzin. Selamat Idul Fitri 1440 H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun