Mohon tunggu...
Fian N
Fian N Mohon Tunggu... Penikmat

Menulis adalah cara saya berdiskusi dengan segala kegelisahan di kepala. Penggagas Pondok baca Mataleza. Menyukai apa saja dan kamu.

Selanjutnya

Tutup

Diary

Jangan Buru-buru Bersikap Saat Masalah Datang Tanpa Aba-aba

25 September 2025   08:25 Diperbarui: 25 September 2025   08:25 19
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokpri: GeminiAI (Seorang lelaki yang sedang menghadapi masalah)

Masalah sering muncul seperti hujan deras di tengah jalan, tiba-tiba, tanpa peringatan. Kadang ringan, kadang seolah menghancurkan seluruh keseimbangan hidup. Insting pertama manusia adalah bereaksi cepat: berbicara, membela diri, atau mencari jalan keluar secepat mungkin. Namun, pengalaman hidup mengajarkan satu hal penting---respon yang tergesa-gesa sering kali menimbulkan lebih banyak luka daripada masalah itu sendiri.

Aku teringat sebuah kejadian beberapa tahun lalu. Saat itu, aku menerima kabar dari seorang teman dekat bahwa ia kecewa padaku karena suatu kesalahan yang kuanggap sepele. Reaksi pertama yang muncul dalam diriku adalah marah. "Bagaimana bisa ia salah paham seperti itu?" pikirku. Aku hampir menulis pesan panjang yang penuh dengan argumen dan pembelaan diri. Namun, ada keraguan dalam hatiku. Apakah dengan segera mengirim pesan itu, aku akan memperbaiki keadaan atau justru memperburuknya? Aku memilih menunda. Satu jam, kemudian dua jam, aku menahan diri. Selama waktu itu, aku bergumul dengan emosi sendiri: marah, sakit hati, dan frustasi bercampur menjadi satu. Namun, perlahan, aku mulai melihat perspektif lain. Mungkin kesalahpahaman itu wajar. Mungkin temanku juga sedang berada dalam tekanan yang membuatnya bereaksi berlebihan. Akhirnya, ketika aku menulis pesan, nada dan kata-kataku jauh lebih bijak, penuh empati, dan komunikasi kami menjadi lebih jelas. Keputusan untuk menahan diri itu menyelamatkan persahabatan yang hampir rusak oleh impuls emosional.

Contoh ini kecil dibandingkan dengan dilema hidup yang lebih besar. Bayangkan seseorang yang tiba-tiba kehilangan pekerjaan. Kekhawatiran, rasa takut, dan tekanan finansial bisa membuatnya terburu-buru mengambil pekerjaan pertama yang datang, tanpa mempertimbangkan kesesuaian, potensi perkembangan, atau bahkan integritas perusahaan. Tindakan impulsif mungkin menyelamatkan keadaan sesaat, tetapi jangka panjangnya bisa menjadi beban baru. Aku pernah melihat seorang teman memilih pekerjaan baru hanya karena takut menganggur. Dalam beberapa bulan, ia merasa tersiksa, karena pekerjaan itu bukan panggilan atau minatnya, melainkan solusi instan. Kalau saja ia memberi waktu untuk merenung, menilai pilihan secara objektif, dan mempersiapkan diri lebih matang, keputusan itu mungkin akan berbeda---dan lebih memuaskan secara emosional.

Konflik internal sering kali menjadi pertarungan paling keras ketika masalah datang mendadak. Emosi kita ingin segera meluapkan kemarahan, kesedihan, atau kekecewaan. Pikiran kita mendesak untuk segera menyelesaikan, segera memperbaiki, segera melawan. Namun, tindakan impulsif bukan hanya menimbulkan risiko eksternal, tetapi juga mengacaukan dunia internal kita. Ada dilema: mengikuti dorongan emosi atau menahan diri? Mengambil keputusan instan atau memberi ruang untuk refleksi? Setiap orang pernah berada di persimpangan ini, dan pilihan kita di saat itulah yang menentukan kedewasaan kita.

Aku ingat pengalaman lain ketika menghadapi konflik keluarga. Adikku dan aku berselisih hebat soal masalah warisan keluarga. Saat itu, kemarahan dan frustrasi menguasai diriku. Semua kata yang ingin aku ucapkan terasa benar di mata pikiranku yang panas. Tetapi, aku berhenti sejenak dan menahan diri. Aku duduk di kamar, menulis semua yang kurasakan di buku catatan---tanpa niat mengirimnya. Menulis itu memberiku jarak emosional. Perlahan, aku bisa melihat sisi adikku: ia juga takut, marah, dan merasa tak dipahami. Ketika akhirnya kami duduk bersama, diskusi berjalan jauh lebih konstruktif daripada yang aku bayangkan. Jika aku terburu-buru berbicara saat itu, kemungkinan besar hubungan kami akan retak, dan konflik akan meninggalkan luka jangka panjang.

Menahan diri bukan berarti pasif. Diam sejenak adalah bentuk kesadaran dan strategi. Saat kita memberi waktu bagi diri sendiri, kita menenangkan badai emosional, meninjau fakta, dan menimbang konsekuensi. Dalam jeda itu, perspektif baru sering muncul---sesuatu yang mungkin tidak terlihat ketika hati dan pikiran masih kacau. Aku belajar bahwa setiap jeda yang disengaja adalah investasi: investasi untuk keputusan yang lebih bijak, hubungan yang lebih sehat, dan kedamaian batin yang lebih kokoh.

Masalah mendadak juga menguji ketahanan mental. Kita harus mampu menahan dorongan instingtif untuk segera "menyelesaikan" atau "melawan" tanpa refleksi. Aku menyebutnya ujian kesabaran hidup. Semakin sering kita menghadapi tantangan dengan menahan diri, semakin terlatih pula kita dalam mengelola emosi, mengatur respon, dan bertindak dengan tepat. Ini adalah latihan untuk menjadi pribadi yang lebih dewasa, yang mampu menanggapi hidup dengan kesadaran, bukan sekadar refleks.

Di sisi lain, memberi diri waktu saat masalah datang juga memungkinkan kita memahami diri sendiri lebih dalam. Dalam hening itu, kita bisa bertanya: Apa yang benar-benar penting? Apa yang bisa dikendalikan, dan apa yang harus dilepaskan? Pertanyaan sederhana ini sering membawa jawaban yang lebih bermakna daripada keputusan instan yang diambil dalam kepanikan. Kita mulai melihat bahwa tidak setiap masalah menuntut aksi segera; beberapa justru menuntut pemahaman, penerimaan, atau bahkan kesabaran.

Akhirnya, hidup mengajarkan bahwa reaksi cepat bukan selalu sinonim dengan solusi. Terkadang, kekuatan terbesar bukan pada seberapa cepat kita bertindak, tetapi seberapa bijak kita menahan diri. Setiap masalah mendadak adalah peluang untuk belajar, untuk mengasah kesabaran, dan untuk menumbuhkan kedewasaan emosional. Dalam jeda itu, kita menemukan solusi sejati, bukan hanya untuk masalah, tetapi juga untuk diri sendiri---menjadi pribadi yang lebih sadar, tangguh, dan damai.

Ketika masalah datang tanpa peringatan, jangan buru-buru bersikap. Tarik napas, berhenti sejenak, dan biarkan hati dan pikiran menemukan keseimbangan. Karena sering kali, di antara detik-detik hening yang kita berikan pada diri sendiri, tersembunyi jawaban yang lebih bijak, lebih tepat, dan lebih penuh makna daripada keputusan instan yang tergesa-gesa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun