Di ruang praktik kecil di sudut kampus, saya duduk menyimak cerita pasien sembari menyiapkan alat tambal gigi. Bagi sebagian orang, tambalan hanyalah prosedur medis biasa. Tapi bagi saya, tambalan adalah penanda. Ia menandai rasa sakit yang pernah ada, rasa takut yang pernah menyergap, dan harapan yang perlahan diperbaiki.
Setiap tambalan adalah cerita.
Ada pasien yang datang setelah menunda bertahun-tahun karena trauma masa kecil. Ada pula yang datang karena akhirnya berani menghadapi rasa sakit demi tampil percaya diri. Bahkan ada pasien yang diam-diam menangis di kursi, bukan karena nyeri, tetapi karena tambalan itu mengingatkannya pada orang tua yang selalu memaksanya menjaga gigi---yang kini telah tiada.
Tambalan gigi bukan hanya soal memperbaiki permukaan gigi berlubang. Ia juga tentang memperbaiki kepercayaan diri. Tentang keberanian menghadapi trauma masa lalu. Tentang menyembuhkan luka tak kasat mata.
Sebagai dokter gigi, saya berulang kali menjadi saksi diam dari cerita-cerita yang tidak tercatat dalam rekam medis. Ketika seorang anak mengeluh takut, saya tidak hanya memberi bius, tetapi juga rasa aman. Ketika pasien dewasa menyalahkan dirinya karena malas sikat gigi, saya tidak menghakimi, melainkan menguatkan.
Tambalan juga bisa menyimpan identitas.
Dalam dunia odontologi forensik, tambalan---sekecil apa pun---dapat menjadi petunjuk dalam mengidentifikasi jenazah. Bentuk tambalan, bahan yang digunakan, bahkan sisi gigi yang dikerjakan bisa menjadi bukti pembeda seseorang. Tambalan menjadi saksi bisu bahwa seseorang pernah hidup, pernah dirawat, dan punya jejak yang tak bisa dihapus oleh waktu atau bencana.
Saya pernah menangani pasien korban kekerasan domestik. Ia tidak banyak bicara. Tapi ketika saya menambal giginya yang patah akibat pukulan, saya tahu bahwa tambalan itu lebih dari sekadar restorasi. Itu adalah bentuk pemulihan. Bukti bahwa ia memilih bangkit, memperbaiki diri, dan melanjutkan hidup.
Ada pula pasien lansia yang datang dengan permintaan sederhana: "Dok, tambal gigi ini supaya saya bisa tersenyum di hari ulang tahun cucu saya." Tambalan itu bukan hanya demi fungsi kunyah. Itu adalah hadiah untuk dirinya sendiri, untuk perayaan hidup yang masih berlangsung.
Tambalan gigi sering kali dianggap remeh, kalah pamor dibanding perawatan gigi estetis lainnya. Namun, dalam diamnya, tambalan menyimpan kompleksitas. Ia menjadi titik temu antara rasa sakit dan harapan. Antara luka dan pemulihan. Dan dalam banyak kasus, antara identitas dan kemanusiaan.
Saya menulis ini bukan untuk meninggikan profesi, melainkan untuk mengajak pembaca melihat sisi lain dari hal yang tampak sederhana. Bahwa setiap tambalan gigi adalah simbol kecil dari perjuangan besar.