Tragedi Kanjuruhan yang menewaskan 131 pendukung Arema FC, sepertinya bakal menjadi pemicu proses transformasi sepakbola Indonesia.
Seharusnya tak perlu ada satu pun korban jiwa untuk sepakbola, tetapi akibat tata kelola yang buruk dari para pemangku kepentingan sepakbola nasional, pil pahit terpaksa harus ditelan masyarakat Indonesia.
Celakanya pihak yang paling bertanggungjawab terhadap situasi ini, Federasi Sepakbola Indonesia PSSI, malah terkesan tak bertanggungjawab.
Para pengurus PSSI malah sibuk berusaha memertahankan posisinya masing-masing, alih-alih bertanggungjawab terhadap peristiwa yang oleh Presiden FIFA Gianni Infantino disebut sebagai hari yang gelap bagi sepakbola dunia.
Saya yakin, Presiden Jokowi kesal melihat tingkah laku para pengurus PSSI tersebut. Sangat mungkin ia sebenarnya berkeinginan untuk langsung menggusur posisi para pengurus PSSI saat ini.
Namun hal tersebut tak bisa dilakukan, kecuali akan dianggap FIFA sebagai pelanggaran statuta yang telah ditetapkan.
Haram hukumnya Pemerintah suatu negara secara langsung mengintervensi  urusan sepakbola, termasuk mengganti pengurusnya tanpa mekanisme yang telah ditetapkan dalam statuta FIFA.
Apabila hal tersebut dipaksakan oleh Pemerintah maka negara tersebut akan di banned dari segala kegiatan sepakbola regional dan internasional.
Dengan sanksi FiFA, maka Timnas negara yang bersangkutan tak diperkenankan terlibat dalam berbagai turnamen resmi di bawah yurisdiksi FIFA dan organisasi turunannya seperti Federasi Sepakbola Asia (AFC) misalnya.
Para pemain dan para pihak yang terlibat langsung dalam dunia sepakbola akan kehilangan mata pencahariannya.
Kondisi ini pernah dialami persepakbolaan Indonesia saat FIFA menjatuhkan sanksi mulai Mei 2015 hingga 2 tahun kemudian akibat intervensi Pemerintah saat itu yang membekukan  kepengurusan PSSI yang dipimpin Djohar Arifin.