Mohon tunggu...
Efwe
Efwe Mohon Tunggu... Administrasi - Officer yang Menulis

Penikmat Aksara, Ekonomi, Politik, dan Budaya

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Akhir Tragis Novia Widyasari dan Konsep "Non Competent Consent"

6 Desember 2021   12:36 Diperbarui: 6 Desember 2021   12:38 1265
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tragedi kematian Novia Widyasari beberapa hari ini benar-benar menyedot perhatian publik. Warganet Indonesia seolah sedang melampiaskan rasa kesalnya atas sirnanya keadilan terhadap almarhumah Novia.

Segala macam unggahan terkait tragedi Novia  di seluruh platform media sosial membanjiri timeline.

Bahkan saking muntabnya netizen +62,  tagar yang berhubungan dengan tragedi ini merajai trending topik di Twitter, mulai dari tagar #savenoviawidyasari, #noviawidyasari, #randybagussasongko, #percumalaporpolisi, dan terakhir Senin (06/12/21)pagi ini tagar #diperkosa ramai menjadi trending, saat tulisan ini dibuat 63.400 cuitan menggunakan tagar #diperkosa.

Tagar #diperkosa ini menjadi ramai, lantaran dalam pers rilis yang dikeluarkan pihak Kepolisian, seperti yang diunggah @Divhumas_polri tak sekalipun menyebutkan kata "diperkosa",  seperti  diduga dilakukan Randy terhadap Novia yang kemudian membuat Novia hamil dan mengalami rentetan masalah serta membuat dirinya depresi yang pada akhirnya  ia  memutuskan untuk mengakhiri hidupnya.

Memang pasal pemerkosaan ini akan sangat sulit diterapkan pada kasus seperti ini, apalagi korban sudah meninggal dan kejadiannya pun sudah berlangsung lama.

Namun paling tidak, pihak Kepolisian dengan segala kemampuannya seharusnya bisa berusaha untuk melakukan penyelidikan terkait pemerkosaan yang terjadi berdasarkan bukti-bukti lain termasuk pengakuan korban yang ia ungkapkan di media sosial miliknya sebelum ia meninggal.

Apabila memang unsur pemerkosaan tersebut tak dapat dibuktikan secara hukum, ungkapkan itu secara terbuka kepada publik.

Lebih jauh lagi, dalam pers rilis tersebut Polisi juga seolah menyiratkan bahwa hubungan seks antara Novia dan Randy itu konsensual.

Serta upaya aborsi yang dilakukan adalah hasil kesepakatan antara keduanya, hal ini tak sesuai dengan curhatan-curhatan Novia, bahwa ia dipaksa untuk melakukan aborsi.

"Kami dapatkan juga satu bukti, bahwa korban selama pacaran sampai kemarin bunuh diri telah melakukan tindakan aborsi bersama sebanyak 2 kali, pertama pada Maret 2020 dan Agustus 2021." Ujar Wakapolda Jatim, Brigjen Pol Slamet. Seperti dilansir sejumlah media.

Nah, hal ini lah yang membuat publik merasa tak puas sehingga mereka meradang dan pembahasan tragedi kematian Novia itu menjadi berpanjangan

Polisi dianggap sama sekali tidak memerhatikan dugaan terjadinya pemerkosaan yang dilakukan oleh Randy terhadap Novia.

Sebagian netizen setelah mendengar dan membaca keterangan pihak Kepolisian ada yang beranggapan bahwa hubungan seks antara keduanya tersebut konsensual jadi sudah sepantasnya delik pemerkosaan tak masuk dalam kasus Novia ini.

Apalagi beredar foto-foto Randy dan Novia yang terlihat mesra, sehingga mereka berkesimpulan hubungan seks antara keduanya "jelas dan terang" suka sama suka.

Padahal bila kita cermati secara seksama, 2 hal tersebut jelas berbeda, kemesraan yang diperlihatkan bukan berarti salah satu pihak memberi persetujuan untuk melakukan hubungan seks.

Sekarang mari kita pahami apa sih persetujuan atau konsensual dan kompentensi dalam memberikan persetujuan saat berhubungan seks.

Menurut sejumlah sumber referensi yang saya dapatkan, persetujuan atau consent selalu identik dengan keleluasaan seseorang untuk memberikan persetujuan dan kapasitasnya dalam memberikan persetujuan.

Keleluasaan seseorang dalam memberikan persetujuan tidak terlepas dari kapasitas orang tersebut dalam memberikan persetujuan.

Dalam konteks tragedi Novia, yang bisa dikategorikan ke dalam pemerkosaan, hal ini juga berarti bahwa suatu tindakan seksual yang dilakukan tanpa persetujuan adalah kekerasan seksual.

Kendati begitu, dalam beberapa kondisi, persetujuan atau consent yang diberikan oleh korban tidak lagi menjadi penting dalam menentukan apakah tindakan pelaku itu termasuk ke dalam kekerasan seksual atau tidak.

Kondisi yang dimaksud adalah ketika orang tersebut memang tidak memiliki kapasitas untuk memberikan persetujuan atau non competent consent.

Konsep non competent consent, berangkat dari pemahaman bahwa setiap tindakan dari individu harus dilakukan berdasarkan kesadaran penuh, maka untuk itulah pada saat individu tersebut menyetujui harus mempunyai kompetensi yang cukup dan cakap secara hukum.

Menurut sejumlah literatur yang berkaitan dengan kekerasan seksual, terdapat sejumlah ukuran yang dapat dipergunakan dalam menentukan kapasitas seseorang untuk memberikan persetujuan.

Dalam ilmu hukum dan psikologi dan ini sudah diterapkan di berbagai negara di dunia termasuk Indonesia, mengenal adanya batasan usia minimal atau age of consent seseorang dapat menyetujui untuk berpartisipasi dalam aktivitas seksual.

Di Indonesia mengacu pada Pasal 287 KUHP, individu yang berusia di bawah 15 tahun masih dianggap anak-anak, karena itu melakukan hubungan seks dengan mereka yang berusia di bawah 15 tahun meskipun atas dasar konsensual merupakan pelanggaran hukum, karena anak-anak dianggap tak memiliki kompetensi untuk memberikan persetujuan.

Di Amerika Serikat agak berbeda batasan usia minimal seseorang dianggap sudah memiliki kompetensi untuk memberikan persetujuan adalah 18 tahun, dan mereka juga mengenal istilah orang dewasa rentan yakni mereka yang berusia diatas 70 tahun.

Selain itu kompetensi konsensual juga tak berlaku bagi individu yang tak memiliki kapasitas mental yang baik, orang tak berdaya, orang yang tak sadarkan diri, dan orang dalam keadaan mabuk.

Ketika secara fisik, individu tersebut dalam kondisi seperti tertulis diatas, maka tindakan seksual apapun terhadap individu tersebut bisa dikategorikan sebagai kekerasan seksual. Persetujuan tak lagi relevan untuk dipertanyakan dalam kondisi seperti ini.

Hal lain yang harus diperhatikan dan ini sebenarnya yang sering terjadi, dan saya duga terjadi pada kasus Novia dan Randy adalah aktivitas seksual dilakukan di bawah keadaan-keadaan koersif atau sebuah bentuk komunikasi yang mengandung paksaan.

Keadaan Koersif lebih banyak bersangkutan dengan tekanan secara psikis yang bentuknya antara lain ancaman secara verbal untuk menggunakan kekerasan yang menimbulkan ketakutan, rangkaian kebohongan, bujuk rayu, pemerasan, penyalahgunaan kekuasaan atau adanya relasi kuasa dan intimidasi.

Kondisi ini akan membuat seseorang tak lagi memiliki kompetensi untuk memberikan persetujuan, dalam kasus Novia ini lah yang terjadi ada gabungan antara ketidakmampuan secara fisik karena ia diberi obat sehingga Novia tak sadarkan diri dan kemungkinan hubungan seks selanjutnya berdasarkan dalam keadaan koersif dengan bujuk rayu, relasi kuasa dan intimidasi.

Pada umumnya, pelaku akan memanfaatkan kerentanan, kepercayaan, dan ketergantungan korban kepadanya. Oleh karena itu, korban menjadi tak berdaya, makanya ketidakberdayaan korban merupakan bentuk non competent consent, inilah yang sangat mungkin terjadi pada Novia saat Randy berulang kali memaksakan berhubungan seks yang kemudian membuat Novia hamil hingga 2 kali.

Atas dasar ini mungkin ada baiknya Polisi melakukan penyelidikan secara seksama, bahwa pemerkosaan memang diduga terjadi. Bukan mengesampingkannya sama sekali.

Dan tragedi Novia ini bisa dijadikan titik pijak bagi pembaruan kebijakan tentang kekerasan seksual yang memberi jaminan perlindungan bagi korban-korban kekerasan seksual yang bisa jadi masih banyak diluar sana.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun