Mohon tunggu...
Efwe
Efwe Mohon Tunggu... Administrasi - Officer yang Menulis

Penikmat Aksara, Ekonomi, Politik, dan Budaya

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Isu Poligami PKS dan Pengalaman Saya Sebagai Anak dari Seorang Ayah Pelaku Poligami

1 Oktober 2021   10:51 Diperbarui: 1 Oktober 2021   13:14 604
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sebenarnya, dari sisi pemenuhan materi pun  seorang ayah pelaku poligami pun jauh lebih buruk dibandingkan ayah yang hanya memiliki seorang istri dan keluarga tunggal.

Logikanya, ketika penghasilan si ayah 10 ia harus membagi 10 tersebut dengan 2 atau 3 keluarga lain.

Coba kalau ia hanya memiliki istri dan keluarga tunggal 10 tadi seluruhnya akan dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari mereka.

Lebih jauh lagi, jika kita bicara kehidupan sosial seorang anak dari pelaku poligami, saya mengalami sendiri sempat di bully oleh teman-teman saya semasa kecil hingga sekolah menengah atas, karena ayah saya memiliki istri lebih dari satu.

Tak seperti mereka yang setiap dibagikan raport, kedua orang tuanya rajin mendampingi anaknya, setiap momen penting sepanjang hidup saya tak pernah sekalipun di dampingi oleh ayah yang seharusnya ada di sisi anaknya.

Hal tersebut membuat  kondisi saya secara psikologis cukup tertekan akibatnya saya menjadi remaja liar, walaupun secara akademis nilai-nilai yang saya dapatkan di sekolah saat itu sangat baik, tetapi saya dapat digolongkan sebagai salah satu siswa pembuat masalah dan pemberontak.

Apakah semua itu ada hubungannya dengan kelakukan poligami ayah saya?

Saat itu saya belum menyadari betul kondisi itu lantaran selain kapabilitas berpikir saya belum sampai kesana dan juga kondisi keluarga yang waktu itu memang berantakan atau istilahnya broken home membuat saya masa bodoh terhadap hal-hal seperti itu

Namun, setelah saya mulai beranjak dewasa dan melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi, kesadaran bahwa dampak psikologis dari "situasi poligami" itu memang nyata adanya.

Saya sempat kesal, sebal, dan marah pada ayah setelah menyadari itu, hingga ada suatu masa dimana saya ribut besar dengan ayah saya karena masalah sepele, tetapi hal yang sepele itu saya gunakan untuk membalas rasa sakit hati saya selama ini pada laki-laki yang disebut ayah tersebut.

Sampai saat ini pun saya kerap bertanya mengapa saya harus lahir dari sebuah keluarga pelaku poligami yang secara batin sudah menyengsarakan saya, bahkan sempat berpikir jika saya lahir dari keluarga monogami yang harmonis kehidupan saya saat ini kemungkinan akan jauh lebih baik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun