Pemerintah melalui Kementerian Keuangan yang diberi kewenangan untuk mengumpulkan pajak, berencana untuk mengenakan pajak terhadap barang-barang kebutuhan pokok yang pasti banyak dikonsumsi masyarakat.
Barang kebutuhan pokok yang dimaksud adalah barang yang oleh masyarakat umum disebut sebagai Sembako(sembilan bahan pokok).
Kebijakan ini seperti dilansir CNNIndonesia.Com akan dituangkan dalam perluasan objek Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang diatur dalam revisi Undang-Undang nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
Draft beleid ini kini tengah dalam proses pembahasan, tetapi jika draft ini kemudian disahkan dan resmi diberlakukan, maka konsekuensi yang pasti terjadi adalah harga sembako ditingkat konsumen dalam hal ini masyarakat akan mengalami kenaikan.
Sedangkan kita tahu semua, kondisi pandemi seperti saat ini rakyat tengah dalam kondisi sulit secara ekonomi, jika ditambah kenaikan sembako maka hampir dapat dipastikan kesulitannya akan tambah dalam lagi.
Padahal fungsi negara yang paling utama sebuah negara mengusahakan kesejahteraan rakyatnya, termasuk di dalamnya menjaga agat barang-barang kebutuhan pokok harganya terjangkau oleh masyarakat.
Meskipun hingga saat tulisan ini dibuat kita belum tahu persis besaran PPN yang akan dikenakan pada barang-barang kebutuhan pokok yang sebelumnya tak terkena pajak seperti yang tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan nomor 116/PMK.010/2017.
Barang-barang kebutuhan pokok yang tadinya tak terkena pajak dalam aturan tersebut adalah Beras dan gabah, jagung, sagu, kedelai, garam konsumsi, daging, telur, susu, buah-buahan, sayur-sayuran, ubi-ubian, bumbu-bumbu, dan gula konsumsi.
Bayangkan jika nantinya semua barang-barang yang sehari-hari mau tidak mau kita harus konsumsi itu tersebut terkena pajak.Â
Pasti, pajaknya tersebut akan dibebankan para produsen sembako pada harga jual ditingkat konsumen.
Artinya harga jual sembako itu akan naik. Biasanya begitu harga sembako naik trickle down effect bakal terjadi pada barang-barang sekunder lain.