Jika mengacu pada pernyataan Firli, mungkin pejabat itu tak menggangsir uang negara untuk bansos itu secara langsung.
Pihak Kemensos sendiri sampai tulisan ini dibuat belum memgkonfirmasi apapun. Menteri Sosial Juliari Batubara mengaku masih memonitor perkembangan kasus ini.
"Kami msh memonitor perkembangannya," ujarnya seperti dilansir Bisnis.com Sabtu (05/12/20)
Seperti diketahui bersama, program bansos ini ada yang bersifat cash transfer seperti Bantuan langsung tunai (BLT) kemudian ada juga yang bentuknya bantuan sembilan bahan pokok alias sembako.
Nah disini mungkin celahnya, pejabat itu menggadaikan kewenangannya dalam pengadaaan barang-barang kebutuhan pokok yang akan digunakan untuk kepentingan bansos.
Dalam pengadaan barang-barang tersebut pemerintah akan menggandeng vendor untul melakukan supply hingga pengiriman barangnya.
Dengan kewenangannya tadi pejabat itu mungkin berujar
 "jika anda memberi saya 10 persen atau berapalah itu dari nilai kontrak pengadaan barang tersebut, maka kontrak ini akan jatuh ke tangan anda."
Bagi vendor mungkin ini kesempatan emas ditengah situasi ekonomi kurang baik ada kesempatan untuk mendapat uang, ya mereka embat aja, fee buat pejabat itu sih gampang, coh nanti kualitas barang bisa dimainkan untuk menutupi ongkos tersebut.
Bagi masyarakat tentu saja  hal ini menjadi kerugian, seharusnya ia menerima beras harga Rp. 10.000 per kilo menjadi beras yang kualitasnya seharga Rp. 8.000 per kilo misalnya.
Pejabat yang seharusnya melakukan quality control terhadap barang tersebut kemudian akan tutup mata saja, mungkin dalam hatinya ia berkata, "udah syukur dapat bantuan juga, kualitas sih nomor sekian."