Sementara Dewas berpendirian bahwa segala anggaran termasuk tunkir karyawan TVRI itu tak akan bisa dicairkan jika Dirut defenitif belum ada, makanya Dewas bersikeras  melakukan proses pemilihan Dirut melalui Fit and Proper Test yang dilakukan oleh mereka.
Dalam perjalanan proses itu berlangsung selama kurang lebih 6 bulan dengan berbagai dinamikanya, kembali Dewas berulah ia memecat seluruh jajaran direksi TVRI yang merupakan sisa kepengurusan Helmy Yahya saat jadi Dirut.
Tambah kesal lah DPR, maka dipanggilah Dewas untuk rapat dengar pendapat dengan mereka. Dalam rapat tersebut DPR memberikan ultimatum kepada Dewas untuk menyampaikan sanggahan, jika sanggahan itu ditolak konsekuensinya mereka bakal di rekomendasikan kepada Presiden Jokowi untuk dipecat.
Nah, karena sanggahan Dewas ditolak makanya kemudian surat rekomendasi pemecatan Ketua Dewas TVRI kepada Presiden keluar yang ditandangani oleh Puan Maharani selaku Ketua DPR.
Yang kemudian menjadi polemik adalah pemberitaan yang beredar di publik seolah Puan lah yang memecat Dewas, padahal itu merupakan hasil proses panjang dari satu polemik ke polemik berikutnya.
Puan Maharani hanya menjalankan kewajibannya secara administratif, bahwa surat rekomendasi itu harus ditandatangani olehnya sebagai Ketua DPR-RI
Polemik di TVRI yang terus terjadi Ini merupakan contoh buruk pengelolaan sebuah lembaga negara oleh para petingginya. Keputusan-keputusan terlahir hanya berdasarkan kepentingan pribadi dan kelompoknya tanpa memikirkan insiusi tersebut secara keseluruhan.
Jadi wajar saja DPR selaku pihak yang diberi wewenang dan bertugas mengawasi TVRI merekomendasikan pemecatan Ketua Dewas TVRI Arief Hidayat Thamrin, yang kinerjanya memang buruk.
Ke depan ada baiknya seluruh perangkat hukum LPP-TVRI ini dievaluasi agar gontok-gontokan di TVRI yang sepertinya tanpa henti ini tak terjadi lagi.