Mereka terlihat semena-mena  dan terkesan memfabrikasi alasan untuk memberhentikan Helmy sebagai Dirut TVRI, yang kisahnya sudah diketahui bersama.
Memang benar Dewas memiliki kewenangan untuk mengangkat dan memberhentikan Dewan Direksi sesuai Pasal 7 huruf d dan e Peraturan Pemerintah nomor 13 tahun 2005.
Namun pemberhentian itu harus ada dasar yang kuat, tak bisa atas dasar suka-suka. Kenyataannya apa yang dilakukan Dewas TVRI saat ini, ya sewenang-wenang.
Berbagai pihak mengecam keras tindakan Dewas ini, semua orang bisa melihat dengan jelas kondisi TVRI saat setelah dipimpin oleh Helmy Yahya sebagai Dirut.
Faktanya terukur kok, Brand Image TVRI kini jauh lebih baik dari sebelumnya. Secara teknis mereka sekarang bisa mengimbangi stasiun-stasiun TV Lain.
Rating Share mereka menurut lembaga rating AC Nielsen sudah diatas 2 persen, bahkan sempat beberapa kali menduduki peringkat rating teratas untuk siaran sepak bola dan bulutangkis.
Hal yang tak pernah bisa dicapai TVRI sebelum Helmy memegang TVRI. Begitupun dengan pengelolaan keuangan, ukuran baik atau buruknya tata kelola keuangan sebuah lembaga negara adalah hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Setelah Helmy masuk, opini laporan keuangan TVRI mendapatkan predikat Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) selama 2 tahun berturut-turut, setelah sebelumnya, selama 3 tahun diberi label Disclaimer oleh BPK.
Apabila kita telaah, kesan sewenang-wenang Dewas dalam memecat Helmy terkonfirmasi dengan capaian-capaian Helmy sebagai Dirut TVRI ini.
Lantas, apakah dengan kenyatan ini Dewas TVRI bisa diberhentikan karena terciun bau penyalahgunaan kekuasaan atau paling mengembalikan Helmy duduk kembali sebagai Dirut TVRI?
Menurut Junimart Girsang anggota Komisi I DPR-RI sekaligus praktisi hukum. DPR tak dapat memberhentikan Dewas TVRI, meskipun yang melakukan uji kepatutan adalah mereka.