Mohon tunggu...
Ferry Kurniawan
Ferry Kurniawan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Pelajar Ilmu Sosial dan Ilmu Budaya

Bjork said –I am a source of blood, in the form of a girl. I said, I'm a really weird person. An Aquarius hooked on the social sciences, lost in words and eager to dive into the depths of the absurd. You can dig into my old opinion here. Someone who has thoughts piled up with problems, who are reluctant to tell directly.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Keterwakilan Perempuan dalam Keanggotaan Legislatif

23 Januari 2023   22:48 Diperbarui: 23 Januari 2023   22:58 167
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pasca reformasi, perjuangan perempuan Indonesia di arena politik formal menunjukkan kontribusi yang signifikan. Wacana partisipasi dan representasi politik perempuan memperlihatkan pencapaian kesetaraan dan keadilan gender secara kuantitatif. Dalam demokrasi inklusif, masyarakat sebagai pilar penting demokrasi mempunyai peranan sangat penting untuk mewujudkan partisipasi politik perempuan yang lebih luas dan bermakna. Namun praktik politik dalam proses pembuatan kebijakan di parlemen belum menunjukkan pencapaian secara kualitatif.

Secara garis besar sudah banyak peraturan serta perundang-undangan yang membuka akses bagi perempuan untuk turut berpartisipasi dalam ranah politik, setidaknya sebagai pengurus di partai politik sebagai langkah awal sebelum nantinya dapat maju ke parlemen. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik sebenarnya sudah menjadi landasan yuridis bagi perempuan untuk turut berpartisipasi dalam kepengurusan partai politik dengan jumlah keterwakilan paling sedikit 30%. 

Namun, secara realitasnya dalam partai politik di Indonesia, jabatan strategis cenderung diduduki laki-laki sehingga posisi perempuan menempati urutan dua kepercayaan untuk memimpin belum diakui secara general. Rendahnya keterwakilan perempuan di parlemen disebabkan masih kentalnya budaya patriarki pada masyarakat secara general sehingga dukungan publik terhadap perempuan ketika terjun ke ranah politik tidaklah besar. Kedudukan perempuan yang masih berada di bawah laki-laki membuat keterwakilan perempuan tidak menjadi prioritas, selanjutnya publik menilai politik cenderung didominasi laki-laki.

Kebijakan afirmatif dengan 30% kuota perempuan dalam UU Pemilu Legislatif (UU 12/2003, UU 10/2008) dan UU Partai Politik (UU 31/2002, UU 2/2008, UU 2/2011), maupun ratifikasi berbagai konvensi HAM merupakan bagian dari kebijakan diskriminasi positif sebagai upaya meningkatkan jumlah keterwakilan peran politik perempuan di parlemen. Dari tahun ke tahun menunjukkan data kenaikan representasi perempuan bahwa setiap dilakukan tindakan afirmatif peningkatan peran politik perempuan, jumlahnya cenderung meningkat. Hal ini sejalan dengan upaya Komisi Pemilihan Umum (KPU) mempertahankan aturan jumlah representasi perempuan di DPR RI untuk Pemilu 2024, alhasil aturan ini mampu meningkatkan angka partisipasi perempuan dalam pemilu. Selain itu, KPU berencana mempertahankan regulasi turunan yang dimuat dalam Peraturan KPU Nomor 20 Tahun 2018, mengatur sanksi bagi parpol yang tidak memenuhi kuota pencalonan di posisi strategis.

Representasi perempuan di politik ini semua memiliki isu khusus yang berkaitan dengan perempuan. Perempuan dalam pangan, perempuan dalam air bersih, perempuan dalam perspektif agama, perempuan dalam kesejahteraan rakyat. Sehingga pemilih harus mempertimbangkan wakil-wakil perempuan yang turut menyuarakan isu tersebut. Isu sensitif yang menunjukkan dampak dari representasi para anggota parlemen perempuan yaitu UU yang masih hangat untuk di bahas yaitu UU tindak penghapusan kekerasan sosial. Undang-undang yang cukup lama dinanti pengesahannya sebagai dasar hukum bagi penegakan berbasis gender.

Menjawab dampak perlunya peningkatan kuota perempuan dalam politik terhadap pemerintahan. Masyarakat dapat melihat apa yang anggota parlemen perempuan periode sebelumnya hasilkan, apakah mereka memang pro terhadap kebijakan-kebijakan yang pro perempuan atau tidak. Kasus UU Tindak Penghapusan Kekerasan Seksual membuktikan bahwa konsolidasi perempuan baik di dalam maupun di luar parlemen perlu diperhitungkan secara komprehensif. Perjuangan perempuan dalam mengakhiri sistem yang tidak adil tidaklah merupakan perjuangan perempuan melawan laki-laki, melainkan perjuangan melawan sistem dan struktur ketidakadilan masyarakat, berupa ketidakadilan gender.

Oleh karena itu masyarakat juga menilai prestasi yang dihasilkan anggota parlemen pada periode sebelumnya, karena kalau kader perempuan memang bekerja untuk rakyat dan ada dampak langsung di masyarakat tentu saja masyarakat akan masih memilih kader perempuan di periode-periode selanjutnya. Tidak semua anggota perempuan di parlemen yang menganggap isu gender adalah isu yang penting ataupun berusaha untuk mengutamakan isu yang pro perempuan agar bisa lolos dalam bahasan paripurna karena bagaimanapun masih ada sekat-sekat yang mengikat karena mereka tidak bekerja sendiri di pemerintahan masih ada aturan-aturan yang perlu di ikuti. Aturan 30% kuota di parlemen di anggap sangat efektif dalam meningkatkan representasi perempuan karena itu memang sangat harus di pertahankan bahkan kalau perlu di tingkatkan karena bukti menunjukkan setelah adanya kebijakan tersebut level representasi perempuan selalu naik. Masalah budaya dan sistem pemilu terbuka juga di nilai menjadi faktor yang mempengaruhi representasi perempuan juga di parlemen. Masyarakat juga harus menjadi lebih pintar dalam memilih kader perempuan yang berkualitas untuk menjadi wakilnya dalam beberapa tahun ke depan.

Dengan meningkatnya keterwakilan perempuan dalam kancah politik, diperlukan partisipasi masyarakat umum. Salah satunya media yang berfokus pada suara perempuan dengan mengartikulasikan problem, mengakomodir kepentingan perempuan pada khususnya isu politik dalam artian mendorong keterlibatan isu dan mengakui kebutuhan perempuan dalam politik. Media berperan strategis  dalam menyuarakan isu perubahan menjadi upaya transformasi sistem pemilu yang adil gender. Kolaborasi ini, diharapkan bukan hanya untuk mendulang suara politik tertentu namun diperlukan langkah yang memberdayakan, memberi informasi terkait bagaimana keberimbangan politik perempuan agar memiliki porsi yang sebelumnya didominasi politik maskulin.

Sehingga, informasi terkait dengan kebijakan politik perempuan terlebih mencapai 30% kuota, maka para pemilih penting untuk teredukasi bagaimana memilih calon yang tepat. Dengan begitu, akan ada informasi yang dapat memberi pengetahuan komprehensif perempuan politik yang hadir meramaikan sistem pemilu, memberikan capacity building. Penting untuk turut mengawal isu terkait pemenuhan kuota pemenang, bukan lagi tentang calon namun 30% lebih afirmasi partai yang menempatkan perempuan di urutan pertama. Selanjutnya, politik perempuan perlu melibatkan perspektif dalam pembangunan subjek aktif yang mana dalam politik elektoral berarti perlunya modalitas, strategi politik, dan jaringan. Dibutuhkan upaya oleh pemilih yang komprehensif bahwa pemilih perempuan yang memiliki kapasitas menjadi harga yang perlu dipertimbangkan karena pengalaman saat ini akan banyak dan mudah disuarakan.

Terakhir, isu penting yang perlu diperhatikan yakni bagaimana peran perempuan dalam menjadi dunia pertama dari generasi bangsa. Dalam mendidik tentu berperan mengaktualisasikan kompetensi tumbuh kembang anak, memberi kasih sayang tulus pada generasi emas. Perlu dipahami bahwa bicara peran perempuan adalah termasuk memperbaiki peran untuk generasi bangsa menjadi Indonesia emas dimasa mendatang.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun