Hari ini, 7 September, bukan sekadar angka di kalender. Ia adalah luka yang terus berdenyut dalam sejarah bangsa, hari ketika cahaya pembela HAM, Munir Said Thalib, dipadamkan dengan racun di udara. Seorang pria yang hidupnya dipersembahkan untuk melawan ketidakadilan, harus meregang nyawa di kursi pesawat Garuda Indonesia GA-974 dalam perjalanan menuju Amsterdam.Â
Autopsi forensik Belanda membuktikan: tubuhnya diracun arsenik---dosis mematikan yang mengakhiri hidupnya di atas awan. Sejak saat itu, tanggal ini menjadi semacam monumen kelam: bukan hanya tentang kematian seorang manusia, tapi juga tentang pertarungan panjang melawan gelapnya konspirasi.Â
Benang Kusut KronologiÂ
* 2004 -- Munir meninggal diracun arsenik di pesawat Garuda.Â
* 2005 -- Pollycarpus, pilot Garuda, ditetapkan tersangka. Namun, proses hukum justru penuh liku: sempat divonis ringan, lalu dihukum lebih berat, tapi tetap hanya dianggap "pelaku lapangan".
 * 2007--2008 -- Nama besar muncul. Mantan Dirut Garuda, Indra Setiawan, dijatuhi hukuman setahun. Lebih serius lagi, mantan Deputi V BIN, Muchdi Purwoprandjono, didakwa sebagai dalang. Tapi pengadilan memutus bebas. Kasus seakan-akan patah di tengah jalan.Â
* 2010 -- Garuda diputus bersalah secara perdata dan harus membayar ganti rugi kepada keluarga Munir.
 * 2022--2025 -- Komnas HAM kembali membuka penyelidikan pro-yustisia. 18 saksi sudah diperiksa, dokumen dikumpulkan. Tapi aktor intelektual pembunuhan Munir? Masih gelap.Â
Seolah-olah kasus ini berjalan seperti drama tanpa akhir, dengan naskah yang sengaja dikaburkan.
Investigasi yang Membuka Luka Tim Pencari Fakta (TPF) sejak awal menemukan benang merah: ada keterlibatan internal Garuda, bahkan ada nomor telepon yang menghubungkan tersangka dengan kantor Deputi BIN. Kesimpulan TPF jelas: pembunuhan Munir bukanlah aksi tunggal, tapi permufakatan jahat yang menyentuh lingkaran kekuasaan. Namun, laporan TPF hingga kini masih seperti hantu: disebut ada, tapi dokumen aslinya "hilang".Â