* Inggris dan Singapura: Di Inggris, kewajiban pengabdian ke masyarakat digantikan dengan fokus pada penelitian terapan dan proyek berbasis solusi riil. Kampus di sana lebih memprioritaskan kualitas riset dan aplikasinya daripada menugaskan mahasiswa ke desa atau komunitas tanpa kriteria jelas. Demikian pula, Singapura menekankan program berbasis industri dan keterampilan praktis yang relevan dengan jurusan mahasiswa. Alih-alih mengirim mahasiswa ke wilayah pedesaan, mereka lebih memilih membekali mahasiswa dengan keahlian untuk langsung diterapkan di sektor teknologi atau bisnis.Â
* Finlandia: Pelajaran di negara Nordik ini menunjukkan bahwa service-learning di perguruan tinggi masih sangat jarang diadopsi secara formal. Di Finlandia, sebagian besar kegiatan berbasis pengalaman lapangan lebih berbentuk problem-based learning atau kerjasama kampus-masyarakat tanpa label khusus. Program percontohan service-learning baru diperkenalkan di Universitas Helsinki sekitar 2017 pada fakultas tertentu. Implementasi pun lahir dari inisiatif dosen secara swadaya, karena belum ada dukungan kebijakan nasional yang resmi untuk service-learning. Dengan kata lain, di Finlandia pengabdian masyarakat tidak diwajibkan dan lebih bersifat top-down dari kebutuhan lokal.
 * Korea Selatan: Konsep service learning masih relatif baru bagi banyak mahasiswa di Korea Selatan. Misalnya, studi di Seoul melaporkan mahasiswa Korea umumnya belum familier dengan istilah ini; pengajaran seperti kursus kewirausahaan baru mulai mencakup elemen service learning. Oleh karena itu, di sana pun belum ada tradisi kuliah lapangan wajib seperti KKN. Sistem pendidikan Korea cenderung menanamkan nilai kerja keras melalui ujian dan kegiatan ekstrakurikuler, dan belum memasukkan pengabdian komunitas ke dalam kurikulum baku. (Meski ada program sukarelawan pemerintah, namun bersifat paralel dan tidak terintegrasi dengan kredit akademik.)Â
Secara umum, dibandingkan model-model di atas, tidak ada negara maju yang mewajibkan mahasiswa melakukan program pengabdian seperti KKN untuk lulus. Kebanyakan mengintegrasikan pelayanan masyarakat secara sukarela dalam mata kuliah terkait atau menggantikannya dengan magang, proyek riset, atau kursus berbasis masalah. Perbandingan ini menegaskan bahwa Indonesia bisa memetik pelajaran penting: KKN wajib yang generik perlu diperbaharui agar sesuai dengan praktik internasional yang lebih fokus pada kompetensi profesional dan kebutuhan masyarakat konkret. Rekomendasi Kebijakan Berdasarkan analisis di atas, program KKN wajib perlu direformasi agar lebih adaptif dan berdampak.Â
Beberapa rekomendasi kebijakan meliputi:
 * Mendesain ulang kurikulum KKN (Kampus Merdeka/Berdampak). KKN harus dipindahkan dari kegiatan seremonial 1--2 minggu menjadi proyek berjangka panjang, terintegrasi dalam skema MBKM/Kurikulum Berdampak. Kurikulum tersebut mestinya mengakui minimal 20 SKS untuk KKN tematik selama satu semester, sehingga mahasiswa fokus di lapangan tanpa bolak-balik kampus. KKN Tematik perlu fokus pada pemecahan masalah (problem-solving) spesifik daerah, dengan pendampingan berkelanjutan. Hal ini sejalan dengan kebijakan Menteri Riset dan Pendidikan yang mendorong proyek pengabdian kolaboratif antarpihak demi manfaat nyata bagi desa mitra.Â
* Memanfaatkan teknologi dan kolaborasi lintas-disiplin. Inovasi digital harus menjadi bagian komponen pokok KKN. Mahasiswa dapat dilatih mengumpulkan data lewat pemetaan sosial daring, memanfaatkan aplikasi, dan melaksanakan pelatihan literasi digital untuk masyarakat. Pakar pendidikan menekankan pentingnya tim KKN yang bersifat interdisipliner --- misalnya kombinasi mahasiswa teknologi informasi, manajemen, dan kesehatan --- agar solusi lebih holistik. Dengan demikian, KKN tidak hanya "turun ke desa" secara fisik, tetapi juga menerapkan metode EdTech dan e-service yang relevan dengan perkembangan global. Model ini mirip dengan proyek kampung IT (Kampoeng IT) yang telah diuji di beberapa universitas as butir service-learning jangka panjang.Â
* Menjamin keamanan dan dukungan sumber daya. Pemerintah dan perguruan tinggi perlu memastikan keselamatan mahasiswa (misalnya standar mitigasi risiko daerah terpencil) setelah kasus tragis sebelumnya. Selain itu, pembiayaan KKN wajib dialokasikan dengan transparan dan memadai. Sejumlah perguruan tinggi telah menguji skema KKN non-reguler atau hybrid (campus dan masyarakat) untuk efisiensi anggaran. Kebijakan Rektor/Tim Pengabdian harus menekankan KKN sebagai kegiatan akademik kredibel (20 SKS), bukan beban keuangan tunggal bagi mahasiswa.
 * Opsi alternatif berbasis kebutuhan. Mengingat kritik bahwa KKN sering tak sesuai bidang, perlu disiapkan opsi pengganti berorientasi pascapendidikan. Sebagai contoh, mahasiswa dapat memperoleh pengganti KKN dengan cara magang profesional yang relevan jurusan, proyek penelitian/riset di masyarakat, atau modul service-learning (mengabdi sambil belajar) yang fokus ke kasus nyata komunitas. Pilihan fleksibel ini sudah lazim di negara maju: KKN wajib diganti dengan pengalaman lapangan yang memang memperkuat kompetensi mahasiswa (misal magang industri) dan manfaat langsung ke masyarakat. Opsi seperti ini mendorong mahasiswa benar-benar "problem solver", sesuai tuntutan kurikulum modern.Â
* Partisipasi dan refleksi komunitas. Reformasi KKN harus melibatkan suara masyarakat penerima manfaat. Sebelum penugasan, desa atau komunitas mitra perlu dilibatkan dalam menyusun tujuan program agar sesuai kebutuhan lokal, bukan diadakan aktivitas tanpa koordinasi. Pendekatan participatory action research atau co-design dalam KKN akan meningkatkan kepemilikan masyarakat dan keberlanjutan program. Evaluasi kinerja KKN juga sebaiknya mencakup survei atau wawancara warga---mengikuti baik umpan balik internal maupun data lapangan---sebagai tolok ukur keberhasilan.Â
* Penguatan kurikulum dan pengakuan formal. Pendidikan tinggi perlu menanamkan nilai pengabdian secara lebih konseptual. Misalnya, memasukkan literasi kewarganegaraan, etika kerja lintas budaya, dan penggunaan teknologi sosial dalam panduan KKN Kebangsaan atau mata kuliah kepribadian. KKN wajib mesti diletakkan dalam dokumen kurikulum formal dan dilihat sebagai bagian integral Tri Dharma; bukan sekadar syarat administratif. Beberapa kampus sudah mengintegrasikan outcome-based education: melampirkan capaian pembelajaran KKN pada indeks prestasi atau lulusan (graduate attributes). Ini bisa diperluas agar KKN benar-benar "meninggalkan jejak nyata" sebagai bagian dari portofolio akademik mahasiswa.Â
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!