Mohon tunggu...
Ferry Irawan suyitno
Ferry Irawan suyitno Mohon Tunggu... rakyat biasaa

penikmat kopi, rokok kretek, buku, senja dan puisi.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

KKN: antara pengabdian dan formalitas akademik

31 Juli 2025   11:25 Diperbarui: 31 Juli 2025   11:23 58
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
foto mahasiswa yang sedang KKN. dan problematikanya. sumber: google AI CHAT GPT. 

Latar Belakang Kuliah Kerja Nyata (KKN) Kuliah Kerja Nyata (KKN) diperkenalkan di Indonesia sejak era Orde Baru sebagai salah satu wujud Tri Dharma Perguruan Tinggi. Program ini diwajibkan oleh banyak universitas sebagai mata kuliah pengabdian kepada masyarakat, bertujuan meningkatkan relevansi pendidikan tinggi terhadap kebutuhan masyarakat. Secara historis KKN memang diharapkan membumikan ilmu: mahasiswa "tinggal bersama masyarakat" dan membantu memecahkan masalah lokal (Suwignyo dkk., 2024).

Pemerintah pun secara resmi memasukkan KKN dalam kebijakan kampus; misalnya panduan KKN Kebangsaan 2024 menegaskan KKN sebagai mata kuliah wajib S1. Dalam kurikulum era "Kampus Merdeka", pemerintah menyarankan KKN Tematik lebih berjangka panjang (4--6 bulan) dan 20 SKS agar fokus problem solving lebih dalam. Namun, walaupun telah berusia puluhan tahun dan resmi diwajibkan, pelaksanaan KKN kerap menuai pertanyaan tentang efektivitas dan relevansi program ini di masyarakat. Kritik dan Tantangan KKN Pelaksanaan KKN saat ini dipandang banyak pihak tidak relevan dengan kondisi zaman modern. 

Beberapa kritik yang sering muncul antara lain:

 * Durasi dan dampak terbatas. Praktisi pendidikan mencatat KKN reguler satu bulan sulit memberi dampak signifikan bagi masyarakat yang kompleks. Mahasiswa, dosen pembimbing, dan perangkat desa hanya "simbiosis kedokteran" singkat tanpa tindak lanjut berkelanjutan. Kekurangan waktu dan dana juga sering dikeluhkan, sehingga agenda KKN cenderung bersifat seremonial dan administratif daripada pemberdayaan nyata. Contoh ekstrimnya, Komisi Pendidikan UGM pada 1995 mencatat "volume kegiatan KKN semakin meningkat dan permasalahannya semakin kompleks", tapi sampai sekarang banyak pendanaan yang menjadi beban mahasiswa.

 * Kesenjangan isi dan kebutuhan. Kritik lain datang dari ketidakcocokan program dengan keahlian mahasiswa. Sebagian mahasiswa teknik, ekonomi, atau ilmu komputer merasa tugas KKN di desa terpencil kurang mengasah keahlian teknis mereka (misalnya seorang mahasiswa teknik mesin yang ditugaskan mengajar bahasa Inggris di desa). Beberapa pihak menilai KKN lebih relevan bagi jurusan sosial atau pendidikan, sedangkan keterampilan profesional di era digital (manajemen proyek, teknologi informasi, magang industri) lebih diutamakan di pasar kerja. Akibatnya pengalaman "umum" KKN dianggap kurang kompetitif dibanding portofolio proyek riset atau sertifikasi profesional. Bahkan dalam survei internal UGM 1999, 41,8% mahasiswa melihat ada penyimpangan dalam pelaksanaan KKN dan 54,5% menilai masyarakat "tidak perlu lagi" program KKN. Ini menandakan bahwa banyak mahasiswa dan masyarakat menganggap KKN belum mencapai tujuannya. 

* Transformasi sosial dan digital. Di era digital dan urbanisasi, cara belajar dan kebutuhan masyarakat berubah cepat. Sebagai contoh, kurikulum dan teknologi saat ini memungkinkan pembelajaran daring, magang virtual, atau kolaborasi internasional yang relevan untuk profesi masa depan. Sementara itu, KKN tradisional masih mengharuskan keterlibatan fisik di satu lokasi desa, yang bisa dianggap kuno. Seorang mahasiswa mengeluhkan di era teknologi sekarang kegiatan KKN "sudah kehilangan relevansinya di masyarakat" karena metode mengajar saat ini pun dapat melalui platform online. Pelaksanaan KKN kebanyakan belum memanfaatkan internet atau proyek STEM; padahal masyarakat kini butuh literasi digital dan inovasi teknologi (seperti pelatihan digital marketing untuk UMKM dalam program KKN) yang banyak ditawarkan oleh perguruan tinggi. Dengan demikian, KKN sering dipersepsikan tidak mengikuti perkembangan zaman, dan lebih menjadi beban administratif ketimbang wadah pengembangan kemampuan baru.

 * Perspektif mahasiswa dan masyarakat. Mahasiswa sering merasa KKN hanya rutinitas memenuhi kurikulum, bukan proses belajar bermakna. Komentar mahasiswa yang viral menyebut KKN "sama dengan mahasiswa kaya sibuk tidur dan merendahkan warga" -- artinya ada kesan KKN lebih banyak retorika tanpa hasil nyata. Sebaliknya, sebagian warga masyarakat kadang tidak merespon atau bahkan menolak program yang tidak cocok dengan kebutuhan mereka. Sebuah studi di desa Temandang misalnya mencatat beragam respons: ada warga yang mendukung, ada yang netral atau menolak, dan partisipasi masyarakat rendah dalam KKN. Hal ini menunjukkan ketidaksesuaian harapan: KKN kadang dirasa tidak menguntungkan masyarakat setempat. Beberapa kasus ekstrem juga muncul, seperti mahasiswa dipulangkan karena etika tak tepat, kasus kekerasan seksual, atau dua mahasiswa meninggal karena minim mitigasi risiko. Aspek keselamatan dan penerimaan masyarakat menjadi pertimbangan kritis yang semestinya ditangani lebih serius. 

* Perspektif institusi pendidikan. Di sisi perguruan tinggi, KKN sering jadi program "wajib seremonial" yang minim inovasi. Banyak dosen lapangan sebenarnya mengakui kekurangan program ini. Misalnya, pengamat Ubaid Matraji menyatakan KKN satu bulan tidak cukup untuk pengabdian bermakna; pendanaan terbatas menambah masalah ini. Perguruan tinggi pun dipaksa mengurus administrasi KKN seragam, tanpa didorong kolaborasi lintas disiplin yang selaras dengan kebutuhan lokal. Bahkan dalam era kurikulum berdampak, Rektor di tingkat nasional terus menyempurnakan kebijakan pengabdian; misalnya Keputusan Menteri 210/M/2023 mendorong PT memfasilitasi pengalaman belajar luar kampus. Tetapi secara praktik, banyak kampus masih kesulitan mengintegrasikan KKN ke dalam 20 SKS MBKM atau menjamin infrastruktur memadai. Kondisi infrastruktur yang timpang di kampus-kampus membuat pelaksanaan KKN Tematik jangka panjang menjadi minimalis dan standar. 

Secara keseluruhan, meski dirancang untuk menghubungkan teori dan praktik, banyak pihak menilai KKN saat ini kurang berdampak dan kurang memadai menjawab kebutuhan pendidikan tinggi serta kebutuhan sosial ekonomi modern. Kritik-kritik ini mendorong diskusi perlunya evaluasi atau reformasi mendasar terhadap program KKN wajib. Studi Perbandingan Internasional Untuk mencari alternatif yang lebih adaptif, kita dapat membandingkan KKN dengan model pengabdian masyarakat atau service learning di negara lain. 

Beberapa poin penting dalam studi perbandingan: 

* Amerika Serikat: Di AS, konsep service learning dan magang profesional lebih umum daripada program wajib semacam KKN. Banyak universitas menyediakan program service-learning di mana mahasiswa bekerjasama dengan komunitas sebagai bagian dari mata kuliah. Program tersebut bersifat opsional dan terintegrasi kurikulum, tidak mewajibkan semua mahasiswa. Selain itu, kampus di AS lebih menekankan magang profesional (internship) untuk pengalaman kerja langsung di bidangnya. Dengan demikian, mahasiswa Amerika lebih banyak belajar melalui proyek atau penelitian yang terikat kebutuhan spesifik industri atau masyarakat, ketimbang program pengabdian seragam secara acak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun