Dari sudut positif, kita tidak bisa membangunkan kultur kepribadian kita dengan sebaik-baiknya kalau tidak ada rasa kebangsaan yang sehat. [bung karno dalam Pancasila sebagai dasar negara, hlm. 65]Â
Demokrasi kita harus kita jalankan adalah demokrasi Indonesia, membawa kepribadian Indonesia. [bung karno dalam Pancasila sebagai dasar negara, hlm. 105]Â
Dengan "bhineka Tunggal ika" dan "Pancasila", kita prinsipil dan dengan perbuatan, berjuang terus melawan kolonialisme dan imperialisme di mana saja. [pidato bung karno pada HUT proklamasi, 1954]
 Setiap tanggal 1 Juni, bangsa Indonesia rutin memperingati Hari Lahir Pancasila. Sejak ditetapkan sebagai hari libur nasional melalui Keputusan Presiden Nomor 24 Tahun 2016, peringatan ini senantiasa diisi dengan upacara, pidato kebangsaan, seminar, hingga slogan-slogan nasionalisme di media sosial.Â
Namun, seiring berjalannya waktu, muncul pertanyaan kritis di tengah masyarakat:Â masih layakkah Hari Lahir Pancasila dirayakan? Ataukah sekadar menjadi hegemoni simbolik di awal bulan Juni saja?
 Sebelum kita jawab pertanyaan itu, mari kita bahas dulu Sejarah lahirnya Pancasila hingga menjadi ideologi negara kesatuan republik Indonesia.
Rumusan Pancasila sebagai dasar negara untuk pertama kali dicetuskan dalam sidang badan penyelidikan usaha-usaha persiapan kemerdekaan (BPUPK, dokuritsu jumbi cosakai). Sidang BPUPK diadakan dua tahap. Tahap pertama berlangsung lima hari, dari 28 mei 1945 sampai 1 juni 1945, sedangkan tahap kedua dimulai 10 juni sampai 11 juni. Sidang pleno hari pertama mendengarkan amanat saiko sikikan, nasihat gunseikan dan pidato ketua radjiman wediodiningrat. Pada sidang pertama mulai dibahas dan dirumuskan undang-undang dasar, yang dimulai dengan persoalan dasar bagi negara Indonesia Merdeka.Â
Dalam kata pembukanya, ketua radjiman wediodiningrat meminta pandangan para anggota mengenai dasar negara Indonesia. Mereka yang membahas tentang dasar negara adalah Muhammad yamin, soepomo dan Sukarno. Dalam siding BPUPK yang pertama Sukarno mendapat giliran berbicara dua kali, yaitu pada 31 mei dan 1 juni 1945.Â
Namun, seperti dikatakan radjiman, setelah dua hari bersidang berlangsung tidak seorang pun menyampaikan pidato tentang dasar negara. Menanggapi hal itu, Sukarno kemudian menyampaikan pidato pada 1 juni sekitar pukul 11:00. Pada waktu bung karno menyampaikan pidato pentingnya itu, Gedung cuo sangi in dijaga ketat tentara jepang karena sidang itu dinyatakan tertutup, walaupun para wartawan dan beberapa orang diberi izin masuk. Bung karno mengenakan setelan jas putih rapi dan peci, berpidato dengan semangat sangat tinggi.Â
Berikut petikan pidato Sukarno: Saudara-saudara "dasar-dasar negara" telah saya usulkan. Lima bilanganya. Inikah panca dharma? Bukan? Nama panca dharma tidak tepat di sini. Dharma berarti kewajiban, sedang kita membicarakan dasar. Saya senang kepada simbolik. Simbolik angka pula. Rukun islam lima jumlahnya. Jari kita lima setangan. Kita mempunyai panca Indera. Apalagi yang lima bilanganya? [seorang yang hadir: pendawa lima]. Pendawa pun lima orangnya. Sekarang banyaknya prinsip: kebangsaan, internasionalisme, mufakat, kesejahteraan, dan ketuhanan, lima pula bilanganya. Namanya bukan panca dharma, tetapi-saya namakan ini dengan petunjuk seorang teman kita ahli Bahasa-namanya panca sila. Sila artinya asas atau dasar, dan diatas kelimanya dasar itulah kita mendirikan negara Indonesia, kekal dan abadi. Atau, barangkali ada saudara-saudara yang tidak suka akan bilangan lima itu? Saya boleh peras, sehingga tiga saja. Saudara-saudara tanya kepada saya, apakah "perasan" yang tiga itu? Berpuluh-puluh tahun sudah saya pikirkan dia, ialah dasar-dasarnya Indonesia Merdeka, wetanschauung kita....Â
Pidato Sukarno tersebut mendapat sambutan dan tepukan para peserta, suatu sambutan yang tidak pernah terjadi pada pembicara lainya selama persidangan BPUPK. Para stenograf mencatat secara cermat pidato bung karno yang dibawakan tanpa teks. Dalam pidato nya itu, bung karno mencetuskan rumusan dasar negara Pancasila sesuai dengan permintaan ketua BPUPK. Dalam pidato peringatan hari lahirnya Pancasila 1 juni 1964, bung karno menyatakan bahwa ia telah memikirkan Pancasila sejak 1918, saat berumur 17 tahun. Diceritakan pula bahwa pada malam menjelang 1 juni 1945, Sukarno keluar sendiri dari rumahnya di pegangsaan timur 56 jakarta, dan mulai merenung, berdoa, meminta petunjuk kepada tuhan dibawah langit yang cerah dan Bintang gemerlapan di sela-sela pohon di kebon. Pada saat itulah ia merasakan mendapat ilham dari tuhan berupa Pancasila yang dipidatokan pada esok paginya. Kepada cindy adams, penulis autobiografinya, bung karno menceritakan pula bahwa Ketika ia berada di Ende, flores, antara 1934---37, ia sering merenungkan dasar negara Indonesia Merdeka di bawah pohon sukun.Â