Mohon tunggu...
Abahna Si Leungli
Abahna Si Leungli Mohon Tunggu... profesional -

Mizuki Nana fans, Nyunda, Jurnalis nanggung -lebih senang ngedit daripada ke lapangan. Tengah merampungkan buku Filsafat tentang Iblis.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Antara Tangis Buaya dan Peran Boediono

26 November 2009   13:01 Diperbarui: 26 Juni 2015   19:11 417
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Tangis itu ada dua macam, yang pilu melihat orang kekurangan, dan yang pedih karena dirinya tidak kebagian apa-apa Oleh karenanya saya tidak pernah ambil pusing sama air mata buaya. Dalam dongeng 'sang buaya dan sang sapi' sang buaya terjebak kakinya di celah batu, sang sapi hendak menolong tapi takut dimakan. Sang buaya akhirnya menangis pilu minta dikasihani, meminta simpati. Well... pada akhirnya otak sapi yang lugu terenyuh menyelamatkan buaya, menggendongnya ke puskesmas setempat, dan di tengah jalan tengkuk sapi itu digigit si buaya, karena montok lezat 'haas dalam' pula jenis dagingnya... modarlah sapi lugu itu karena percaya air mata buaya. Kawan baik, moral cerita itu walaupun yang keluar air mata, periksalah gigi taring si empunya air mata. Sama halnya kita tidak pernah mengasihani Firaun walau tenggelam di laut, karena doi pegang senjata. Yap senjata. Benda yang dimaksudkan untuk menjaga keamanan orang banyak, kadang dipakai untuk menghabisi para kapiran tak bersenjata, sehingga hormat orang pada yang punya senjata berubah menjadi rasa takut, dari rasa takut disemailah rasa benci. Karena benci, mati, bermasalah, pantatnya korengan, orang yang dibenci tak akan pernah di bela dan dikasihani. Di media-media massa belakangan ini, kita diminta menyaksi pelbagai macam sumpah dan tangisan. Semua orang menangis dari kasus ditangkapnya seorang nenek karena mencuri tiga buah kokoa, sampai tangisan Jenderal polisi di gedung dewan terhormat. Semua menangis, bagai dalam festival tangis. Adapun, sebagaimana yang saya pelajari dalam Psychoanalyst Tangis itu ada dua macam, yang pilu melihat orang kekurangan, sehingga 'tergerak (moved)' diri kita mengurangi apa yang kita punya dan membagikannya pada yang kekurangan. Dan yang kedua yang pedih karena tidak kebagian, sehingga 'terdorong (driven)' untuk mengambil bagian orang lain. Dan media telah berbaik hati kepada kita membuka celah penilaian, mana yang dikategorikan tangis pertama dan kedua. Yang sulit dipastikan apabila tangis-menangis itu berada dalam format teatrikal tingkat tinggi. Bak sang buaya memperdaya sapi. Kita tengah menyaksikan lakon besar penarikan simpati. Adu akting antar para aktor dalam panggung besar. Matinee.. minggu-minggu ini diputar lakon CENTURYGATE. (tepuk tangan bergemuruh). Saya jamin diri saya tepuk tangan paling keras, bila pertarungan yang tampil dipanggung politik Indonesia itu benar-benar ditampilkan meyakinkan oleh aktor politik pelakunya. Lakon jagoan, bermain nyentrik, lakon jahat bermain suci, seperti pelem hollywood jalan cerita dibikin twist tidak mudah di tebak. Ini tentu ketip jempol 'two thumbs up' bagi sutadara yang mampu melahirkan skenario agung macam ini. Rasa deg-degan, geli ketawa terpingkal, gemas bukan kepalang sampai jari sendiri digigiti, bilur emosi menyeruak dari kursi penonton, what a show!!. Bagi saya yang menonton tanpa melibatkan emosi, pengalaman menyaksikan 'centurygate' adalah kesempatan langka mempelajari sesuatu yang baru dari dunia demokrasi yang tengah dijalani. Siapapun pihak yang menang dan kalah pada akhirnya. mengutip Chairil Anwar, Semuanya layak dicatat, semua dapat tempat. Layaknya pagelaran yang lain. Sekiranya ketika tirai panggung ditutup, tepuk tangan membahana. Kini giliran penonton yang mengkaryakan dirinya dalam komentar-komentar singkat padat, entah memuji, menghina, mencibir, atau datar-datar saja. Tapi tirai belum di tutup, lakon tengah bermain, maka sebagai penonton saya tak kuasa pingin mencolek orang di sebelah kursi saya dan nyeletuk tentang beberapa penampilan yang jauh dari memuaskan. Nama yang saya tunjuk adalah aktor besar pemeran utama Centurygate bernama Boediono. Entah ini teh salah skripnya atau apa? Penampilan Mas Boed dibumbui dengan line-line vokal yang cenderung membosankan. Seolah sedang latihan akting, ungkapan dari bibirnya tak ada nilai cerita sama sekali. "Ada juga kecurigaan ada hubungan partai politik tertentu untuk dana kampanyenya. Ini memang hal-hal yang harus dijelaskan. Saya yakin pasti akan dijelaskan ke mana uangnya pergi." Ucap sang aktor. "Ini tidak sehat jika tidak dijelaskan." Tambahnya. Batin saya menyusut bak liliput, hah?  Dalam kapasitasnya sebagai pemeran utama, dalam kaitanya dengan adegan terancamnya dia di tengah kepungan aktor-aktor lain yang menghunus pedang minta dia turun tahta karena dituduh terlibat pat gulipat, -sang perdana menteri malah mengomentari dirinya bagai mengomentari seorang nenek yang encokan. "Saya yakin pasti akan dijelaskan ke mana uangnya pergi."Ya dijelaskan dooong!!!!? Bukankah bapak ada ditengah-tengahnyaaa!!? "Ini tidak sehat jika tidak dijelaskan." Ih cape deh... saya tertuduk setunduk-tunduknya. Syukurlah teater sedang break Idul Adha. Umat muslim sedunia tengah merayakan hari berbagi, tangis pilu kepada saudara sesama manusianya yang kekurangan. Semangat berkorban untuk orang lain, sedang berjalan di luar panggung teater. Di dalam panggung teater kelak. Saya pula penonton lainnya mengharapkan lakon yang baik. Penampilan yang cemerlang. Tentu saja, protagonisnya harus menang. Tidak seru kalau jagoannya kalah. Hepi endingnya sedih. Tuhkan sedih lagi...***

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun