Mohon tunggu...
Feronika Ely Suryaningsih
Feronika Ely Suryaningsih Mohon Tunggu... Mahasiswa S1 Manajemen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Airlangga

Saya adalah pribadi yang aktif, reflektif, dan senang mempelajari hal-hal baru. Hobi saya menulis, membaca artikel opini, serta membuat konten kreatif bertema sosial dan ekonomi. Saya memiliki minat yang besar pada bidang ekonomi, terutama yang berkaitan dengan perilaku masyarakat, tren ekonomi generasi muda, dan isu-isu modern seperti hustle culture, gaya hidup produktif serta kesejahteraan finansial.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Hustle Culture: Ambisius atau Tekanan Sosial?

13 Oktober 2025   10:30 Diperbarui: 13 Oktober 2025   10:34 27
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Di era sekarang, banyak orang yang berlomba-lomba untuk selalu mengejar impian mereka dengan sangat ambisius hingga tidak dapat menyeimbangkan waktu yang mereka miliki.

Apakah kalian pernah mendengar istilah Hustle Culture ? 

Hustle Culture adalah budaya yang mengglamorisasi bekerja terlalu keras. Hal ini dapat terlihat dari orang yang bekerja lembur, orang yang memiliki jadwal yang padat, serta orang yang stres karena pekerjaan menjadi sesuatu yang keren. Seseorang akan merasa bersalah jika berhenti untuk bekerja.

Lalu, apa yang menjadi penyebab dari Hustle Culture?

Hal ini terjadi karena beberapa faktor. Pertama, mereka mungkin memiliki kepribadian perfeksionis. Perfeksionis adalah kepribadian yang menuntut seseorang untuk bisa selalu menjadi sempurna dalam segala hal. Untuk hasil yang sempurna, kebanyakan mereka terdorong untuk bekerja terus-menerus dan tanpa mereka sadari telah terjebak dalam hustle culture.

Kedua, mereka mungkin berada di lingkungan yang melazimkan hustle culture. Lingkungan kerja yang terlalu produktif menekankan orang orang yang bekerja disana untuk selalu bekerja dalam tekanan. Oleh sebab itu, para pekerja akan bekerja secara terus menerus karena tuntutan pekerjaan mereka dan mereka terjebak dalam hustle culture.

Lalu, bagaimana cara menyikapi Hustle Culture ini?

Pertama, kita bisa mengenali batas kemampuan diri. Hustle culture membuat orang merasa harus sibuk. Padahal, tubub dan pikiran kita juga butuh istirahat. Kita harus bisa membagi jam kerja dan jam istirahat dengan baik agar tidak kelelahan dan kita bisa produktif dengan optimal.

Kedua, kita bisa mengubah mindset tentang kesuksesan. Kesuksesan bukan hanya tentang kerja tanpa henti atau finansial yang baik, tetapi juga tentang kebahagiaan, kesehatan dan hubungan sosial yang baik.

Ketiga, kita bisa belajar megatakan  "tidak". Tidak semua kesempatan harus diambi. Kita bisa memilih sesuai dengan prioritas dan kapasitas kita.

Pada akhirnya, bekerja keras memang penting, tetapi menjaga keseimbangan antara produktivitas dan kesehatan mental jauh lebih bermakna agar kesuksesan tidak harus dibayar dengan kelelahan yang berkepanjangan.

(Tulisan ini dibuat oleh Feronika Ely Suryaningsih, mahasiswa asal Universitas Airlangga)

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun