Mohon tunggu...
Muhammad dylan
Muhammad dylan Mohon Tunggu... Musisi - pelajar

Halo, nama saya muhammad dylan ibadillah arrasyidi berasal dari kota tangerang banten saya mahasiswa untirta fakultas fisip jurusan Ilmu komunikasi

Selanjutnya

Tutup

Politik

Memahami Aktor Politik Lokal di Banten Pasca-Orde Baru

28 November 2020   08:04 Diperbarui: 28 November 2020   08:08 72
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Semenjak Banten jadi Provinsi, bahkan dalam pembentukan Provinsi Banten,
Chasan Sochib sebagai tokoh jawara tampil dominan. Padahal ia awalnya tidak setuju
terhadap gagasan Banten menjadi Provinsi. Gagasan pembentukan Provinsi Banten
awalnya berasal dari para kiai ketika pada awal tahun 1999, Pada hari Jum'at 5 Februari
1998 Presiden Habibie berkunjung ke Banten di Pondok Pesantren Darul Iman
Pandeglang yang dipimpin K.H. Aminuddin Ibrahim. Sesuai dengan skenario yang
dirancang para Kiai, pertemuan juga diikuti Gubernur Jawa Barat dan para Menteri yaitu
Mensesneg Akbar Tandjung, Menhankam/Pangab Jenderal TNI Wiranto, Menteri Agama
Malik Fajar, Menteri Koperasi/Pengusaha Kecil dan Mengengah Adi Sasono. Dalam
pertemuan itu, K.H. Aminudin Ibrahim mengusulkan agar wilayah eks Keresidenan
Banten ditingkatkan menjadi Provinsi Banten. Dalam kesempatan itu, Presiden BJ.
Habibie tidak menolak usulan itu, hanya menyatakan bahwa usulan itu harus melalui
mekanisme konstitusional. (Mansur, 2001:127).
Namun pada proses selanjutnya bola sepertinya dikuasai oleh kelompok jawara dan
para pengusaha. Peran Kiai dalam proses terbentuknya Provinsi Banten nampak tidak
terlalu menonjol, terdominasi oleh kelompok jawara yang seringkali mengerahkan massa
berpakaian hitam-hitam membawa golok di berbagai event. Dominasi kelompok jawara
terlihat dalam berbagai peristiwa, seperti proses pengisian anggota DPRD Banten dan
proses pemilihan Gubernur Banten tahun 2001 yang mampu menempatkan anak Chasan
Sochib, Atut Chosiyah menjadi Wakil Gubernur. Ada beberapa strategi yang dilakukan
oleh Jawara untuk memenangkan pemilihan Gubernur Banten 2001.
Pertama, mereka memenangkan pertarungan di internal Golkar mengenai posisi apa
yang akan diambil dan siapa yang akan dimajukan. Jawara berhasil memajukan Ratu Atut
Chosiyah sebagai calon Wakil Gubernur dan menyingkirkan Aly Yahya yang telah
mengambil formulir sebagai calon Gubernur dari Partai Golkar. Kedua, Jawara berhasil
mengacaukan koalisi PPP dengan PDIP. Caranya, Golkar menggandeng PPP sebagai
mitra koalisi utama, dengan pendekatan langsung Chasan Sochib -- tokoh Jawara, tokoh
Partai Golkar Banten, Ayah Atut Chosiyah -- ke Djoko Munandar, Ketua DPD PPP
Banten. Dengan mesin politik utama Golkar dan Jawara, para kader yang bergabung di tim sukses berbagai fraksi memberikan suara ke pasangan Djoko-Atut. Ketiga, Jawara
melakukan intimidasi dengan mengerahkan kekuatan massa atas nama tenaga
pengamanan. Bahkan di dalam ruang sidang Jawara hadir. Ini memberikan tekanan
psikologis kepada anggota Dewan. Selain itu aktivitas ancam mengancam juga berjalan
walauipun dihembuskan melalui desas-desus selama proses pemilihan.
Keempat, Jawara melakukan politik uang. Kuat indikasi mereka membeli suara
anggota Dewan dengan harga ratusan juta rupiah. Dengan ini posisi mereka semakin kuat.
Kelima, penguasaan opini. Jawara melakukan kontrol terhadap opini yang berkembang
terutama di media massa lokal. Jawara dengan kepentingannya agar Pemilihan Gubernur
dan Wakil Gubernur Banten dilanjutkan, berhasil mengendalikan opini. Jawara memiliki
dua strategi. Pertama, membeli kalangan media yang mendukung kepentingan Jawara.
Kedua, menekan kalangan media yang dianggap tidak kooperatif dengan kekerasan.
Dengan berbagai strategi inilah kemudian Jawara berhasil menempatkan Djoko
Munandar dan Ratu Atut Chosiyah sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Banten untuk
Periode 2001-2006.
Memiliki peran besar dalam naiknya pasangan Djoko-Atut di bursa pemilihan
Gubernur banten diakui oleh Chasan Sochib menjawab pertanyaan seorang wartawan
apakah Gubernur berada dibawah bayang-bayang Jawara? "Tidak seperti itu. Abah
cuman kasih pandangan-pandangan. Kalau dia berbuat keliru dalam mengemban amanah
kepemimpinan di Banten, Abah akan luruskan. Sebab Abah yang paling
bertanggungjawab dengan Djoko. Sebab dia naikkan atas dukungan Abah. Oleh karena
itu Abah malu kalau Djoko keliru dalam memimpin. Kalau keliru memimpin lebih baik
tanggalkan saja jabatannya itu. Djoko itu kan tidak ada apa-apanya." (Saya memang
Gubernur Jendral, dalam Tabloid Mimbar Daerah, Edisi 17-23 November 2003) Jelas
dalam pernyataan diatas Chasan Sochib menegaskan posisinya di Banten dan perannya
dalam menaikkan Djoko sebagai Gubernur.
Sebagai tokoh yang dianggap paling berpengaruh di Banten, Chasan Sochib sering
dianggap sebagai Gubernur Jenderal, julukan yang tak pernah dibantah oleh dirinya.
Dominasi jawara ini bersitemali dengan berbagai aksi kekerasan yang terjadi di Banten
dengan wartawan sebagai pihak yang paling sering jadi korban. Sebuah kejadian
menimpa redaktur pelaksana harian Banten (Sekarang Radar Banten). Demonstrasi massa
berpakaian Jawara di depan Gedung DPRD mendukung dilanjutkannya pemilihan Gubernur berjumlah 80 orang diliput dan diberitakan oleh Harian Banten apa adanya.
Malamnya sepasukan Jawara mendatangi Kantor Radar Banten dan mengalungkan Golok
ke leher Redaktur Pelaksana. Mereka ingin massa yang ditulis berjumlah ribuan, bukan
hanya delapan puluh (wawancara dengan Abdul Malik, 10 Juni 2004). Wajar jika
kemudian pers lokal tak berani bersuara kritis terhadap aktivitas negatif Jawara. Kasus
kekerasan lainnya menimpa mahasiswa yang sedang berdemonstrasi dalam rangka
pelantikan anggota DPRD Banten.
Waktu itu 750 Jawara membentuk pagar mengelilingi Gedung DPRD Banten atas
nama pengamanan. Suasana sudah mencekam dari sejak pagi. Jumlah polisi hanya dalam
hitungan puluhan. Kekerasan terjadi ketika mahasiswa yang berjumlah sekitar seratus
orang hendak masuk ke gerbang menemui anggota DPRD yang selesai dilantik dengan
tujuan menyampaikan aspirasi. Mendekati gerbang mahasiswa dihalau oleh Jawara yang
bahkan beberapa orang diantaranya sempat menghunuskan golok. Mahasiswa kocar-kacir
menyelamatkan diri ke kampus STAIN yang terletak persis di seberang Gedung DPRD.
Sebagian mahasiswa membalas dengan melakukan pelemparan batu ke arah kerumunan
Jawara. Beberapa mahasiswa terluka dalam kejadian itu ("Pelantikan Anggota DPRD
Diwarnai Bentrokan" dalam Harian banten, 7 Juli 2001).
Menariknya, kasus-kasus kekerasan yang melibatkan kalangan Jawara tak pernah
tersentuh hukum. Semua kasus dianggap selesai begitu saja. Hal ini dikarenakan keeratan
hubungan antara tokoh-tokoh Jawara dengan petinggi aparat keamanan. Sebagai
kelompok strategis Jawara sukses membangun koalisi. Bahkan dominasi jawara mampu
membuatnya menguasai organisasi para kiai seperti terjadi pada Satkar Ulama. Chasan
Sochib memenangkan pemilihan Ketua dalam Kongres Pimpinan Pusat Satkar Ulama
dengan pada tahun 2000, 67 suara berhadapan dengan calon lain. Chasan yang bukan Kiai
mengalahkan Kiai Salman Al Faris melalui pertarungan dua putaran. Kiai Salman
menduga bahwa terdapat penyusup yang kemudian menjadi pemilih di arena Kongres
yang berasal dari kalangan jawara, anak buah Chasan Sochib (Wawancara dengan kiai
Salman Al Faris, Wakil Ketua Satkar Ulama Indonesia, tanggal 12 Agustus 2008). Situasi
ini menunjukkan kondisi baru bahwa organisasi para ulama tidak dipimpin oleh seorang
kiai, tapi seorang jawara.

"Penulis merupakan mahasiswa Program Studi Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial
dan Ilmu Politik - Universitas Sultan Ageng Tirtayasa

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun