Mohon tunggu...
Feriana Sari
Feriana Sari Mohon Tunggu... Mahasiswa

saya memiliki hobi menggambar dengan tipe orang yang introvert, dan saya menyukai topik yang berkaitan dengan politik

Selanjutnya

Tutup

Halo Lokal

Kopi Lereng Gunungpati: Aroma Alam dan Kehidupan Masyarakat

15 Juni 2025   09:25 Diperbarui: 15 Juni 2025   07:43 77
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Racikan kopi Gunungpati di cafe Domili Gunungpati, Semarang. Diambil pada Selasa, 10 Juni 2025.

Oleh: Feriana / Semarang – 14 Juni 2025

Gunungpati, Semarang — Kabut pagi perlahan-lahan mengangkat dari lereng pegunungan Gunungpati. Udara masih menyimpan dingin semalam, sementara sinar matahari menembus celah-celah daun kopi yang mengilap oleh embun. Di balik keteduhan pepohonan kopi itulah, warga Dusun Jatirejo, Gunungpati, memulai harapan baru—harapan yang ditanam bersama biji kopi lima tahun silam.

Bermula dari keprihatinan terhadap hasil tani yang tak kunjung stabil, Pak Mulyono dan beberapa warga setempat mencoba peruntungan baru. Pada tahun 2018, mereka membentuk Kelompok Tani “Sido Maju” dengan tujuan mulia: menjadikan Gunungpati tak hanya sebagai sentra pertanian, tetapi juga produsen kopi unggulan.

“Kami dulu hanya menanam singkong dan jagung. Tapi harga jualnya tidak bisa diandalkan. Akhirnya kami mencari tanaman yang cocok untuk dataran tinggi dan punya nilai jual lebih baik. Ternyata kopi adalah jawabannya,” ujar Mulyono, yang kini menjadi tokoh inspiratif di desa tersebut.

Potensi Alam yang Terpendam, Gunungpati berada di ketinggian sekitar 600 meter di atas permukaan laut, dengan suhu rata-rata harian berkisar 22–25°C dan curah hujan tahunan yang tinggi. Kondisi ini sangat ideal untuk tanaman kopi, khususnya jenis robusta. Setelah melalui pelatihan dari Dinas Pertanian dan kerja sama dengan universitas lokal, warga mulai memahami teknik menanam, memangkas, hingga proses pascapanen yang benar.

Lahan seluas 15 hektare kini ditanami pohon kopi. Proses panen biasanya dilakukan secara manual pada bulan Juni hingga Juli, ketika buah kopi sudah matang sempurna berwarna merah marun. Buah kopi kemudian dijemur di bawah sinar matahari selama 5–7 hari sebelum diproses lebih lanjut.

Perubahan Ekonomi dan Gaya Hidup, Hasilnya cukup menggembirakan. Dalam setahun, kelompok tani bisa menghasilkan hampir satu ton kopi kering siap olah. Harga kopi robusta yang sudah melalui proses pascapanen bisa mencapai Rp 35.000–40.000 per kilogram, jauh lebih tinggi dibandingkan hasil pertanian palawija sebelumnya.

“Sekarang penghasilan kami lebih stabil. Anak-anak muda juga mulai ikut belajar menanam kopi. Dulu mereka ingin kerja di kota, sekarang banyak yang pulang kampung,” ujar Ibu Sari, petani kopi sekaligus pengelola warung kopi kecil di tepi kebun.

Bukan hanya ekonomi yang bergerak. Gaya hidup pun berubah. Warga mulai mengadopsi konsep agrowisata. Beberapa pengunjung dari Semarang dan kota sekitarnya datang untuk menikmati kopi langsung dari kebun, ikut tur panen, hingga belajar menyangrai biji kopi dengan cara tradisional.

Bagaimana Dukungan Pemerintah dan Harapan Masa Depan, Pemerintah Kota Semarang melihat potensi ini sebagai bagian dari strategi pengembangan ekonomi wilayah. Program pelatihan, bantuan bibit, serta promosi wisata mulai digencarkan. Bahkan, Gunungpati kini menjadi salah satu kandidat untuk desa wisata tematik kopi di Jawa Tengah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Halo Lokal Selengkapnya
Lihat Halo Lokal Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun