Mohon tunggu...
Ferdinal Asmin
Ferdinal Asmin Mohon Tunggu... Sekretaris - PNS bertempat tinggal di Padang

Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Barat

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Produk Domestik Bruto (Critical Thinking dalam Penggunaannya sebagai Ukuran Kesejahteraan)

23 Oktober 2014   02:58 Diperbarui: 17 Juni 2015   20:03 2483
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Penggunaan PDB

Pada tahun 2013, Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia mencapai 2,210.1 trilyun rupiah, dengan kontribusi utama dari manufaktur (23.77%), pertanian (14.99%), perdagangan (13.39%), pertambangan (10.42%), konstruksi (10.33%), dan jasa (10.84%) (BPS 2013:141).  Untuk kurun waktu 2009-2013, PDB Indonesia dilaporkan selalu meningkat dan angka kemiskinan dan pengangguran juga dapat ditekan.  Di sisi lain, kesenjangan pendapatan (biasa disebut gini ratio) juga meningkat dan perbedaan tingkat kemiskinan antara kota dan desa juga relatif tidak berubah.  Pertanyaan bagi kita adalah kenapa hal tersebut bisa terjadi.

PDB merupakan nilai pasar dari barang dan jasa yang dihasilkan dalam suatu wilayah pada jangka waktu tertentu (Leamer 2009:19).  PDB dapat dihitung menggunakan tiga pendekatan, yaitu pendapatan, produksi, dan pengeluaran (ONS 2010:6).  Ukuran PDB telah menjadi standar bagi penilaian kemajuan suatu wilayah atau negara.  Meskipun PDB merupakan ukuran agregat aktivitas ekonomi dalam suatu wilayah, menurut ONS (2010:7), PDB tidak dapat dihitung pada tingkat individu sehingga PDB menjadi ukuran yang kurang layak untuk mengukur aktivitas ekonomi pada skala regional atau level industri, termasuk intervensi investasi.

Santosa (2010) menjelaskan bahwa perhitungan PDB berdasarkan 3 pendekatan seperti dijelaskan (ONS 2010:6) yang mengindikasikan sektor potensial, faktor produksi yang berpengaruh, dan stakeholder yang terkait.  PDB hanya fokus pada hasil (outcomes) dari sektor, faktor, dan stakeholder, bukan pada prosesnya seperti diungkapkan Leamer (2009:19).  Gutierrez et al. (2007:2-4) telah menjelaskan bahwa PDB adalah: (1) meliputi produksi pasar dan beberapa produksi non-pasar, (2) dinilai berdasarkan harga pasar (jika memungkinkan), (3) ukuran produksi saat ini, bukan penjualan, (4) hanya menilai produk akhir barang dan jasa, dan (5) suatu ukuran “bruto”.

PDB dan Kesejahteraan

Seandainya kita berada dalam suatu kota dengan tingkat kriminalitas yang sangat tinggi, maka kita akan mendorong agar pihak kepolisian diberikan anggaran yang lebih besar untuk menekan angka kriminalitas tersebut.  Karena konsumsi pemerintah (termasuk kepolisian) merupakan salah satu penyumbang angka PDB, maka kota kita merupakan kota dengan PDB yang lebih tinggi dibandingkan dengan kota-kota lain yang tingkat kriminalitasnya rendah.  Pertanyaan berikutnya adalah apakah benar logika kita menyatakan bahwa semakin tinggi kriminalitas maka PDB semakin tinggi pula atau sebaliknya.

Kelemahan-kelemahan PDB terkait dengan kapabilitasnya dalam melingkupi fenomena sosial sudah menjadi perhatian beberapa ahli.  Anheier dan Stares (2002), Fleurbaey (2009), dan Michaelson et al. (2009) dalam de Leon dan Boris (2010:3) menyatakan bahwa PDB melupakan variasi kekayaan, aliran pendapatan internasional, produksi jasa rumah tangga, kerusakan lingkungan, dan banyak faktor penentu kesejahteraan seperti kualitas hubungan sosial, keamanan ekonomi, keamanan pribadi, kesehatan, dan harapan hidup.  Santosa (2010) menilai sangat mungkin terjadi PDB yang tinggi namun ekonomi masyarakat malah merosot.  Hal ini diperkuat oleh Eurodiaconia (2011) yang mengingatkan bahwa memperlakukan kesejahteraan dan PDB secara setara dapat menyebabkan kekeliruan dalam menetapkan indikator masyarakat mampu.

Pada sejumlah negara Organization for Economic Cooperation and Development (OECD), pertumbuhan pendapatan rumah tangga tidak berkaitan dengan pertumbuhan PDB perkapita, bahkan biasanya dengan laju yang lebih rendah (Inter-agency Working Group on the Private Investment and Job Creation Pillar 2011:13).  PDB tidak dapat menggambarkan kesejahteraan masyarakat ketika, menurut Santosa (2010), masyarakat cenderung hanya menguasai faktor tenaga kerja, memiliki akses terbatas terhadap faktor tanah, dan penguasaan modal yang rendah.  Kondisi akan lebih parah apabila suatu negara gagal menggunakan kekuatan politiknya untuk mengarahkan prioritas pembangunannya dan memperkuat kapasitas sosial ekonomi masyarakatnya dalam menghadapi globalisasi dan liberalisasi.

Contoh Kasus Pengangguran

Laporan menarik disampaikan oleh Inter-agency Working Group on the Private Investment and Job Creation Pillar (2011:35).  Ada tiga fakta penting yang disampaikan, yaitu: (1) negara-negara dengan laju pertumbuhan PDB paling tinggi rata-rata 10 % memiliki laju pertumbuhan kesempatan kerja rata-rata 1 persen, (2) negara-negara dengan laju pertumbuhan PDB menengah atau rata-rata 6 % memiliki laju pertumbuhan kesempatan kerja rata-rata 1.5 persen, dan (3) negara-negara dengan laju pertumbuhan PDB terendah atau rata-rata 3 % memiliki laju pertumbuhan kesempatan kerja rata-rata tertinggi yaitu 2.5 persen.

Memperhatikan fakta di atas, Amerika Serikat dengan laju pertumbuhan PDB sekitar 2-3 % memiliki kemampuan menyediakan lapangan kerja lebih banyak dibandingkan dengan Indonesia dengan laju pertumbuhan sekitar 5-6 persen.  Pertanyaan penting kita untuk hal ini adalah kenapa bisa terjadi seperti itu.

Data-data profil ekonomi pada www.indexmundi.com memberikan penjelasan kepada kita semua.  Profil ekonomi Amerika Serikat adalah: (1) hampir 99 % PDB disumbangkan oleh sektor industri dan jasa, (2) hampir 71 % PDB disumbangkan oleh konsumsi rumah tangga, dan (3) lebih kurang 99 % penduduk Amerika Serikat bekerja pada sektor industri dan jasa.  Artinya, pertumbuhan PDB diyakini akan berdampak besar pada perluasan kesempatan kerja dan berpotensi meningkatkan pendapatan pekerja itu sendiri.

Sementara itu, profil ekonomi Indonesia adalah: (1) hampir 86 % PDB disumbangkan oleh sektor industri dan jasa, sedangkan sektor pertanian hanya 14 persen, (2) hanya 55 % PDB berasal dari konsumsi rumah tangga, bahkan konsumsi pemerintah dan investasi sudah mencapai 45 persen, dan (3) ternyata 40 % penduduk Indonesia bekerja di sektor pertanian, bahkan mengalahkan jumlah pekerja di sektor industri.  Laju pertumbuhan PDB Indonesia saat ini ternyata lebih besar disumbangkan oleh sektor industri dan jasa, bahkan komposisi konsumsi pemerintah dan investasi cenderung semakin besar.  Oleh karena itu, pertumbuhan tersebut hanya akan berpengaruh sedikit bagi penyediaan angkatan kerja dan peningkatan pendapatan masyarakat (terutama di sektor pertanian).

Apa yang Harus Dilakukan?

Analisis suatu masyarakat yang baik dengan hanya mempertimbangkan faktor pasar akan cenderung melupakan elemen-elemen penting yang mempengaruhi kualitas hidup seperti cinta, pengembangan diri, dan pemaknaan dalam hidup (Diener dan Suh 1997:191).  PDB dianggap gagal untuk mengukur kesejahteraan suatu masyarakat.  Mengingat hal tersebut, Stiglitz et al. (2009:39-40) menyebutkan bahwa saat ini cara berpikir baru telah dikembangkan dan telah dikenal sebagai ukuran atau indikator “beyond GDP” yang mempertimbangkan dimensi sosial dan lingkungan, sehingga direkomendasikan sebagai berikut: (1) lihatlah pendapatan dan konsumsi daripada produksi, (2) pertimbangkan pendapatan dan konsumsi secara bersama dengan kekayaan, (3) tekankan perspektif rumah tangga, (4) berikan perhatian pada distribusi pendapatan, konsumsi, dan kekayaan, dan (5) perluas ukuran pendapatan pada aktivitas non-pasar.

Isu kemiskinan juga harus mendapatkan perhatian penting dalam menilai kesejahteraan suatu wilayah.  Kemiskinan pun tidak boleh dinilai sederhana sebagai suatu kondisi kekurangan pendapatan semata (Fréchet et al. 2009:18).  Kemiskinan menjadi salah satu kategori penting dan ditempatkan di urutan pertama dari 14 kategori kesejahteraan lainnya (de Leon dan Boris 2010:7-12), yaitu kesehatan, pendidikan, kesempatan kerja, pendapatan dan kekayaan, perumahan, lingkungan alami, partisipasi politik, masyarakat sipil, partisipasi ekonomi, hak azasi manusia, keberlanjutan dan stabilitas nasional, kesejahteraan rumah tangga dan keluarga, serta kesejahteraan pribadi.

Berdasarkan hal tersebut, PDB seharusnya tidak dijadikan indikator tunggal dan sebaiknya dikombinasikan  dengan indikator lain untuk perencanaan strategis pembangunan ekonomi (Santoso 2010).  McGuire et al. (2012:50) telah memperkenalkan Genuine Progress Indicator (GPI) sebagai alternatif yang lebih komprehensif untuk mengukur elemen-elemen kritis dari kondisi sosial dan lingkungan.  Gaye (2011:1) juga menyebutkan bahwa Human Development Index (HDI) telah digunakan sejak tahun 1990 sebagai kerangka referensi pembangunan sosial dan ekonomi.

Terakhir, politik keberpihakan menjadi kunci keberhasilan pemerintah mensejahterakan masyarakatnya.  Pemerintah harus mampu menghindari negara ini menjadi negara gagal karena kegagalan kendali terhadap kekerasan, ketidakmampuan menciptakan kedamaian atau stabilitas, dan tidak menjamin pertumbuhan ekonomi atau distribusi barang-barang sosial secara adil seperti yang dilukiskan Brooks (2005:1160).  Negara ini harus menjadi negara kuat dengan ciri-ciri seperti dilukiskan Rotberg (2003:4), yaitu (1) mampu mengendalikan wilayahnya dan mendistribusikan barang-barang berkualitas tinggi kepada masyarakatnya,  (2) membangun dengan baik menurut indikator-indikator relevan seperti PDB, HDI, Indeks Persepsi Korupsi, Freedom of the World Report, dan lain-lain, (3) memberikan keamanan tingkat tinggi dari kekerasan politik dan kriminal, (4) menjamin kebebasan politik dan sipil, (5) menciptakan lingkungan yang kondusif bagi pertumbuhan ekonomi, (6) melaksanakan hukum secara tegas, (7) memiliki sarana pendidikan yang baik, dan (8) memiliki sarana kesehatan yang efektif.

Daftar Pustaka

[BPS] Badan Pusat Statistik.  2013.  Perkembangan Beberapa Indikator Utama Sosial-Ekonomi Indonesia: Agustus 2013.  Jakarta.  Badan Pusat Statistik.

Brooks RE.  2005.  Failed States, or the State as Failure?  The University of Chicago Law Review.  72(4):1159-1196.

de Leon E dan Boris ET.  2010. The State of Society: Measuring Economic Success and Human Well-Being.  Washington, DC.  The Urban Institute.

Diener E dan Suh E.  1997.  Measuring quality of life: Economic, social, and subjective indicators.  Social Indicators Research.   40:189–216.

Eurodiaconia.  2011.  Measuring well-being.  Briefing for Members.  Brussel.  Eurodiaconia.

Fréchet G, Lanctôt P, dan Morin A.  2009. Taking the Measure of Poverty: Proposed Indicators of Poverty, Inequality, and Social Exclusion to Measure Progress in  Québec.  Québec City.   Centre d’étude sur la pauvreté et l’exclusion.

Gaye A.  2011.  Contribution to beyond Gross Domestic Product (GDP):  The Human Development Index (HDI).  Report by the Commission on the Measurement of Economic Performance and Social Progress.  UNDP.

Gutierrez CM, Glassman CA, Landefeld JS, dan Marcuss RD.  2007.  Measuring the Economy: A Primer on GDP and the National Income and Product Accounts. Washington, DC.  Bureau of Economic Analysis US Departement of Commerce.

Inter-agency Working Group on the Private Investment and Job Creation Pillar.  2011.  Indicators for measuring and maximizing economic value added and job creation arising from private sector investment in value chains.  Report to the High-Level Development Working Group. The G20 Multi-Year Action Plan on Development.

Leamer EE.  2009.  Macroeconomic Patterns and Stories: A Guide for MBAs. Berlin.  Springer-Verlag Berlin Heidelberg.

McGuire S, Posner S, dan Haake H.  2012.  Measuring prosperity: Maryland’s Genuine Progress Indicator.  Solutions.  3(2):50-58.

[ONS] The Office for National Statistics.  2010.  Measuring the Economic Impact of An Intervention or Investment (Paper One: Context & Rationale).  South Wales.  ONS Customer Contact Centre.

Rotberg RI.  2003.  Failed States, Collapsed States, Weak States: Causes and Indicators.  Five-year Project of the World Peace Foundation and Harvard University’s Program on Intrastate Conflict.

Santosa BH.  2010.  Mengerti Proses Perhitungan Statistik Indonesia: Bias Penggunaan Indikator PDB secara Tunggal.  Bahan Kelompok Diskusi Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (FEUI).

Stiglitz JE, Sen A, dan Fitoussi  JP.  2009.  Report by the Commission on the Measurement of Economic Performance and Social Progress.  Di dalam www.stiglitz-sen-fitoussi.fr. Diakses tanggal 23 Maret 2014.


Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun